Bab 8. Disiksa Mertua

1488 Kata
Melody memasukkan bukunya ke dalam tas. Sembari menjaga toko, ia mengerjakan tugas dan membaca buku pelajaran. Ia hanya perlu menunggu toko dari siang hingga petang. Terkadang sampai malam jika pemilik toko—yang tak lain adalah orang tua Bima—memintanya untuk tetap di sana. "Kamu mau pulang?" tanya Bima. "Iya. Aku harus pulang sekarang, Bim." Melody memeriksa ponselnya lagi untuk mencari ojek. "Aku anter aja. Yuk!" Bima menyambar kunci motornya. "Eh, nggak usah." Melody menolak cepat. Tidak mungkin ia membiarkan Bima mengantarnya pulang. Ia tak tinggal lagi di rumahnya. Ia juga tak mau Bima tahu ia telah menikah dan tinggal di rumah Kavi. Oh, ini mengerikan. "Nggak apa-apa. Ayo. Aku mau sekalian beli martabak di dekat rumah kamu," kata Bima dengan nada membujuk. Melody menelan keras. Ia menggeleng pelan. "Makasih, Bim. Tapi, hari ini aku mau pulang sendiri aja. Aku mau mampir dan aku nggak mau kamu repot. Bentar lagi Maghrib. Pasti orang tua kamu nanyain kalau kamu nggak di rumah." "Tapi aku sekalian, Melo. Nggak masalah," tukas Bima. Melody memutar otak. Rasanya agak sulit merahasiakan semua ini dari Bima. "Lain kali aja. Aku udah pesen ojek." "Cancel aja. Kan bisa," kata Bima. Namun, Melody beruntung. Ketika itu sebuah motor berhenti tepat di depan toko. Melody meringis. "Itu udah datang, mana mungkin aku cancel, Bim. Makasih ya. Aku pulang dulu." "Oke. Hati-hati ya, Melo!" Bima mengantarkan Melody hingga ke tukang ojek. Ia memastikan Melody memakai helm dengan benar lalu melempar senyum pada gadis itu. "Nggak usah ngebut-ngebut ya, Pak." "Siap, Mas. Lagian mana bisa ngebut, jam segini macet," ujar si tukang ojek. Melody tersenyum sambil melambaikan tangan pada Bima. Ia dan Bima sudah berteman sejak mereka masih SMA dan mereka memang sangat dekat. Ia tahu, Bima baik padanya, terlalu baik mungkin. Namun, ia selalu berhati-hati di dekat Bima karena ia tak ingin persahabatannya berubah menjadi sesuatu yang lain. Sania sering berkata bahwa Bima naksir padanya. Itu membuat Melody merasa canggung. Dan itu benar. Bima menatap motor yang membawa Melody dengan berdebar. Ia sudah cukup lama menyukai Melody, mungkin sejak mereka dekat, tetapi ia tahu Melody tidak tertarik dengan kata pacaran. Ia juga tahu bahwa Melody tak ingin ada hal-hal yang berubah di hidupnya. "Sabar, Bim. Suatu hari kamu bisa mengungkapkan semuanya pada Melody," gumam Bima sambil terus tersenyum. *** Ketika Melody tiba di rumah, ia langsung disambut oleh pelototan Anggun. Melody mencengkeram pergelangan lengan kirinya dengan telapak tangan kanan. Ia sangat takut karena yakin Anggun marah padanya. "Dari mana kamu? Kenapa kamu baru pulang?" teriak Anggun. "Ehm ... aku kuliah, Tante. Pulangnya ... aku kerja. Aku kerja sambilan. Jaga toko," jawab Melody terbata. Anggun mendengkus. Ia menarik lengan Melody tanpa ampun. "Kamu lupa tugas kamu apa? Kamu harus mengurus dapur! Dan sekarang udah Maghrib." "Iya, Tante. Nanti aku masak makan malam, tenang aja," kata Melody. Tadinya, ia berniat untuk segera mandi lalu melanjutkan tugasnya yang belum selesai di kamar. "Bagus! Jam 7.00 kami harus makan! Jadi, jangan berlama-lama di atas!" Anggun menyentak tubuh Melody. Melody mengangguk pelan. Ia mengusap lengannya yang terasa panas karena cengkeraman Anggun. Ia membuang napas panjang lalu berjalan secepat mungkin menuju lantai dua. Di anak tangga, ia bertemu dengan Andi yang memberinya kerlingan mata. Melody menghentikan langkahnya dengan gemetar. "Melody, apa yang kamu lakukan?" Teriakan Anggun membuat Melody akhirnya kembali berjalan menuju kamar Kavi. Ia tak ingin dianggap menggoda ayah mertuanya lagi. Oh, keluarga ini sangat mengerikan. Melody segera mencari baju ganti, ia mandi dengan kilat lalu menunaikan ibadah sholat Maghrib lebih dulu. Dengan was-was, ia turun ke lantai satu dan langsung menuju dapur. "Kamu budeg ya? Kenapa kamu lama banget di atas? Kamu nggak tahu ini sudah jam berapa?" "Maaf, Tante. Aku masak sekarang juga." Melody membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa ia siapkan. "Bikin ikan bakar!" Anggun membuka wadah berisi ikan segar. Melody mengangguk. Ia lalu menatap mertuanya yang baru saja meninggalkan dapur. Ia mulai berkutat dengan ikan-ikan berukuran besar itu. "Sabar, Non. Nyonya emang galak," kata Leni yang baru saja bergabung dengannya. "Iya, Bi." Melody tak punya waktu untuk mengobrol dengan Leni. Ia membuat bumbu bakar lalu menyalakan kompor. Beruntung, Leni mau membantunya sedikit. Setelah berkutat dengan masakan, Melody pun menghidangkan semuanya di meja makan. Ia tak tahu apakah malam ini ia dipersilakan untuk makan juga. Namun, ia tak berharap. Ia juga tak ingin duduk satu meja dengan pria yang terus meliriknya nakal. Itu menakutkan baginya. Melody memutuskan untuk menyelinap ke dapur lalu makan biskuit yang ia temukan di kulkas. Itu cukup untuk mengganjal perutnya yang keroncong. "Melo, buatkan Om wedang jahe," kata Andi dari meja makan. "Oh, ya!" Melody menjawab cepat. Di sebelahnya, Leni mengulurkan satu sachet kemasan minuman rasa jahe pada Melody. "Makasih, Bi." Melody membuat minuman itu dengan sangat cepat. Ia lalu membawanya ke meja makan. "Ini, Om. Silakan." Anggun menatap Melody dengan ekspresi yang menyiratkan bahwa Melody adalah sebuah ancaman. Melody sebenarnya terlihat ketakutan, tetapi bagi Anggun, Melody terlihat sedang memamerkan senyuman dengan suara manisnya. Apalagi Andi dengan terang-terangan terus tersenyum pada Melody. Seketika darah Anggun mendidih. "Papa kenapa ngeliatin Melody kayak gitu?" tanya Anggun pada suaminya. "Kayak gitu gimana?" Andi dengan santai menyesap minuman buatan Melody. "Ya, kayak tadi! Papa harus inget, Melody itu istri Kavi. Dia menantu kita," kata Anggun ketus. Andi menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu mengangguk. Ia tak ingin istrinya marah, tetapi ia juga tidak tahan melihat Melody yang masih muda dan cantik. Ia harus mencari kesempatan untuk bisa berduaan dengan Melody. Begitu kedua orang itu selesai makan, Melody membereskan semua peralatan makan mereka. Ia membuang sampah sisa makanan lalu mencuci piring dan perabot. "Aku peringatkan lagi sama kamu, Melo!" Anggun muncul di dapur dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. "Jangan tersenyum begitu sama suami aku!" "Aku nggak tersenyum, Tante," kata Melody. "Kamu berani menyangkal?" Anggun mendekati Melody yang terpojok di depan wastafel. "Aku cuma ... aku cuma buatin minuman," kata Melody. Anggun mengulurkan tangannya ke rambut Melody lalu menjambak kuat di sana. Melody meringis, menahan sakit di kepalanya. "Kamu jangan beralasan. Aku tahu kamu masih harus membayar utang orang tua kamu. Dan kamu nggak punya apa-apa selain tubuh kamu itu! Kamu mau memakai tubuh kamu untuk membayar utang sama suami aku?" Melody menggeleng. "Nggak, Tante. Aku ... aarh!" Melody memekik ketika Anggun melepaskan rambutnya, tetapi langsung memberikan tamparan keras di pipi Melody. "Kamu jangan berani di sini! Aku bakal ngawasin kamu terus!" Melody mengusap pipinya begitu Anggun meninggalkan dapur. Ia bernapas dengan berat. Rumah ini sungguh neraka baginya. Ia tak tahu harus meminta tolong pada siapa. Tak ada yang peduli padanya. Leni mungkin baik, tetapi jelas Leni tidak bisa membantunya. Asisten rumah tangga itu terkesan takut pada Anggun dan Andi. Jadi, Melody memutuskan untuk segera ke kamar saja. *** Sementara itu, Kavi begitu senang karena ia dan band-nya tampil dengan sangat baik malam itu. Mereka tampil di kafe Kenangan Tersayang hampir setiap malam untuk menghibur para pelanggan. Keberadaan Kavi saja sudah cukup menyedot perhatian yang terutama berasal dari para gadis. Apalagi jika ia sudah menyanyi, tak sedikit dari para gadis itu yang ingin mengenal Kavi lebih dekat. Sayangnya, hampir sepanjang malam kedua mata Kavi terus terpaku pada sosok Tasya. Gadis itu, entah bagaimana duduk di salah satu kursi dengan teman-temannya. Kavi berharap ia akan segera berbaikan dengan Tasya. Harus! Ia merindukan Tasya—dan tubuhnya. Ia bisa gila jika tidak menyalurkan semuanya dalam waktu dekat. "Sya. Makasih udah datang," kata Kavi pada Tasya yang kini telah duduk sendirian. "Temen-temen kamu udah pulang?" "Ya. Aku kangen liat perform kamu. Makanya aku ke sini," ujar Tasya. Kavi merasa senang. "Aku anter kamu pulang. Kamu ... kamu mau mampir?" Kavi bicara dengan lirih. Yang ia maksud adalah mampir adalah ke salah satu penginapan milik ayahnya. Ia sering membawa Tasya ke sana dan menghabiskan beberapa jam di dalam kamar. "Nggak. Aku nggak mau." Tasya menyesap minumannya yang tersisa sedikit itu. "Sya, kamu jangan kayak gini dong. Aku pasti beliin kamu ponsel baru. Tapi ... mungkin bulan depan," kata Kavi. "Tapi aku mau sekarang, Kav. Kamu nggak tahu rasanya dipamerin terus sama sodara tiri aku. Muak tahu nggak!" ketus Tasya seraya berdiri. "Aku pulang sendiri aja!" "Tunggu dong!" panggil Kavi. "Kamu harus usaha, Kav. Aku udah bilang, minta sama ayah kamu. Kamu bilang, kamu cinta sama aku. Tapi buktinya apa? Kamu cuma mau tidur sama aku, 'kan?" gertak Tasya dengan penuh amarah. Kavi menggeleng keras. Kepalanya berputar tak terkira. Ia tak ingin meminta uang pada ayahnya, tetapi ia tak ingin Tasya marah padanya lebih lama. Ia menarik tangan Tasya dengan erat hingga mereka berdiri berhadap-hadapan. "Aku bakal minta sama papa. Kamu tenang aja. Aku beliin ponsel baru buat kamu secepatnya," kata Kavi. Tasya tersenyum miring. "Nah, gitu dong. Sekarang, anter aku pulang!" Kavi mengangguk. "Aku ambil kunci motor dulu. Tunggu di sini, Sya." Kavi berjalan masuk kembali ke kafe. Ia merasa sedang berjalan di tepi jurang. Ia benar-benar tak ingin meminta uang pada ayahnya, tetapi ia bisa gila jika ia tidak berbaikan dengan Tasya. "Aku harus ngalah sama ego aku," batin Kavi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN