1. Curug Cilember
Pagi yang cerah tepat di tanggal 18 agustus 2014. Aktifitas yang biasanya bergulir pada rutinitas sehari-hari yang berjibaku dengan pekerjaan. Sebagai karyawati kontrak di sebuah perusahaan kosmetik yang menjalani hidup dengan datar. Rutinitas hidupya hanya berputar pada rumah dan perusahaan tempatnya bekerja. Memiliki satu sahabat yang melengkapi hidupnya namun sahabatnya itu harus meneruskan menimba ilmu di kota Purwokerto. Komunikasi yang di jalaninya hanya melalui jaringan telepon.
Pagi ini dia bergegas untuk mandi dan menyiapkan segala kebutuhannya untuk mengikuti acara yang telah temannya buat untuk mengisi kekosongan libur kerjanya. Acara tersebut bukan ide temannya melainkan acara dari adik sang teman. Setelah semuanya rapi dia akhirnya berangkat selepas shubuh, menjemput salah satu temannya yang di juluki kembaran baginya ‘Ipil dan Upil’ sebutan kami dari rekan-rekan kerja.
“Pil gue udah sampek halte, lu dimana?” tanya Raisa pada Reisa temanku yang dijuluki Upil.
“Aku masih jalan, bentar lagi sampek. Tungguin ya Pil.” Jawabnya yang sudah terdengar suara riuh dari kendaraan.
“Ndang cepet, selak di seneni Bu Lurah ngko. (Ayo cepet, nanti di marahi Bu Lurah)” suara Raisa sedikit keras karena suara bising dari knalpot motor yang di modifikasi baru saja lewat.
“Iyo-iyo seng sabar, aku neng burimu iki loh. (iya-iya yang sabar, aku ada di belakangmu ini loh).” Raisa menoleh dan menstarter motor. Menyerahkan helm yang akan di gunakan Reisa pada perjalanan hari ini. Mungkin perjalanan kali ini bisa membuat hari Raisa lebih bahagia batinnya.
“Mbak, Bu Lurah BBM jarene awak e dewe wes di enteni neng optic gon biasane. (Mbak, Bu Lurah BBM katanya kita udah di tunggu di optic tempat biasanya).” Raisa mengangguk dan meluncur sesuai tempat dimana mereka janji temu untuk titik kumpul para teman-temannya berada. Bu Lurah juga julukan teman Raisa yang bernama Ani, dia sangat dewasa dari kami dengan beberapa petuahnya. Maka kami menyebutnya Bu Lurah.
Sesampainya di sana Raisa yang sudah di tunggu, ditatap dengan tajam oleh Bu Lurah karena dia telat 5 menit dari waktu yang di tentukannya. “Ipil, kan gue udah bilang tepat waktu. Lu tau kan kalau jalanan Bekasi macetnya gak bisa di maklumi.” Raisa mengangguk tanpa protes, percuma saja melayangkan protes padanya, yang ada Raisa kembali di hakimi olehnya.
“Nggeh Bu Lurah maaf.” Kelakar Upil yang membuat semua tertawa. Raisa dan Reisa belum turun dari motor, hanya mematikan mesin motor dan Bu Lurah sudah memberi intruksi untuk segera berangkat di titik temu tempat berkumpulnya teman adiknya.
Raisa mengikuti Bu Lurah yang di bonceng oleh adik laki-lakinya. Kami cukup dekat karena kami bekerja di line yang sama. Setiap hari bertemu setidaknya 11 jam sehari, 8 jam untuk bekerja dan 3 jam nya lagi kami habiskan di perjalanan ketika berada dalam bus jemputan dari perusahaan. Setibanya di sana Raisa yang belum sarapan akhirnya turun dari motor dan membuka tasnya. Raisa pamit pada Bu Lurah untuk melangsungkan sarapan terlebih dulu.
“Bu Lurah gue sarapan dulu ye. Laper banget soalnya.” Bu Lurah mengangguk dan menatap teman-temanku yang lainnya.
“Cepetan Sa kalau makan, lu nanti tetep bonceng Upil kan?” tanyanya ketika menghampiri Raisa yang sudah membuka tempat bekal yang disiapkan ibunya.
“Rebes lah, yang lain suruh makan dulu sono biar gak semaput.” Ucapan Raisa langsung mendapat toyoran kepalan dari Ani.
“Eh iya Sa, gue icip dong.” Ucap salah satu temanku bernama Risna.
“Emang doyan lu?” tanya Raisa yang sebenarnya tak ingin membagi makanannya pada siapapun, masakan ibunya terlampau enak untuk di bagikan pada teman-temannya.
“Doyan lah, masakan Ibumu kan enak. Meuni mantep pisan.” Logat sundanya keluar yang membuat Raisa langsung menyodorkan kotak bekalnya.
“Cepet, rausah ngomong sundo. Aku gak ngerti belas omonganmu. (Cepet, Gak usah ngomong sunda. Aku gak ngerti omonganmu sama sekali).” Risna menerima kotak bekal Raisa dan memakannya dengan lahap. Niat hati ingin mengicip namun terlalu enak untuk hanya sekadar mengicip. Raisa merebut kotak bekalnya karena emosi dengan Risna.
“Katamu ngicip tapi kok abis separo, kebangetan lu.” Protesnya pada Risna yang meringis.
“Tukeran sama nasi kuning yang tadi gue beli mau gak?” Raisa langsung menggeleng tak menyetujui permintaan Risna.
Ani datang menghampiri dan melerai keduanya. Sering kali terjadi jika Raisa membawa bekal dari rumah selalu saja bertengkar dengan teman-temannya. “Ayo buruan, itu Adek gue udah kumpul sama temen-temennya katanya udah mau berangkat.” Ucapnya berada di tengah teman-temannya yang sedang melangsungkan sarapan.
Reisa yang sudah selesai sarapan bersama 5 orang temannya menghampiri Raisa. “Mbak wes durung? (Mbak udah belum)” tanyanya pada Raisa yang masih terlihat menghabiskan sarapan yang berada di kotak bekalnya.
“Gak mok delok iki a durung entek! (Gak kamu liat ini belum habis)” sentak Raisa karena emosi bekalnya yang setengahnya di habiskan oleh Risna, dan ketika akan makan sudah di beri intruksi untuk segera bersiap kembali. Reisa meringis dan membuka tutup botol minum yang berada di tas Raisa. Menyodorkannya untuk segera di minum oleh Raisa agar tak emosi kembali.
“Yowes alon-alon ae Mbak, kui Bu Lurah yo emosi karo Mbak Chani, Mbak Isabella karo Mbak Sari. (Yaudah pelan-pelan aja Mbak. Itu Bu Lurah juga emosi sama Mbak Chani, Mbak Isabella dan Mbak Sari)” jelasnya pada Raisa yang masih melanjutkan sarapannya.
“La lapo Pil? (Kenapa Pil)” tanyanya dengan heran karena Raisa tak mendapati ketiganya berada di sekitarnya.
“Lawong udah di kasih tau titik temunya disini. Lakok malah sak enak udelnya malah minta ketemuan di daerah mana tadi aku lupa Mbak.” Raisa mengangguk mendengar ucapan Reisa.
“Mereka gak niat ikut itu. Bikin ribet ae, Bu Lurah tambah ngamok bentar lagi hahaha.” Raisa tertawa membayangkan Ani yang mengamuk ketika nanti bertemu ketiganya. Benar saja setelah Raisa tertawa, Ani menghampirinya dan menatapnya tajam.
“Pil buruan lu kalau makan, ayok berangkat keburu siang nanti sampek sana sore lagi.” Ucapnya pada Raisa yang sudah menyelesaikan makannya dan membereskan kotak bekalnya.
“Rewel lambemu Bu Lurah.” Raisa mengoceh sembari memasukan kotak bekalnya dan botol air minumnya.
Teman-teman dari adik Ani sudah berkumpul dengan membuat lingkaran. Raisa dan Reisa yang baru bergabung menatap seluruh anggota yang akan membawanya perjalanan menuju Bogor. Tepatnya menuju curug cilember yang menjadi tujuan mereka kali ini. Medan yang di tempuh cukup terjal. Raisa cukup menyesal ketika sudah berada di jalan, tak sesuai dengan ekspektasinya. Mereka melewati jalan-jalan kecil lebih tepatnya jalan tikus agar terhindar dari kemacetan. Berdoa sebelum berangkat menuju tempat tujuan menjadi hal yang sangat di haruskan. Setelah menyelesaikan doa menurut agama masing-masing mereka akhirnya memulai perjalanan dengan beriringan.
Ketika sudah di pertengahan jalan dan sudah bertemu dengan ketiga temannya yaitu Chani, Isabella dan Sari. Mereka melanjutkan perjalanan dan kembali melipir untuk membeli bendera yang akan di pasang di gagang spion kiri untuk memudahkan mereka mengetahui anggota dalam perjalanan kali ini. Apabila ada yang tertinggal atau kebingungan anggota di wajibkan untuk menengok kanan dan kiri mencari motor yang memiliki bendera di gagang spion kirinya. Cara ini cukup ampuh ketika beberapa dari mereka tertinggal jauh dan menemukan motor yang memiliki bendera di gagang spion kiri. Dengan berbekal sandi ‘Teman Ridho’ maka anggota sudah mengerti jika mereka adalah bagian dari Ridho. Lebih tepatnya adalah rombongan yang di bawa oleh kakaknya—Ani.
“Astaga Risma!” pekik Raisa yang baru saja di bonceng oleh Intan. Semua anggota melipir untuk memberi pertolongan untuk Risma yang terjatuh dan beberapa bagian tubuhnya luka cukup parah. Untung Risma memakai jaket kulit tebal jadi bagian tubuh atasnya tak mengalami luka. Mungkin keseleo pastinya, pasti badannya terasa remuk karena masuk ke tempat aliran air yang cukup dalam karena jalanan berkelok dan naik turun.
“Sa lu PMR kan dulu? Coba tolong bantu bersihin darah yang di tangan sama bagian kakinya dong. Gue gak tega banget.” Ani memanggil Raisa yang memang cukup tanggap dalam hal darah dan luka. Raisa maju dan membersihkan luka dengan ala kadarnya karena yang membawa kotak P3K belum tiba. Salah satu dari teman Ridho menghubungi seseorang yang membawa kotak P3K agar segera menuju lokasi dimana Risma jatuh.
Raisa membersihkan luka Risam dengan air yang di bawa dari teman-temannya, setidaknya lukanya dibersihkan dari kotoran dulu baru nanti di bersihkan dengan alcohol. Tak lama teman Ridho yang membawa kotak P3K tiba dan menyerahkan pada Raisa dan salah satu istri teman Ridho. Dengan telaten mereka berdua membersihkan luka Risna dan memberikan minyak kayu putih pada hidung Risma karena dia sempat pingsan setelah jatuh.
“Udah enakan belum Ris?” Raisa bertanya pada Risna dengan wajah khawatirnya. Baru tadi sebelum berangkat mereka berdebat masalah bekal. Kenapa sekarang Risna harus mengalami kecelakaan tunggal dan membuatnya tampak mengenaskan karena ringisan kesakitannya.
“Enak gimana sih? Sakit banget rasanya, ini perih Sa!” Protesnya ketika Raisa membersihkan lukanya dengan cairan alcohol. Raisa tetap melakukan tugasnya agar segera bisa membersihkan temannya yang di bonceng Risna. Adel tampak lebih mendingan keadaannya di banding Risna.
“Jangan bawel, noh liat si Adel juga sakit kayak lu. Diem dulu jangan banyak protes makanya.” Risna menatap Adel merasa bermasalah karena sudah membuatnya seperti ini. Risna tak begitu menguasai medan sehingga tak bisa menguasai motornya, akhirnya jatuh dan masuk pada tempat mengalirnya air dari hulu.
“Maaf ya Del jadi begini, gue gak sengaja sumpah.” Ucapnya dengan rasa bersalah dan menatap Adel dengan berkaca-kaca. Adel mengangguk dan berpikir tak mungkin Risna melakukannya dengan sengaja. Karena ada nyawanya juga yang menjadi taruhannya jika Risna melakukannya dengan sengaja.
“Iya Ris gue paham, kita berteman gak sebulan dua bulan. Lagian kalau lu sengaja mah lucu lah.” Kelakarnya membuat semua yang menunggu Risna dan Adel dibersihkan lukanya tertawa.
Raisa yang sudah membersihkan luka Risna, kini berpindah pada Adel dan membersihkan lukanya yang hanya lecet tak sampai mengeluarkan darah yang banyak seperti Risna. Adel beberapa kali meringis karena Raisa membersihkan lukanya dengan serakatan. “Pelan-pelan Sa sshhh.” Protesnya dengan lirih karena tak kuat menahan sakit.
“Sabar bentar lagi kelar.” Jawabnya dengan menempelkan plester pada luka Adel.
Setelah di rasa Risna dan Adel akhirnya mengabari keadaannya pada keluarga. Kakak Risna yang memang overprotektif langsung menyusulnya untuk mengajak pulang adiknya, agar tak meneruskan tujuannya hari ini. Adel dengan berat hati juga harus ikut pulang, karena tak mungkin juga melanjutkan perjalanan tanpa ada yang memboncengnya.
Beberapa dari rombongan di perbolehkan untuk melanjutkan perjalanannya, untuk Ani dan Ridho serta 2 pasangan suami istri harus menunggu kedatangan kakak dari Risna untuk menjemputnya.