BAB 17

1584 Kata
“Heran aja ama cewek-cewek, tuh! Nggak mau bantuin masak atau apa, eh, malah selfie-selfie nggak jelas. Nyusahin aja!” gerutu Dalwi sambil mengaduk-aduk mie di hadapannya. “Biarin aja, lah. Penting nggak rewel, bawel, atau malah ganggu kita. Bener, kan?” celetuk Rahmat sambil tertawa. “Dah, panggil aja tuh Ririn sama Putri buat ke sini makan bareng. Sarapan mie macam gini juga nggak apa mumpung anget,” kata Bang Opung kepada Kodel. “Iya, Bang. Gua panggilin mereka buat sarapan,” jawab Kodel langsung berdiri dan meninggalkan para pria untuk memanggil Ririn dan Putri. Kadang ada hasrat terlarang dalam diri Kodel yang membayangkan anda saja bisa secara terang-terangan memiliki pasangan lebih dari satu. Apalagi kalau para wanita itu menurut dan akur, pasti akan indah dunia dirasa Kodel. Ya, pria itu memang kadang menggila dengan pemikiran yang aneh-aneh. “Ririn, Putri, udahan dulu yang foto-foto. Kita sarapan bareng terus siap-siap buat lanjut perjalanan. Bang Opung, tuh, yang nyuruh!” seru Kodel yang langsung diiyakan oleh Ririn dan Putri. Mereka pun kembali ke tempat teman-teman yang lain mulai menyantap mie yang ada karena sudah diletakkan di mangkuk plastik masing-masing. “Wah, thanks, ya!” ucap Ririn yang segera menyeruntup kuah mie yang terasa begitu segar di lidah. Mereka berenam pun sarapan bersama-sama dengan mie yang sudah disediakan dan topping seadanya. Saat makan berlangsung mereka tidak banyak berbicara dan segera menyelesaikan makanan serta membereskan tempat. Setelah selesai makan pun mereka membereskan semua yang ada di sekitar perapian sambil berbincang. “Gua masih laper,” ujar Rahmat sambil memegang perutnya. “Sama, tapi ya udah, gimana lagi? Keburu siang kalau kelamaan di sini,” jawab Dalwi yang merasa ini sekitar jam sembilan pagi. “Iya, moga cepet sampai pos kedua, sih,” imbuh Rahmat yang merasa tidak yakin dengan melanjutkan perjalanan pendakian ini. Dalwi sebenarnya juga merasakan hal yang sama tetapi tidak mau menceritakan kepada satu orang pun di sana. Bang Opung sudah berpesan apapun yang dirasakan jika ada hal aneh seputar pendakian diharapkan untuk tidak membahas apapun kepada teman yang lain. Dalwi melakukan hal itu agar yang lain tidak merasa khawatir dan panik. Namun justru rasa khawatir itu hinggap di diri Dalwi sendiri. Dalwi tidak mau membuat situasi semakin rumit. Kodel yang sudah selesai membereskan sampah pun akhirnya membuang beberapa kantong plastik sampah itu sembarang tempat. Namun Bang Opung langsung menegur Kodel. “Heh, jangan buang sampah sembarangan lu! Dibawa dulu aja, ntar kalau sampai di pos kedua ada tempat sampah, kok. Atau ntar pas di tengah jalan Kalau ada tempat bisa buat di sana. Jadi, bawa dulu aja,” ujar Bang Opung yang sebenarnya tidak perlu terus-menerus mengingatkan para anggota untuk mematuhi semua peraturan yang ada saat mendaki gunung. “Ya, udah, gua bawa aja sampahnya,” jawab Kodel yang mulai merasa tidak nyaman dengan segala perintah yang dikatakan oleh Bang Opung. “Yok, berangkat, yok!” seru Bang Opung sambil membawa tas yang berisi tenda. Jadi ada dua tenda dan dibawa oleh Bang Opung serta Kodel. Lalu kelompok itu pun melanjutkan perjalanan setelah selesai membereskan semua. Mereka pun berjalan secara berurutan seperti kemarin. “Gini, sekarang kita kalau lanjut jalan mulai berhitung, ya. Jadi, gua bilang satu, ntar Kodel bilang dua, dan seterusnya. Paham?” Bang Opung memberikan instruksi kembali karena merasa ada yang aneh meski masih pagi seperti ini ada perasaan tidak nyaman di hati Bang Opung. “Oke, Bang!” seru semuanya serentak. “Satu,” kata Bang Opung dengan suara yang cukup keras sehingga Dalwi juga dengar. “Dua!” seru Kodel. “Tiga!” Ririn juga berhitung. “Empat!” Putri menyusul berhitung. “Lima!” Rahmat juga menyahut. “Enam!” Dalwi yang ada di paling belakang. “Tujuh ....” Secara mengherankan ada sesuatu yang menyahut dengan angka tujuh yang berarti berada di belakang Dalwi. Seketika rombongan itu pun terkejut. Dalwi hendak menengok ke belakang, langsung dicegah oleh Rahmat. “Jangan! Lu jangan nengok ke belakang. Jangan ada yang liat ke belakang!” seru Rahmat memperingatkan. “Ayo, buruan jalan!” seru Bang Opung yang tidak mau ada sesuatu hal buruk lagi terjadi di antara rombongan itu. Ternyata benar perasaan pria itu kalau ada yang mengikuti dari belakang. Dalwi sangat ketakutan dan mencoba untuk cepat-cepat serta menempel terus di belakang Rahmat. Dalwi ingin sekali menengok ke belakang dan melihat sebenarnya siapa yang ada di belakangnya tetapi karena Rahmat sudah melarang, Dalwi tidak berani melanggar hal itu. Rombongan itu pun terus berjalan hingga akhirnya Bang Opung berhenti di persimpangan jalan. “Lah, kok, ada jalan begini, ya? Gua biasanya muncak tapi nggak ada jalan gini.” Bang Opung mulai merasa bingung dengan pilihan jalan yang harus dipilih demi bisa sampai ke pos kedua. “Lah, gimana, sih, Bang? Kalau lu aja nggak tahu jalannya, gimana kita ini yang cuma ikut doang?” Kodel mulai protes. Pantas saja mereka tidak sampai di pos kedua. Sejak kemarin jalan hingga lanjut saat ini, sudah berjam-jam dan harusnya mereka sampai pos kedua atau setidaknya bertemu dengan kelompok milik orang lain. “Lah, gua juga nggak tahu. Gua sering naik gunung dan baru kali ini nemuin persimpangan seperti ini sebelum sampai ke pos kedua. Biasanya nggak ada jalan begini jadi gua bingung.” Bang Opung memang tidak mengerti mengapa tiba-tiba ada persimpangan jalan seperti itu sebelum sampai di pos kedua. “Lah, lu nggak tahu jalan ini?” Rahmat yang mulai sedikit kesal dengan kejadian yang bertubi-tubi menimpa mereka seolah-olah sudah menandakan kesialan akan terjadi dan hal buruk sudah mengintai sejak dari awal. Oleh sebab itu banyak orang yang memperingatkan mereka untuk tidak naik ke gunung mungkin orang-orang itu sudah merasakan kalau ada hal buruk yang mengikuti rombongan mereka. “Gua nggak pernah lewat jalan ini. Padahal dari awal gua udah lewat jalan yang benar. Heran aja sampai tempat kayak begini.” Bang Opung juga bingung dengan apa yang terjadi apakah mungkin ini adalah efek dari berputar-putar di tempat yang sama kemarin sore karena mengambil cabai? “Lah, terus gimana, nih?” Ririn mulai panik karena tak tahu harus bagaimana. “Udah, kita ke kiri aja,” kata Bang Opung yang sebenarnya juga tidak yakin. “Ogah! Gua nggak mau ikutin jalan lu, Bang. Kemarin juga ikuti akhirnya muter-muter doang. Sekarang juga nggak yakin sama pilihan lu. Gua ambil kanan aja atau nggak balik aja.” Rahmat langsung menyatakan kalau tidak setuju dengan apa yang diucapkan Bang Opung. “Jangan ambil jalan sendiri dan mencari gini. Ntar malah kalau ada apa-apa gimana?” Bang Opung tidak setuju dengan pendapat dari Rahmat karena dianggap akan membuat kelompok itu jadi berpencar jika tidak dalam satu pilihan yang sama. “Lah, sebenarnya lu tahu jalan nggak? Lu ngajak ke kiri bener-bener paham kalau itu jalannya apa nggak? Lama-lama gua jadi nggak yakin sama lu. Gua rasa lu pilih kiri juga nggak paham.” Rahmat mulai berbicara dengan nada tinggi. “Kalau gua nggak paham, emangnya lu paham jalan dengan memilih ke kanan kalau misalnya nanti kita tersesat gimana? Gini, loh, kalau kita satu rombongan pilih jalan yang sama setidaknya kita masih bareng-bareng tapi kalau udah bisa jalan nanti kita berpencar dan nggak tahu apa yang terjadi satu dengan yang lain. Paham?!” Bang Opung jika sudah emosi dengan hal ini karena kejadian aneh bertubi-tubi terjadi. “Kalau lu aja nggak tahu jalan dan nggak yakin, gimana kita semua mau percaya. Gua capek jalan mulu and nggak sampai-sampai. Gua yakin yang lain juga ngrasa sama, tapi nggak berani ngomong. Lu enak aja ngajak kita semua nyasar. Dasar, minta dibogem lu!” Rahmat yang emosi segera maju dan hampir memukul Bang Opung. Jelas saja Bang Opung tidak terima dan mereka berdua hampir berkelahi segera dipisah oleh Kodel dan Dalwi. “Udah, tenang dulu, tenang. Kalau berantem begini juga nggak ada jalan keluarnya. Please, jangan bikin masalah makin besar. Kita semua juga panik di sini,” kata Dalwi sambil memegang Rahmat agar tidak terjadi pertengkaran hebat. Kodel memegang tubuh Bang Opung agar tidak baku hantam. “Iya, Bang, tenang dulu. Jangan begini, ntar jadi masalah besar. Kasihan Ririn dan Putri juga takut, tuh!” Bang Opung dan Rahmat pun mencoba untuk tenang terlebih dahulu karena bertengkar pun tidak akan menjadi jalan keluar dari masalah tersebut. Memang sesuatu yang aneh tanah saat berangkat ada satu rombongan di depan mereka tetapi mereka tidak bertemu sama sekali dengan rombongan itu. Lalu ada rombongan di belakang mereka dan sama saja mereka tidak bertemu dengan rombongan itu atau melihat rombongan itu lewat. Sejak awal perjalanan pendakian gunung ini memang terlarang karena beberapa orang sudah merasa ada yang aneh dengan rombongan mereka dan memperingati, untuk menghentikan perjalanan sehingga tidak jadi naik gunung tetapi mereka bersikukuh untuk tetap melakukan pendakian. Segala firasat buruk yang Dalwi rasakan kali ini mulai terkuak. Apakah mereka bisa sampai ke pos kedua atau kembali turun gunung dengan selamat? Tidak ada yang tahu. “Nah, tenang dulu dan jangan berantem seperti itu tadi. Kasihan para wanita juga udah panik dan takut kalau lihat kalian berantem gimana mereka bisa tenang. Gua juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini dan kenapa jalannya dianggap membingungkan oleh Bang Opung yang padahal udah hafal rute perjalanan dan juga sering naik gunung. Gua nggak tahu kenapa gini,” ujar Dalwi yang sebenarnya juga sudah ketakutan karena tidak bisa sampai ke pos kedua atau tidak bisa kembali turun ke bawah kalau tersesat. “Iya, gua takut banget. Kalian jangan ribut lagi. Gua Cuma pingin keluar dari sini, setidaknya ketemu orang lain biar tahu kalau tempat ini aman,” tutur Ririn yang mulai meneteskan air mata karena takut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN