Dua

1965 Kata
Restoran langganan keluarga mereka di Miami itu tak berubah banyak. Carla, pemilik restoran yang memiliki usia tak berbeda jauh dari sang ayah masih nampak sehat dan bugar. Ia masih lincah membawa baki-baki besar nan berat berisi hidangan laut, dan melontarkan candaan dengan logat bicara spanyolnya yang khas. Kedatangan Adelia dan keempat saudaranya jelas disambut Carla dengan penuh suka cita. Mengingat sudah 4 tahun terakhir mereka tidak pernah berkunjung, padahal setidaknya setahun sekali salah satu dari mereka akan berkunjung. Terutama Andre yang berbisnis di bidang hiburan, membuatnya kerap bolak balik Amerika dan Indonesia untuk mengurusi label musik dan perusahaan percetakan di sana. "Masakan Carla nggak pernah salah sih." Arkana berucap puas, seraya bersandar pada sandaran kursi. Jelas kekenyangan. Ia bahkan terlalu malas untuk berdiri dan membersihkan jemari-jemarinya yang belepotan oleh saus. Memutuskan bersandar terlebih dahulu, membiarkan makanan-makanan itu tercerna oleh tubuhnya. "Ayah pasti iri nggak bisa ikut kita." "Tenang aja, habis ini gue bakal minta Bima ngatur jadwal Carla ke rumah. Biar dia bisa masakin ayah langsung," balas Alex tenang sembari menyesap segelas lemonade. Saking seringnya mereka ke restoran ini, mereka bahkan beberapa kali memboyong Carla langsung ke Indonesia untuk sekedar memasakkan seafood. Sebuah permintaan yang jelas takkan pernah ditolak, sebab permintaan itu tentu diimbali fasilitas dan upah yang begitu banyak. Alasan Carla bisa membuka beberapa cabang restoran lain, tak lain tak bukan karena bayaran yang diberikan keluarga Padma selama ini. "Kalau kekenyangan kayak gini Mas, enaknya kita naik mobil keliling kota nggak sih?" Andre dan Andri langsung menyenggol-nyenggol Arkana dengan alis naik turun. Jelas secara tersirat meminta kakak keduanya itu setuju akan agenda selanjutnya dari liburan singkat mereka kali ini. "Sayangnya, Mas masih punya kerjaan." Si bungsu bahkan sudah berumur 25 tahun, dan kakak tertua mereka sudah memasuki kepala 3. Namun, setiap berkumpul kelima bersaudara itu akan tetap bersikap manja terhadap satu sama lain. Terutama kepada dua kakak tertua mereka. Tatapan Arkana beralih pada Adelia yang masih sibuk menikmati sepiring buah. "Adek habis ini mau kemana?" Mendengar dirinya kembali dipanggil 'adek', Adelia tak bisa menahan diri untuk tidak tertunduk malu. "Belum tau Mas." "Ada 3 pilihan." Alex yang duduk tepat di samping Adelia menyahut. Menunjukkan 3 jarinya yang terangkat di udara. "Pertama ikut sama si kembar keliling kota, kedua balik ke hotel dan nanti Arkana pesankan layanan spa, atau kamu mau ikut Kakak?" Pilihan ketiga yang terdengar sedikit menarik, membuat Adelia memutar posisinya agar menghadap lebih sempurna pada sang kakak sulung. "Kakak mau kemana memang?" "Ketemu sama kurator seni." Sudut mata Adelia dapat melihat bagaimana ketiga kakaknya yang lain berusaha terlihat tidak peduli. Walaupun ia sangat tahu, ketiganya jelas ingin dirinya mengikuti si sulung yang dirasa berkelakuan aneh. Sebagai sesama pecinta seni, jelas Adelia adalah orang yang paling cocok untuk mengamati tingkah aneh si sulung. Lagipula, setelah 3 tahun ini benar-benar hidup sederhana dan sekedar cukup. Sudah waktunya untuk Adelia kembali ke jati dirinya, kembali pada dunia-dunia yang secara bodoh ia tinggalkan hanya karena cinta yang bahkan bertahan cuman 3 tahun. "Aku mau ikut sama Kak Alex aja." *** Tempat pertemuan itu, adalah sebuah studio seni yang ada di sisi utara kota Miami. Berdekatan dengan north beach, itulah kenapa matahari bersinar sangat terik dengan angin laut yang bertiup cukup kencang. Adelia harus memegangi ujung topi pantainya erat-erat, kalau dia tidak ingin topi itu terbang entah kemana. "Jadi, lukisan apa yang mau Kakak beli kali ini?" Pertanyaan itu diutarakan Adelia ketika mereka berjalan menyusuri jalan berbatu putih yang terbentang dari gerbang hingga studio. "Bukannya karya seni di museum pribadi kita sudah terlalu banyak?" "Love and Sunset, karya Tara Serenade." Jawaban Alex barusan sukses membuat Adelia tertegun. Namun, belum sempat ia bertanya apa-apa mendadak pintu utama studio itu terbuka. Menampilkan sosok perempuan dengan celemek belepotan cat, serta rambut dicepol rendah. Dari wajahnya sepertinya usia mereka berdua tidak terlalu jauh. Perempuan itu tersenyum ramah. "Siang Pak Alex, ada janji temu dengan kak Pian ya?" "Iya, saya sudah bicara dengan Pian soal lukisan Tara Serenade waktu itu." "WAH, MAS ALEX!" Seruan riang itu datang dari arah belakang, menunjukkan sosok laki-laki tinggi yang berjalan mendekat dengan senyum lebar hingga lesung pipinya terlihat jelas. Menggunakan kemeja biru laut serta celana putih, mengingatkan Adelia akan nuansa laut. Diam-diam Adelia mengernyitkan dahi, merasa familiar dengan wajah sang laki-laki. "Baru banget Mas, saya sama Wanda ngeluarin lukisan yang Mas mau dari gudang." Pria bernama Pian itu lantas menepuk-nepuk pundak Wanda yang hanya tersenyum tipis. "Tenaga saya kalah sama adik saya satu ini, jadi minum dulu tadi di belakang." "Adel, kenalin." Perhatian dua orang itu lantas teralih pada Adelia yang berusaha sebaik mungkin tidak memasang ekspresi curiga. "Ini kurator yang Kakak ceritain, Pian. Sementara di sebelahnya itu Wanda, adik Pian yang kebetulan guru seni di salah satu sekolah di Miami." "Siapa nih Mas, cantik banget. Pacar?" tanya Pian yang tanpa merasa canggung langsung menjabat tangan Adelia diikuti oleh Wanda yang melakukan hal sama. "Bukan, dia adik saya." Setelah mengatakan itu, baik Alex dan Adelia digiring masuk ke dalam studio berukuran sedang itu. Ada banyak sekali lukisan-lukisan yang terpajang, dan beberapa masih belum rampung. Selayaknya sebuah studio lukis. Pian dan Alex langsung berbincang-bincang soal pameran lukisan yang akan diselenggarakan di Roma dalam beberapa waktu ke depan. Sementara itu, Wanda entah kenapa sangat pendiam. Hanya mengikuti kemana kakaknya pergi sembari tersenyum kecil, membiarkan Adelia berkelana ke seluruh penjuru studio. Mengamati setiap lukisan yang ada. "Mas mau cek lukisannya, atau kayak biasa kita langsung nego harga aja?" tawar Pian, melihat seberapa luwes dirinya menghadapi sang kakak yang terkesan dingin. Adelia dapat menyimpulkan bahwa laki-laki itu sudah cukup dekat dengan sang kakak sulung. "Boleh, kita nego harga." Pandangan Alex lantas teralih pada Adelia yang masih pura-pura sibuk mengamati lukisan yang ada, walau nyatanya ia penasaran setengah mati atas tingkah sang kakak yang dirasa aneh. "Dek, kamu mau liat lukisannya?" Ada jeda cukup panjang, sebelum Adelia menarik sudut bibirnya ke atas. Tersenyum kecil. "Boleh kak, aku mau lihat lukisan Tara Serenade itu." "Oh, Mbak suka sama karya seni juga?" Setelah sekian lama Wanda akhirnya membuka mulut, kini terlihat lebih santai dan mendekat ke arah Adelia. "Berarti tau ya sama pelukis Tara Serenade?" "Adik saya itu suka sekali sama karya seni." Kini giliran Alex yang tersenyum kecil, melempar tatapan tersirat pada Adelia yang langsung paham maksud dari tatapan tersebut. "Apalagi pelukis Tara Serenade, dia penggemar hebatnya." "Love and Sunset, karya terakhir Tara Serenade sebelum dirinya hilang tanpa kabar." Entah kenapa Pian bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Merasa tak nyaman akan nada bicara dan tatapan lembut milik adik klien besarnya satu itu. Apalagi ketika Adelia kini menatapnya lurus. "Tentu saya mau lihat karya langka itu, boleh?" Ada hening cukup lama, sebelum Pian tersadar. Ia melirik kearah Wanda yang nampaknya tidak merasakan keanehan apa-apa dari suasana ruangan yang mendadak berubah. "Wanda, kamu antarkan Mbak Adelia-" "Adelia saja, Mas Pian." Terdengar suara kekehan pelan dari Adelia yang entah menertawakan apa. "Anda lebih tua dari saya, jadi jangan panggil saya Mbak." "Ah iya, Adelia." "Ayo Kak, biar saya antarkan ke lukisannya." Wanda mengintrupsi pembicaraan, mengarahkan Adelia menuju sebuah studio tertutup yang ada di sisi dalam bangunan. Meninggalkan Alex dan Pian yang kini beranjak menuju ruang tamu. Namun, yang tak Adelia sadari adalah bagaimana Pian sempat terhenti langkahnya untuk sesaat melirik. Mencoba mengingat-ingat siapa Adelia yang terasa sangat familiar baginya itu. Ukuran ruangan itu tidak sebesar ruang-ruangan lain, namun fakta bahwa hanya ada satu kanvas besar disana membuat ruangan tersebut terasa lebih lega. Ruangan itu tertutup, tanpa adanya jendela ataupun ventilasi. Pendingin ruangan yang terpasang di salah satu dinding berfungsi dengan sangat baik. Tak heran, ketika Wanda pertama kali membukakan pintu Adelia disambut oleh semilir angin dingin. Love and Sunset, sebuah lukisan terakhir dari Tara Serenade yang hanya pernah sekali dipamerkan dalam pameran kecilnya bertahun-tahun lalu. Tak pernah ada yang tau siapa Tara Serenade, sebab keberadaannya selalu misterius. Namun, karyanya yang menakjubkan berhasil menarik minat para penggemar seni. Terutama para kalangan kelas atas. Bukan satu atau dua orang saja yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk bisa memiliki salah satu karyanya. "Saya juga penggemar Tara Serenade." Wanda yang sedari tadi diam, kini mulai berbicara. "Cara dia memainkan warna, dan menginterpretasikan apa yang ia lihat selalu menakjubkan. Kamu bisa tau emosi apa yang ia miliki setiap melukis." "Kalau begitu, menurutmu emosi apa yang sedang Tara Serenade rasakan ketika menggambar lukisan ini?" tanya Adelia begitu tenang, seraya menatap secara cermat lukisan tersebut. "Dari komposisi warna yang ia gunakan, cenderung menggunakan warna-warna cerah dan hangat. Jadi dia mencoba memperlihatkan perasaan senang sang anak perempuan ketika bertemu ibunya di pantai itu." Jawaban itu diberikan Wanda dengan begitu lancar, ikut mengamati lukisan Love and Sunset di depan matanya. "Sebuah pertemuan mengharukan, dan semakin magis karena latarnya diambil saat matahari terbenam." Tak ada sahutan. Adelia masih menilik setiap sisi lukisan tersebut, sebelum dia akhirnya menoleh ke arah Wanda. Menunjukkan seulas senyum kecut, yang membunyikan alarm siaga di kepala Wanda secara mendadak. Entah kenapa Wanda merasakan tengkuknya meremang saat ini. "Sepertinya kamu penggemar baru Tara Serenade," ujar Adelia seraya mengambil langkah mundur. Tidak lagi berdiri terlalu dekat dengan lukisan itu. "Tara Serenade terkenal menggunakan warna-warna berkebalikan dari emosi apa yang ingin ia tunjukkan. Jika dia menggunakan warna hangat itu berarti dia ingin menggambarkan perasaan sedih dan gelap." "Tapi-" "Dan seingat saya di pameran terakhir, lukisan ini diberi deskripsi mimpi seorang anak bertemu ibunya yang sudah tiada." Tepat setelah mengatakan itu, Alex dan Pian mendadak muncul di ambang pintu studio. Adelia langsung tersenyum cerah ke arah sang kakak. "Udah selesai?" "Udah, kata Pian 4 hari lagi dia sendiri yang akan anterin lukisan itu ke rumah kita." Alex mengelus pelan puncak kepala sang adik menunjukkan kasih sayang teramat sangat. "Oh iya, mungkin nanti kalian bisa sekalian makan malam di kediaman saya? Kamu tidak keberatan kan Wanda?" Wanda yang sempat terpaku di tempat, seolah tersadar oleh teguran itu. Secara tergagap mengiyakan tawaran Alex. Entah kenapa merasa tidak nyaman melihat perubahan ekspresi Adelia yang tadi terkesan penuh kecurigaan dan dingin, bisa berubah begitu cepat menjadi hangat dan bersahabat. Sepertinya dia harus bicara tentang ini kepada sang kakak, setelah keduanya pergi. "Kalau begitu, kami pamit dulu ya." Alex menjadi orang pertama yang memecah keheningan itu. Ia dan sang adik berjalan mantap menuju pintu keluar. Pian melihat itu jelas buru-buru mengikuti, mengantarkan tamu pentingnya hingga ke depan pintu. "Mas Pian." Setelah berpamitan, dan kedua tamu penting itu berjalan menuju mobil mereka. Mendadak Adelia berbalik, menatap kedua kakak beradik itu dengan tatapan tak terbaca. Tak memperdulikan sang kakak sudah meninggalkannya masuk ke dalam mobil. "Adik anda sangat berbakat sebagai seorang pelukis. Akan menyenangkan jika saya bisa melihat karyanya di kesempatan lainnya. Jangan sia-siakan bakat seperti itu." "Ah iya, terima kasih pujiannya Adelia." Adelia tersenyum ramah sekali lagi, sebelum dia akhirnya kembali berjalan. Masuk ke dalam mobil yang langsung bergerak kembali ke hotel tempat mereka menginap. Meninggalkan dua bersaudara itu dilingkupi perasaan bingung dan resah. Sementara itu di dalam mobil, Alex hanya melirik sang adik yang berpikir keras. "Menarik bukan?" gumam Alex teramat pelan sembari tersenyum penuh misteri. Ia bersandar pada sandaran kursi, lantas bersedekap d**a. "Sekarang kamu paham, kenapa kakak mau ketemu mereka langsung." "Ya, memang cukup menarik sih Kak." Alis Adelia bertaut selama beberapa saat. "Tapi aku kok familiar ya sama mukanya Mas Pian?" "Mungkin pernah ketemu di acara pameran." "Kakak punya foto Mas Pian secara jelas nggak?" tanya Adelia begitu tiba-tiba. "Biar aku cari sendiri soal itu." Alex mengerjapkan mata, lantas menatap asisten pribadinya yang duduk di kursi depan. "Rendi, berikan ke Adelia informasi soal Pian." "Baik pak." Asisten pribadi Alex yang hanya berbeda beberapa tahun dari mereka itu, mengangguk patuh. Berkutat dengan tablet yang selalu ia bawa kemana-mana itu selama beberapa saat. Sebelum mengopernya ke Adelia. Sementara itu Adelia langsung merogoh ponsel dari dalam saku gaun musim panasnya. Menekan tombol panggilan dari sebuah nomor yang beberapa hari ini ia abaikan. "Cari tau siapa Pian Renjana. Semuanya, tanpa ada yang terlewat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN