“Eh? Jadi kau benar ingin membunuhku?”
Kedua tangan Ruby terangkat menutupi mulut, matanya melebar, seakan-akan tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Padahal ia hanya asal bicara, membalas ucapan Rayden. Namun, reaksi suaminya itu seakan menunjukkan bahwa yang dikatakannya benar.
“Ya! Aku ingin kau pergi dari hidupku! Kau menghancurkan semuanya! Kau membuatku sangat sial!” ucap Rayden lantang.
Ruby hanya diam, ia sudah terbiasa dengan teriakan Rayden di depan wajahnya. Namun, itu sama sekali tak membuatnya mengakhiri perjuangannya.
“Sial? Bukankah sebaliknya? Kau itu beruntung, suamiku. Kau beruntung karena wanita bernama Airin itu pergi dan aku yang menggantikannya sebagai istrimu. Jika kau tetap menikah dengannya, kau hanya akan mendapat barang bekas. Dia juga membawa anak dari laki-laki lain. Dia sudah membohongimu selama ini. Bukankah tidak adil kau masih berharap pada wanita seperti itu?”
Plak!
Ruby memegangi pipi yang mendapat tamparan keras dari sang suami. Dari semua yang pernah ia lakukan dan katakan untuk menggoda Rayden, baru kali ini suaminya itu memberinya tamparan. Apakah karena sudah kehabisan kesabaran? Ataukah, marah dengan fakta yang baru saja ia katakan?
Rayden menatap tangannya yang baru saja mendarat keras di pipi Ruby. Seumur hidup dirinya tak pernah ingin menyakiti wanita dengan tangannya meski sangat membenci wanita itu sendiri. Ia terbawa emosi, tak dapat mengendalikan kemarahannya saat Ruby mengungkit masalah Airin.
Perlahan tangan yang baru saja mendarat di pipi Ruby itu mengepal. Rayden pun memutuskan turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata. Meski terbesit rasa bersalah yang membuat mulutnya ingin mengucapkan maaf, tapi niat itu kembali tenggelam karena ego yang setinggi awan.
Jbles!
Rayden menutup pintu kamarnya pelan dan tetap berdiri di sana selama beberapa saat sambil kembali menatap tangannya yang gemetar. Selama ini ia beranggapan bahwa hanya pecundang yang berani menyakiti wanita dengan tangannya dan itu artinya, dirinya benar-benar seorang pecundang sekarang.
Keesokan harinya, Rayden telah berada di kediamannya sendiri begitu juga dengan Ruby. Keduanya pulang dari rumah kedua orang tua mereka kemarin yang mana Rayden pulang tanpa pamit. Rayden belum bisa memaafkan ibunya yang sudah memberinya obat perangsang hari itu.
“Sssh ….” Rayden mendesis sambil memegangi kepala belakangnya saat ia bangun. Kepala belakangnya masih sedikit sakit akibat jatuh di kamar mandi waktu itu.
Duduk selama beberapa saat di tepi ranjang, Rayden bangkit berdiri dan melangkah keluar kamar menuju dapur saat merasa tenggorokannya kering. Sesampainya di dapur, Rayden dikejutkan dengan keberadaan Ruby yang tengah memasak di mana seperti biasa, Ruby hanya memakai apron untuk menutupi tubuhnya.
Rayden menatap punggung Ruby dalam diam di mana ia mendengar istrinya itu bersenandung kecil seperti biasa ketika ia memasak. Ia kira, setelah tamparan kerasnya kemarin Ruby akan berubah, mungkin wanita itu tak akan berani lagi bersikap seperti jalang, atau bahkan terkena serangan mental, tapi ….
“Sayang, sudah bangun? Tunggu sebentar, ya, sarapan segera siap.”
Rayden tersentak, tersadar dari tenggelamnya pikiran. Ia pun hanya mematung di tempat.
Ruby mengalihkan sejenak perhatiannya dari penggorengan kemudian menoleh ke belakang dan mendapati Rayden masih berdiri, ia segera menghampiri.
“Sayang, ada apa denganmu? Ayo duduk,” ucap Ruby seraya meraih tangan Rayden berniat menuntunnya duduk di kursi meja makan.
Rayden bergeming dan menahan tangannya saat Ruby berusaha menariknya.
“Kau masih bersikap seperti ini setelah apa yang kulakukan kemarin?” tanya Rayden di mana terselip rasa tak percaya sekaligus heran dari raut wajahnya.
Ruby setengah memiringkan kepala dan bergumam. “Eh?”
Tiba-tiba sudut bibir Ruby terangkat menciptakan senyuman yang membuat Rayden berpikir mungkin saja Ruby sudah gila. Hanya wanita gila yang menganggap tak terjadi apapun setelah mendapat tamparan dari seorang pria.
Ruby meraih tangan Rayden dan menempelkannya di pipi. “Tamparan kemarin tak ada apa-apanya bagiku. Justru, membuatku semakin ingin membuatmu menyentuhku.”
Ruby menurunkan tangannya yang menggenggam tangan Rayden dan mendaratkannya di dadanya, membiarkan tangan Rayden menyentuh dadanya yang tak terlindungi oleh bra. “Kalau mau menamparku lagi, beri aku tamparan di sini.”
***
Brak!
Rayden membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia kembali ke kamar berpikir Ruby benar-benar sudah gila melihat apa yang dilakukannya barusan. Apa ia benar-benar harus menghabisinya agar dia berhenti?
“Dia benar-benar sinting,” geram Rayden yang tampak frustasi.
Drt … drt ….
Perhatian Rayden beralih pada ponselnya di atas nakas saat benda pipih itu berdering. Mengambil benda persegi itu, dilihatnya siapa yang menghubunginya di waktu yang cukup pagi begini.
Alis Rayden sedikit berkerut menatap layar ponselnya. Namun, pada akhirnya ia mengangkat panggilan. “Halo.”
“Halo, selamat pagi. Maaf, menghubungi Anda di waktu seperti ini, Tuan Rayden.”
Rayden terdiam sejenak seraya duduk di tepi ranjang. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Rayden dengan sopan. Orang yang menghubunginya sekarang adalah Dominic Hanzel, salah satu calon investor di perusahaannya.
“Tidak perlu terlalu formal, Tuan Ray. Kita tidak sedang di jam kantor sekarang, dan kurasa, jarak usia kita tidak terlalu jauh.”
Rayden melirik ponselnya yang menempel di telinga. Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Jadi, apa yang ingin anda sampaikan?” tanya Rayden tanpa mau berbasa-basi.
“Ah, sebenarnya aku sangat malu harus mengatakan ini, tapi … jujur saja, aku sampai tak bisa tidur. Tapi, kuharap Anda tidak tersinggung.”
“Tidak perlu sungkan. Saya akan mendengarnya,” ujar Rayden dengan tenang meski sebenarnya perasaannya mulai gelisah. Ia berpikir, apa yang akan calon investornya itu katakan adalah sesuatu mengenai wallpapernya hari itu.
“Yah … begini, aku terkejut mengetahui anda sudah menikah dan jujur saja, istri anda sangat cantik.”
Mata Rayden melebar, mulutnya bahkan nyaris menganga. Siapa kira, apa yang ia pikirkan benar adanya. Ia pun mulai berpikir yang tidak-tidak, mengira calon investornya itu akan berubah pikiran hanya karena melihat wallpapernya yang memalukan hari itu.
“Mengenai itu saya–”
“Jika anda tidak keberatan, bisakah anda memberiku kesempatan bertemu dengan istri anda secara langsung?”
Rayden tercenung sejenak. “Maksud anda?”
“Haish, bagaimana aku menjelaskannya? Jujur saja aku tertarik dengan istri anda.”
Tubuh Rayden seketika terasa dingin. Ia sudah mengerti sekarang, maksud dan tujuan pria di seberang sana.
“Kita bisa segera mengadakan pertemuan untuk membahas kerjasama yang anda tawarkan, tapi … berikan aku waktu bersama istri anda walau hanya semalam.”