Bab 7. Kavi Cemburu?

1330 Kata
Tatapan Kavi pada Melody terputus ketika Anjar mendorong punggungnya. Ia menoleh pada sahabatnya itu lalu mendengkus. "Ngapain berhenti di sini, Kav? Katanya keburu haus? Liatin apa sih?" tanya Anjar seraya mengedarkan tatapannya. Kavi melipat kedua tangannya. Ia bisa melihat gestur Bima yang sedang menatap wajah Melody lekat-lekat. Kavi mengepalkan tangannya. Ia tak tahu apa yang menarik dari wajah Melody hingga Bima bisa menatapnya berlama-lama. Melody bahkan tak pernah memakai riasan—seingatnya—kecuali ketika mereka menikah dan juga malam nahas saat mereka bertemu di kamar itu. Mengingat bahwa mereka telah menikah membuat Kavi merasa jauh lebih kesal pada Melody. "Mau minum apa?" tanya Anjar ketika mereka mendekati salah satu stand makanan dan dan minuman. "Es soda aja," jawab Kavi. Ia kembali melirik Melody. Tampaknya pembicaraan Melody dan Bima semakin serius saja karena Bima baru saja menggeser posisi duduknya lebih dekat ke arah Melody. Apa mereka hanya sekadar teman atau lebih? Kavi tak tahu. "Melody dijual ke papa. Dia emang murahan, nggak perlu heran kalau dia bisa sedekat itu sama cowok," batin Kavi pada dirinya sendiri. Kavi terkesiap ketika Anjar merangkul bahunya. Ia lalu ditarik ke sebuah kursi di tepi kantin. Tak ingin terusik dengan Melody, ia memutuskan untuk duduk membelakangi mereka. "Nanti malam, jangan lupa ke kafe," kata Anjar mengingatkan. "Tenang aja. Aku emang mau ke sana," jawab Kavi. Ia menyesap minumannya hingga tersisa setengah. "Tadi malam kenapa kamu nggak datang? Nggak seru kalau nggak ada kamu. Vokalis pengganti nggak sekeren kamu, jadi kurang nendang," kata Anjar lagi. Kavi tertawa pelan. Tadi malam adalah hal paling mengerikan dalam hidupnya. Ia harus menikah dengan Melody dan sialnya, ia juga harus tinggal dengan Melody. Entah apakah ia tahan jika harus melihat Melody setiap hari. "Aku ada urusan tadi malam. Tapi udah beres. Aku harus fokus kerja biar bisa beliin ponsel baru buat Tasya," ujar Kavi. "Gila! Itu ponsel lebih mahal dibandingkan motor baru!" gerutu Anjar. "Dengerin aku sebelum kamu lebih dimanfaatkan sama Tasya, mendingan kamu akhirin aja." "Ngawur! Aku cinta sama dia." Kavi menatap Anjar dengan wajah cemberut. Ia tak membayangkan bagaimana hidup tanpa Tasya. Ia sudah cukup tersiksa dengan kemarahan Tasya. Ia harus bisa memperbaiki semuanya. Mungkin benar, ia bisa merengek pada ayahnya. Namun, Kavi tak ingin. Harga dirinya lebih tinggi jika ia harus memohon pada ayahnya. *** Sementara itu di mejanya, Melody dan Bima masih berbincang. Bima tahu Melody memiliki bibi yang galak dan sering memukul Melody. Ia cemas jika Melody terluka karena bibinya. Apalagi Bima yakin pipi Melody agak memerah karena tamparan keras. Hanya saja, Melody terus menyangkal. "Kamu bisa cerita sama aku kalau ada apa-apa, Melo. Pokoknya, aku bakal bantuin kamu," kata Bima. "Makasih, Bim. Aku udah kenyang banget. Aku mau ke perpus nyari Sania," ujar Melody. Ia meneguk sisa es tehnya hingga menyisakan beberapa kotak es batu. "Nanti siang kamu ke konter?" tanya Bima. "Iya. Aku harus kerja," jawab Melody. Ia berdiri lalu mencangklong tasnya. Kedua mata Melody mengedar. Ia menemukan Kavi duduk tak jauh darinya, tetapi dengan posisi membelakanginya. Sudah jelas, Kavi tak peduli padanya. "Kita bareng. Oke? Kamu bisa bonceng aku," kata Bima menawarkan. "Ehm ... gimana ya?" Melody kembali melirik Kavi. Entah apa kata Kavi jika tahu ia berboncengan dengan pria lain. Namun, bukankah Kavi tidak peduli dan memintanya mengurus diri sendiri? Ia harus menghemat sisa uangnya karena tadi pagi ia sudah membayar mahal tukang ojek. "Nggak apa-apa. Aku sekalian pulang," bujuk Bima lagi. "Oke deh!" Melody pun sepakat. "Oke. Nanti aku tunggu di lobi utama ya. Aku juga mau ke kelas ini." Melody mengangguk. Ia harus berjalan melewati Kavi dan Anjar untuk mencapai pintu kantin. Ia mencoba untuk memelankan langkahnya agar ia berada di belakang Bima, tetapi Bima justru ikut memelankan kakinya. Jadi, ketika mereka mencapai meja Kavi, mereka kelihatan sedang berjalan beriringan. Jika tadi Kavi membelakangi Melody, kini ia bisa melihat punggung Melody menjauh darinya. Melody tampak santai berjalan di sebelah Bima. Kavi pun tersenyum miring melihat kedekatan Melody dengan Bima. Rasanya tak ada yang baik tentang Melody di benak Kavi. "Kenapa kamu ngeliatin Melody kayak gitu? Kamu masih mau bully dia?" tanya Anjar dengan nada malas-malasan. "Ya. Dia ngeselin. Aku nggak suka ngeliat dia," jawab Kavi datar. Anjar berdecak heran karena tingkah sahabatnya itu yang sangat tidak dewasa. "Jangan terlalu benci sama orang, nanti malah lama-lama bisa kebalik jadi cinta." Kavi mendecih seketika. "Sama cewek kayak Melody? Plis, deh. Nggak mungkin banget. Kamu nggak tahu selera aku kayak gimana? Tasya itu yang terbaik. Dia cantik dan seksi. Sedangkan Melody ...." Kavi tiba-tiba teringat akan malam terlarang mereka. Itu sangat kasar karena ia memaksa Melody dalam keadaan mabuk. Ia bahkan tidak terlalu ingat detailnya. Ia menyalahkan alkohol dalam tubuhnya. Ia juga membenci Melody karena baginya Melody tak lain hanyalah gadis yang hendak dibeli ayahnya. "Kalau diperhatiin, dia manis kok," tukas Anjar. Kavi kembali mendecih. Ia tak percaya ada orang yang memuji istrinya. Kavi tak tahu harus menganggap Melody sebagai apa. Ia tak ingin bermain-main dengan sebuah pernikahan. Ia tak ingin seperti ayah dan ibunya. Ia ingin pernikahan yang abadi jika ia harus menikah suatu hari nanti. Dan pernikahannya dengan Melody justru adalah bencana! *** Kelas siang Melody berakhir dengan cepat. Ia melirik jam di ponselnya lalu merasa lega. Ia masih punya waktu untuk makan siang dan sholat sebelum bekerja. Yah, Melody bekerja sebagai penjaga konter pulsa yang tak begitu jauh dari kampus. Itu adalah konter milik keluarga Bima dan Bima juga sering berada di sana untuk menemani Melody menjaga toko. Melody langsung menuju lobi. Ia baru saja mengirimi pesan pada Bima bahwa ia sudah selesai kelas. Ia tak tahu jam berapa kelas Bima berakhir, jadi ia berkata untuk menunggunya Bima di lobi. Namun, langkah Melody akhirnya terhenti ketika tiba-tiba Kavi menghadangnya di koridor. Melody menelan keras. "Mungkin, kak Kavi nungguin pacarnya." Melody berjalan sambil mengambil langkah ke arah kanan, tetapi Kavi mengikuti gerakannya. Jelas, Kavi membuat blokade untuknya. "Kamu mau pulang?" tanya Kavi. "Ehm ... ya. Tapi, aku mau mampir. Aku kerja sambilan," jawab Melody canggung. "Di mana?" tanya Kavi. "Di konter pulsa. Nggak jauh dari sini. Ehm ... apa aku harus langsung pulang?" Melody menatap Kavi penuh tanya. Ia tahu, ia diminta membantu pekerjaan asisten rumah tangga di rumah mertuanya. Barangkali, ia juga harus beres-beres di siang hari. "Terserah kamu. Itu bukan urusan aku!" Kavi menatap ketus Melody. Melody mengerutkan kening. Oke, Kavi memang tak peduli padanya. Barangkali, Kavi hanya iseng bertanya. "Ehm, ya udah. Aku pergi dulu." "Kamu pulang jam berapa?" tanya Kavi ketika Melody hendak mengambil langkah lagi. "Sebelum Maghrib aku pasti udah pulang," jawab Melody. "Oke. Aku bakal pulang malam. Jadi, jangan bikin kamar aku berantakan dan kamu tahu di mana kamu harus tidur!" ujar Kavi dingin. Melody mengangguk. Di lantai yang dingin. Hanya beralaskan karpet. Oke, ia tak keberatan dibandingkan ia harus tidur seranjang dengan Kavi. Ia masih merasakan tatapan tajam Kavi ketika akhirnya ia diberi akses untuk kembali berjalan. Kavi baru menoleh pada Melody setelah beberapa detik. Ketika itu, ia melihat Melody bertemu dengan Bima. Jadi mereka pergi bersama? Batin Kavi semakin yakin bahwa hubungan mereka tak hanya sekadar teman belaka. Ia tak ingin penasaran, tetapi ia juga tergelitik untuk mencari tahu. Kavi yang tak memiliki kelas lagi pun mengikuti mereka keluar dari lobi. Ia menjaga jarak, tetapi kedua matanya tetap terpaku pada Melody dan juga Bima. Melody merespons ucapan Bima dengan banyak ekspresi, kadang tersenyum, menutup bibirnya dengan telapak tangan atau hanya menggeleng. Sungguh lucu, pikir Kavi. "Apa yang aku lakuin? Kenapa aku harus penasaran sama Melody?" Kavi menghentikan langkahnya di dekat parkiran. Ia memutuskan untuk duduk saja di salah satu kursi taman. Ia tak ingin mencari tahu lagi apa yang terjadi di antara Melody dan Bima. Toh, ia memiliki pacar. Tak masalah jika Melody juga. Kedua mata Kavi yang tadinya menatap layar ponsel kini terangkat sedikit. Ia mendengar suara motor besar Bima dan di boncengan duduklah Melody. Kavi mengerutkan keningnya dengan tangan mengepal ketika ia tahu Melody memegang pinggang Bima dan merapatkan dadanya ke punggung Bima. Yah, itu motor sport yang dengan mudah membuat mereka dalam posisi seperti itu. Kavi mendengkus. "Dasar murahan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN