Kembali ke Jakarta seperti mendatangi mimpi buruk baginya. Meski mimpi buruk yang sebenarnya bukan berasal dari kota ini, rasanya tetap sama. Di kota ini mimpi buruknya berkepanjangan. Trauma yang dia dapatkan tidak segera hilang begitu kembali ke sini. Sebaliknya, semakin melekat seperti lintah dan membuatnya hampir kehilangan eksistensi diri. “Maaf,” kata seorang supir taksi yang menyenggol bahunya. Dia melambaikan tangan seolah bilang pada supir itu kalau dia baik-baik saja. Sebenarnya tidak. Dadanya mulai sesak menyadari keriuhan bandara sementara orang yang berjanji menjemputnya tidak kunjung kelihatan. Dalam hati dia memaki, kalau bukan karena sahabat baiknya, dia pasti menolak pekerjaan ini. Sudah nyaman dia tinggal di Australia bahkan terpikir olehnya untuk mengubah kewarga