+#- 21

1372 Kata
Rangga. "El, gue nggak tau Lo tadi pagi mandi pake sabun apaan. Tapi yang gue tau sumpah pagi ini Lo cantik parah!" Gue mendengus jengah tiap kali mendengar Adit berceloteh tentang sesuatu yang selalu membuat gue ingin muntah, gue muak dengan semua ocehan nggak guna dia. Dan yang bikin gue tambah muak, saat di mana El dengan bodohnya menanggapi bualan Adit dengan rona merah yang selalu gue harap itu di tujukan untuk gue. Berharap tinggi tapi tak pernah kesampaian itulah gue. Gue nggak pernah tau apa yang kurang dari gue ketimbang si Adit sialan yang cuma jago ngebombal, atau memang gue aja yang terlalu d***u Sampek nggak tau kapan waktu berhenti atau terus memperjuangkan. "El, siang jalan yuk, bete gue." Gue memilih beranjak, mendorong kursi dengan kasar hingga menimbulkan suara berdecit yang cukup keras dan mengundang tatapan dari mereka yang menatap aneh kearah gue, mengacuhkan mereka gue berlalu begitu ada, terlebih gue enggan untuk menoleh ataupun menatap temen nggak tau diri seperti Adit yang nggak pernah mau ngertiin perasaan gue. Gue memilih keluar, menuju perpus untuk mendinginkan kepala gue yang masih saja panas mendengar celoteh dan interaksi Adit. "Bang!?" Gue berhenti, menoleh kearah sumber suara dimana seorang cewek tengah sibuk memilih buku di rak perpustakaan, gue mengangguk pelan menunggu cewek itu mendekat. "Tumben ke perpus?" "Gabut gue, mau cari bahan pelajaran aja, atau baca n****+ mungkin." Jawab gue acuh. Dia Nanda, adik kelas gue yang menjadi temen ngobrol atau temen baca di perpus ini, anaknya asik, mudah bercanda dan nggak mudah baper. Dia Wellcome sama semua pembahasan dan bisa ngimbangi gue banget. Nanda mengangguk pelan, "eh btw gue ada rekomen n****+ yang baru aja Dateng ke perpus loh." Kata dia semangat, Gue selalu suka melihat interaksi dari Nanda, dia orang yang penuh semangat dan selalu tau cara mencairkan suasana. "Serius? Bagus nggak alurnya, males gue kalo alurnya cuma muter-muter doang!" "Ye, mana ada, emang pernah gitu gue kasih rekomen n****+ yang alurnya nggak jelas? Kayaknya selama ini Lo selalu puas sama n****+ yang gue saranin." Gue terkekeh pelan, memilih buku bacaan untuk pagi ini, sebelum beranjak untuk memilih tempat membaca. "Nggak sih, gue rasa selera Lo sama gue samaan dah, secara semua yang Lo rekomen selalu buat gue puas aja sama ending dan konfliknya." "Iya lah, gue gitu. Gue tau kali bang sama selera Lo." Sekali lagi gue terkekeh, melupakan masalah yang selalu membuat d**a gue selalu panas, entah kenapa Nanda selalu berhasil membuat gue lupa dengan segala masalah gue. Apapun masalah gue, mungkin karena sifat ramah dari dia dan recehnya itu yang membuat gue betah dan lupa sejenak sama masalah gue "Iye, percaya gue mah." Ucap gue memujinya, kami memilih duduk di meja paling pojok dengan suasana yang cukup terang, tepat favorit gue selama di sekolah ini. "Btw, siang nanti Lo ada acara?" Tanya gue. "Maksudnya?" "Iya maksud gue, pulang sekolah nanti Lo ada acara nggak, gue pengen ngajak lo jalan." Nanda terlihat berfikir sejenak sebelum membuka suara, keningnya yang berkerut dengan bola mata yang menatap keatas itu berhasil membuat gue menahan gemas karena tingkahnya. Gue tahu Nanda itu terlalu polos bahkan dunianya hanya sebatas n****+, cerpen, dan dunia tulis yang selalu membuat prestasi di sekolah ini, gue kadang heran sama dia, Nanda tipikal cewek yang menurut gue belum mengenal apa itu jatuh cinta, tapi dari semua cerita yang dia tulis semua bertemakan tentang cinta dan pedih mencintai. Bahkan dari dua buku yang sudah Nanda tulis semua berhasil menjadi tranding di sebuah platform n****+ online berbayar. Dan entah kenapa dia selalu bisa mengimbangi cara berfikir gue, nilai plus karena dia adalah orang pertama yang bisa ngerti semua perasaan gue, bahkan keinginan gue, yang ibu gue aja kadang nggak paham apa yang gue mau. Tapi dia bisa tau hanya dengan kita ngobrol seperti ini. "Kayaknya kosong si bang, kecuali sore nanti, gue ada mau beli buku nanti sore." "Buku?" "Iya buku n****+, gue lagi pengen beli satu buku buat tambahan koleksi, dan kebetulan toko buku langganan udah mulai setok buku yang emang gue cari banget." Gue mengangguk, Nanda emang tipikal gadis yang mencintai buku melebihi dirinya sendiri, bahkan untuk asmara dari keterangan Nanda sendiri gue bisa tau kalau dia belum pernah sekali pun berhubungan dengan cowok. Di jaman moderen seperti sekarang dimana kebanyakan cewek yang lebih agresif ketimbang cowok tentu saja membuat sosok Nanda seolah sebagai spesies langka yang harus di Budidayakan. "Nah, sekalian aja kita jalan, gue juga pengen cari buku sebenernya, tapi agak males jalan sendiri." "Yaudah kita ke toko buku aja kalo gitu, gimana?" Gue mengangguk, yah mungkin bukan ide yang buruk melepas penat dan mencari hiburan sesaat untuk melupakan hal yang cukup pelik. Gue terlalu lelah berurusan dengan hati, gue ngerasa semua yang gue lakukan seolah percuma bahkan apa yang gue ucap pun seolah nggak berguna. "Anjar! Udah gue bilang jangan molor di perpus kenapa sih!" Gue menoleh saat suara yang begitu gue kenal menghampiri telinga gue. Di sana di sudut ruangan terlihat Anjar dan Emi yang tengah duduk berhadapan, atau tepatnya hanya Emi yang menghadap Anjar, sedangkan sahabat gue yang kelewat santai itu tengah asik terlelap dalam tidurnya. Nggak tau kenapa setiap melihat Anjar yang terlampau santai dan menggampangkan segala hal membuat gue sedikit iri. Gue ingin seperti Anjar yang bisa melupakan segala hal dengan kelakuannya, seolah buta dengan segala hal yang ingin mengganggunya, gue nggak tau apa di balik kisah yang berhasil membuat Anjar menjadi sosok seperti sekarang. "Bangun nggak, gue getok juga nih!" Gue tekekeh pelan saat melihat Anjar dengan patuh nya bangun dan menatap malah kearah Emi. Gue memperhatikan mereka dari ekor mata gue, dan heran melihat tingkah konyol Anjar yang kini sudah berpindah duduk tepat di sebelah Emi, melingkarkan tangannya di pinggang Emi dan menyandarkan kepalanya dengan mata sayu. "Temen Lo?" Gue menoleh, menatap Nanda yang juga tengah menatap gue. Gue menoleh kilas lalu mengangguk pelan saat melihat interaksi Anjar dan juga Emi. "Sahabat terbaik gue." Lanjut gue menatap Nanda, memasang senyum bangga saat memperkenalkan Anjar kepadanya. "I see, cara Lo ngeliat dia udah kayak ngeliat pintu harapan di depan kepala Lo. Tatapan penuh memuja" jawab Nanda santai. "Nggak tau deh, Lo buat tatapan Lo berbinar itu karena temen cowok Lo atau malah yang cewek." "Apaan elah, gue cuma suka aja dengan sikap santai dia. Anjar sahabat gue dari awal dia pindah ke sekolah kita, dia banyak ngerubah kita kearah yang benar hanya karena ucapan dan pengalaman dia yang 'katanya' kelam." "Kelihatan dari penampilan sih." Jawab Nanda mengangkat kedua bahu enteng, gue kembali mengintip dari ekor mata gue, di sana Anjar susah terlelap kembali di pelukan Emi. "Penampilan nggak mencerminkan sosok itu nakal atau nggak. b******n atau bukan, memang penampilan kadang suka membuat orang salah mengartikan sesuatu, jadi gue nggak heran sama apa yang Lo lihat untuk pertama kalinya sebelum Lo mengenal dia lebih jauh." "Iya gue tau, semua itu ada proses masing-masing, setiap manusia juga nggak bisa di paksakan kehendaknya, semua butuh proses dan pengajaran untuk merubah seseorang jadi dirinya sendiri." ada jeda sesaat sebelum Nanda kembali melanjutkan. "Mau seberapa b***t orang itu, mereka memiliki alasan tersendiri kenapa melakukan itu, dan kita belum tentu tau apa yang sudah di alami sosok itu hingga berhasil merubah menjadi sosok yang kata orang 'b***t'" lanjut Nanda mengangkat kedua jari untuk mengutip ucapannya. "Dan ada saatnya mereka berhenti menjadi sosok itu sampai mereka ngerasa bosan dan menemukan tempat untuk berbagi kepedihan dalam hidupnya." "Yup, Lo selalu tau arah pembicaraan gue, bang. Salut sih sama mereka yang malah bisa menjadi sosok lebih baik setelah kebrutalan mereka di masa lalu. Jarang loh ada orang kayak mereka, bahkan bisa di katakan hampir nggak ada." "Bukan nggak ada, tapi belum waktunya aja mereka berubah." Gue memilih melanjutkan buku yang ada di hadapan gue, membicarakan masalah seseorang memang tak akan ada habisnya dan banyak pelajaran yang di dapan dari kisah mereka. "Yah bisa jadi, dan temen Lo mungkin salah satu orang yang beruntung karena sadar di waktu yang masih tergolong muda. Masih banyak harapan untuk di raih di usia dia sekarang." Gue mengangguk, ini alasan kenapa gue suka ngajak Nanda untuk satu meja sama gue tiap kali kita di perpus. Obrolan kita itu terlalu nyambung dan ngga akan khawatir kehilangan bahan pembicaraan, terlebih gue orang yang jarang bersosial. Gue lebih milih diam di rumah dari pada harus membahayakan sekitar.ir penantian 20
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN