+#- 20

1508 Kata
Akhir penantian 20 Dua orang beda jenis kelamin, sahabatan. Jangan percaya, pasti ada rasa di antara mereka, kalo nggak cowok ya cewek. Sahabat kok jadi kedok! -anonim Liana Satu hal yang nggak gue suka di lingkungan sekolah adalah temen yang punya muka dua, maksud nggak? Harusnya sih kalian paham sama maksud gue. Jujur gue tipikal orang yang kalo berteman itu milih-milih, bukan yang tajir atau kaya, tapi lebih ke teman yang bisa ngerti posisi gue, bukan malah membicarakan gue di belakang. Dan selama ini gue sering nemuin orang macam itu, nggak munafik, terkadang gue juga suka ngomongin orang, tapi nggak di belakang, gue lebih suka to the poin, ngomong langsung di depan orangnya langsung semisal gue nggak suka. Dan mungkin, itu yang membuat gue susah berteman. Gue nggak masalah dengan itu. Percayalah, tanpa mereka gue masih bisa menikmati masa SMA gue dengan gembira selayaknya masa putih abu yang sering dibicarakan mamak di rumah, walau hanya indahnya masa persahabatan, tanpa rasa cinta yang kata mereka menjadi penambah manisnya masa SMA. Entah, gue pun nggak tau seperti apa rasa cinta itu. Kalau berdebar di d**a saat bersama atau melihat seseorang itu ada di dekat kita, bisa di katakan cinta, mungkin gue merasakan itu. Mungkin.... Karena gue sendiri nggak tau cinta itu seperti apa, masa bodo sama cinta, gue cuma mau sekolah dan belajar, walau kadang rasa debar itu membuat gue bingsal sendiri. Gue nggak bisa menutup kemungkinan kalau gue memang suka sama seseorang, terlebih kelakuan dia yang selalu membuat gue nyaman dan enjoy membuat gue semakin mengagumi dia. Menurut kalian, lucu nggak sih suka sama sahabat sendiri? Kalau lucu maka tertawakan saja gue, karena nyatanya gue suka sama sahabat gue. Bisa tebak siapa dia? Kalau kalian menyebut nama Adit maka selamat, kalian benar. Yup, gue suka Adit, sosok yang selama ini terkenal receh dan suka gombal dengan banyak cewek. Terkesan buaya dan suka mainin cewek, tapi Entah kenapa, gue berasa kemakan gombalan dia dan perhatian dia yang selalu buat gue nyaman. Aneh kan? kenapa nggak sama Rangga yang jelas lebih tampan dan tajir kemana-mana, tapi balik lagi, gue malah nganggap dia sebagai kakak yang selalu ngelindungi gue. Mungkin cinta memang selucu itu, suka sama orang yang nggak tepat, dan perasaan memang nggak bisa dipaksakan. Sama seperti sekarang, gue merasa nyaman duduk di belakang di belakang Adit yang mengendarai motor untuk mengantar gue pulang, setelah kejadian memalukan di toilet tadi, dan Adit yang meminta izin pada guru piket akhirnya gue bisa pulang lebih awal. Sekarang gue dalam perjalanan menuju pulang kerumah. Perut gue yang nyeri membuat gue nggak nyaman duduk di jok motor Adit, gue agak takut juga kalau bocor gue sampai meninggalkan jejak di jok motornya, malu kan. "Pelan-pelan, njim!" Sentak gue sembari memukul punggung sahabat gue ini dengan keras saat Adit dengan sembarang melewati polisi tidur dan membuat perut gue makin nyeri. "Sorry!" "Sengaja Lo ya?" Tanya gue sinis, jangan salahkan gue kalau terkadang kelewat jutek di saat seperti ini, nyeri di perut suka membuat gue suka bar-bar, untuk kalian para cewek mungkin tau apa yang gue rasakan di saat seperti ini. "Kagak elah, kagak keliatan itu polisi tidur, orang ada mobil di depan!" Gue mencebik kesal, Adit dengan segala alasan yang kadang bikin gue kesel. Gue memilih diam, membiarkan dia fokus mengantar gue dengan selamat, jangan sampai terjadi hal yang nggak gue inginkan, gue masih muda dan perjalanan gue masih panjang jangan sampai karena gue ngerusuh Adit oleng dan berakhir membahayakan keselamatan gue. "El? Kok diem?" Ucap Adit dengan kepala berusaha menoleh kearah gue. Ini anak memang nggak bisa diem gue rasa, usilnya nggak ada obat. Udah tau gue diem supaya dia anteng bawa motor masih aja ngeledek gue, minta ditampol beneran emang! "Nggak usah banyak gaya!" Ujar gue memukul kembali punggung Adit dengan keras. "nyetir yang bener, jangan bikin gue celaka!" "Ya abisnya Lo diem aja, gue kira ketinggalan di lampu merah tadi, kan!" "Gue masih di sini, udah nggak usah aneh-aneh!" "Iye-iye, bawel bet dah!" Adit kembali fokus pada jalanan, gue melarikan wajah gue ke samping, tangan gue merayap, memegang erat pada kaos hitam yang dikenakan Adit, terlebih saat kecepatan motor mulai melesat. Gue takut jatuh aja, secara tubuh gue yang kecil bakal ada banyak kemungkinan yang terjadi, jadi gue memilih cari aman dari segala hal berbahaya itu. Tak lama, gue sampai di rumah sederhana yang nggak cukup jauh dari sekolah, hanya berjarak lima belas menit saja. Gue turun tepat di depan gerbang sederhana, membuka helm yang gue kenalan lalu mengulurkan pada Adit. "Langsung balik sekolah Lo!" Ujar gue memperingatkan, dia ini suka bolos dan ambil kesempatan dalam kesempitan, bisa saja dia beralasan mengantarkan gue pulang untuk membolos. Kebiasaan buruk yang kadang bikin kesel. "Iye iye, langsung balik," Kata dia meletakan helm uang gue pakai tadi di dasbor depan. "Nggak usah iye iye aja, kadang suka bolos Lo itu. Cari kesempatan dalam kesempitan!" "Kagak elah!" "Bener?" "Iye elah, bawel bet dah!" Ujar Adit dengan wajah kesal, sesuatu yang membuat senyum gue terukir. Udah pernah bilang belum kalau keselnya Adit itu menggemaskan? Belum ya? Oke gue kasih tau sekarang, Adit yang mengerucut bibir itu lucunya naik dua kali lipat, dan gue suka aja melihat dia kayak gitu. "Ya udah balik Sono!" Usir gue dengan mengibaskan tangan di udara, mengusir tanpa mengucapkan terimakasih sama sahabat itu kenikmatan yang hakiki, percaya deh. Lo sama temen Lo pasti bakal canggung dan malu-malu gug gug, tapi kalau sama sahabat sendiri ya bisa ceplas-ceplos. "Bukan terimakasih udah dianter malah ngusir!" Cibir Adit sembari memutar motornya. "Nggak ikhlas nih?" Sindir gue dengan mata terpincing. "Ikhlas lah, ya kali kan!" Gue terkekeh pelan, "Iye iye udah elah, makasih loh ini Adit uang ganteng, udah mau anterin gue. Mana kasih kemeja pula, besok gue balikin kalo udah gue cuci ya!" "Yang bersih, jangan Sampek masih bau amis!" "Eh si anying! Ngelek Lo!" Adit terbahak dan menghindar saat gue mengangkat tangan untuk memukul pundaknya. "Canda elah!" Ujar dia dengan tawa yang masih membahana. "Gue balik ya!" Gue mengangguk kecil. "Hati-hati!" "Syap!" Setelahnya Adit berlalu, gue masih terdiam memperhatikan kepergian sahabat gue itu di depan gerbang hingga menghilang di simpang depan rumah, setelahnya gue melangkah masuk kedalam rumah, perhatian kecil Adit dan bagaimana dia memperlakukan gue itu yang susah buat gue lepas dari pesonannya. Gue kagum dan gue nyaman dekat sama Adit. Dia itu tau gimana memperlakukan gue sebagai cewek. "Senyum-senyum sendiri, kesambet penunggu paket baru tau rasa!" Gue terkejut, suara Mak Nana yang cukup keras membuat gue menoleh kearah samping, tepat di sebelah gerbang, Mak Nana terlihat sibuk dengan tanaman bunga yang menjadi favoritnya, menyiram dan memberikan rumput di kala senggang adalah sesuatu yang selalu mamak gunakan untuk menghabiskan waktu. "Eh Mak Nana, udah dari tadi Mak?" "Udah, dari kalian cengar-cengir tadi malah!" Ups, berarti mamak denger apa yang gue omgongin dong? Bahaya nih kalau sampek mamak ngadu sama ibu Adit. "Kok udah balik?" Tanya mamak. "Bocor bulanan Mak, lupa tadi El." "Kebiasaan kamu mah!" Gue meringis kecil, gue emang gini, suka lupa sama siklus bulanan gue, dan baru kali ini tamu gue datang di saat yang nggak tepat, biasanya itu sore kalau nggak malem, tapi sekarang bisa-bisanya mereka keluar di saat gue masih di sekolah, untung aja ada Adit tadi. Nggak kebayang kalau sampek teman gue yang lain yang tau. Bisa abis di ledekin gue. "Yaudah masuk sana!" Gue mengangguk kecil lalu melangkah masuk meninggalkan mamak yang sudah asik dengan dunianya sendiri, mamak dan tanaman bunga, sesuatu yang nggak akan bisa dipisahkan, terkadang gue iri tuh sama bunga-bunga kesayangan mamak, mereka selalu dibelai disayang, lah gue? Anaknya sendiri suka di cekin. Langkah kaki gue terhenti sesaat, gue beroutar menghadap kearah mamak saat mengingat sesuatu. "Mak!" Panggil gue setengah berteriak. "Pa'an?" Gue menggaruk pelan tengkuk gue yang nggak gatal sama sekali, bahkan gue sendiri bingung kenapa gue melakukan ini, tapi yang jelas tiap gue melakukan ini gue pasti ragu akan sesuatu. "Pengaman habis Mak," ucap gue dengan ringisan kecil saat mengingat stok keamanan ekstra ganda yang selalu gue kenakan tiap bulannya habis. "Beli lah, duit di atas kulkas tuh!" Ciri khas mamak, apapun barangnya selalu mencari di atas lemari pendingin. Pernah sekali heboh kehilangan uang lima puluh ribu, mamak bilang katanya di taruh di atas lemari pendingin, dan nyatanya dia meletakkannya di dalam kantung dasternya, aneh kan? Gue aja sebagai anaknya suka ngerasa aneh sama kelakuan mamak gue sendiri. "Malu Mak!" "Lah malu kenapa? Barang kamu ini sendiri. Masa ia mamak yang beli?" Gue meringis kecil, bener sih apa yang di bilang emak, gue malah ngerasa belum bisa jadi anak berbakti sama mamak, eh urusan ginian malah nyuruh mamak, nggak sopan banget kan gue? "Masih bocor Mak, deres ini. Malu lah nanti di liat banyak orang." Rujuk gue dengan mencebikkan bibir. Mamak mendengus kecil sebelum beranjak meninggalkan semprot Air yang selalu mamak gunakan untuk menyiram tadi di atas pot. Lalu berjalan masuk kedalam rumah dengan gue yang mengekor dengan senyum sumringah, mamak mah emang terbaik banget deh. nggak ada yang bisa menjadi sosok mamak kedua pokoknya, mamak gue ini terbaik walau suka cerewet.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN