6. Pria Sinting

1006 Kata
Rayden menurunkan ponsel dari telinga setelah mengakhiri panggilan. Ia terkejut, tak pernah mengira hal semacam ini bisa terjadi. “Sayang, sarapan sudah siap.” Suara Ruby membuatnya mengarah pandangan ke arah pintu dan mendapati Ruby menyembulkan kepala lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Ingatan apa yang baru saja Dominic katakan pun muncul dalam kepala. “Eh? Kenapa menatapku begitu?” tanya Ruby seraya membuka pintu sedikit lebih lebar dan melangkah memasuki kamar menghampiri Rayden yang duduk di tepi ranjang. Ia merasa Rayden menatapnya dengan pandangan yang aneh. Rayden masih tenggelam dalam pikiran. Haruskah ia menuruti Dominic? Bukan semata agar pria itu menandatangani kontrak melainkan, siapa tahu dengan itu dirinya bisa lepas dari Ruby. “Sayang.” Ruby menyentuh bahu Rayden. Namun, segera ditepis oleh suaminya itu. Rayden pun bangkit berdiri dan melangkah memasuki kamar mandi. Tak ingin kejadian waktu itu terulang, Rayden mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Ruby masih berdiri di tempat, mengarah pandangan pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ia merasa ada yang aneh dengan Rayden. Namun, tak dapat menebak apa yang sebenarnya pria itu inginkan. Beberapa saat kemudian, Rayden telah dalam perjalanan ke kantor setelah menyelesaikan sarapan dengan sedikit tergesa. Ia sengaja, tak pernah berlama-lama saat di meja makan, menghindari Ruby yang selalu menggodanya setiap saat. Tiba-tiba Rayden teringat permintaan Dominic membuatnya memijit pangkal hidungnya. Sebagian hatinya memintanya menuruti keinginan pria itu, tapi sebagian lagi menyuruhnya menolak guna menjaga harkat martabatnya sebagai seorang suami dan lelaki. Drt …. Dering ponsel membuat Rayden tersentak. Mengambil ponsel dari saku jasnya, diangkatnya panggilan. “Halo.” “Halo, Tuan Ray. Apa kau sudah di kantor sekarang?” Rayden terdiam sejenak lalu menjawab, “Masih di perjalanan.” “Oh, begitu. Baik lah, aku akan menunggu. Aku sudah di depan kantormu sekarang.” Rayden menatap layar ponselnya setelah panggilan berakhir. Sepertinya Dominic benar-benar serius dengan ucapannya tadi pagi sampai-sampai sengaja ingin bicara empat mata secara langsung. Tak lama, Rayden tiba di kantornya dan benar saja, Dominic sudah menunggunya di ruangan. Pria itu benar-benar seperti calon pembeli yang memaksa padahal, Rayden bukanlah seorang penjual. “Jadi, bagaimana dengan tawaranku tadi pagi, Tuan Ray?” tanya Dominic tanpa basa-basi setelah menyambut Rayden yang baru memasuki ruangan dengan rekahan senyuman. Ia duduk di sofa di sisi ruangan, sikunya bertumpu tanganan sofa dengan kepalan tangan dijadikannya sandaran kepala. Pandangannya mengarah lurus pada jelaga sekelam malam milik Rayden yang menatapnya dengan datar. “Sepertinya anda begitu tertarik dengan istriku.” Dominic menyeringai. “Tentu saja. Bukankah sudah jelas?” Rayden dapat melihat seringai tipis itu. Ia memejamkan mata sejenak kemudian melangkah menuju kursi direkturnya. “Aku tersanjung jika pesona istriku dapat memukau anda, tapi maaf, aku tak bisa menerima tawaran anda,” ujar Rayden saat ia duduk di kursi direkturnya. Ia sudah berpikir dan memutuskan, tak akan menyerahkan Ruby. Hanya pria tak punya harga diri yang mengorbankan istrinya, menjadikannya tumbal. Tak ada raut terkejut di wajah Domini seakan, ia sudah bisa menebak jawaban apa yang ia dapat. Dominic bangkit dari duduknya, kedua tangannya masuk saku celana. Ia pun berdiri di depan meja kerja Rayden. “Wah … wah, jawaban yang mengejutkan. Saya kira, anda dengan mudah menyerahkan istri anda. Atau, apa tawaran yang kuberikan kurang menggiurkan? Bagaimana dengan satu milyar? Hanya semalam.” Rahang Rayden mengeras. Apa yang begitu istimewa dari Ruby sampai-sampai seorang lelaki mau membayarnya sebanyak itu? Dominic menarik kedua tangannya dari saku celana kemudian menekan tepi meja Rayden menjadikannya tumpuan saat ia setengah membungkuk. “Bagaimana? Jika setuju, aku bisa memberikannya detik ini juga.” Kedua siku Rayden menekan meja, menjadi tumpuan saat kedua tangannya menyatu lewat sela-sela jari dan berada di depan mulutnya. “Ada banyak wanita yang mungkin dengan senang hati membuka kaki mereka untuk anda, kenapa harus istriku?” tanya Rayden di mana raut wajahnya tampak dingin. Ia sedang menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat pedas guna membuat Dominic berhenti. Dominic menegakkan punggungnya dan tiba-tiba tertawa lebar. “Hahaha … kau benar, anda sangat benar. Ada banyak wanita yang bersedia membuka lebar kaki mereka untukku, sayangnya … untuk saat ini yang kuinginkan adalah istrimu. Ayolah, Tuan Ray, apa salahnya membiarkan istri anda tidur denganku? Hanya semalam, izinkan aku mencicipinya.” Rahang Rayden semakin mengeras, tangannya pun semakin kuat saling meremas. “Dengan tegas kukatakan, tidak. Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, sebaiknya anda keluar.” Rayden berucap dengan tegas disertai kilatan kemarahan lewat sorot matanya. Jika kata-katanya masih tak juga membuat Dominic enyah, ia tak akan segan menggunakan kekerasan. Ia tak peduli meski harus berurusan dengan polisi atau kehilangan calon investornya itu. Yang terpenting adalah, menjaga harkat martabatnya sebagai lelaki. Dominic terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya suaranya terdengar saat ia mengatakan, “Baik lah.” Hanya kata singkat itu yang terucap. Ia kemudian membalikkan badan seraya memasukkan tangan kiri ke saku celana. Akan tetapi, sebelum ia mengambil langkah, ia menoleh, menatap Rayden dengan telapak tangan kanan menutupi wajah, menutupi seringai lebarnya saat ia mengatakan, “semakin anda menolak, semakin aku ingin mendapatkannya. Bersiap lah, aku tak pernah gagal merebut istri orang.” Rayden hanya diam membiarkan Dominic meninggalkan ruangannya setelah memberinya ancaman. Alih-alih khawatir, Rayden justru berpikir bahwa Dominic sudah gila. Dan benar saja, setelah ia mencari informasi mengenai Dominic, pria kaya itu dikenal suka berkencan dengan istri orang. “Dia benar-benar tak waras,” batin Rayden setelah mengakhiri panggilan dengan salah seorang teman yang memberikan informasi mengenai Dominic. Pikiran Rayden kini tertuju pada Ruby. Entah kenapa, ia tak rela jika sampai Dominic menyentuh istrinya. Namun, ia yakin bukan karena mulai peduli pada Ruby melainkan karena ia tahu Dominic adalah pria sinting. Tak terasa sore telah tiba, Rayden pulang dari kantor seperti biasanya, di jam yang sama. Sesampainya di rumah ia pun telah menyiapkan diri guna menghalau godaan Ruby. Akan tetapi, sesuatu yang aneh terjadi, Ruby tak lagi menyambutnya dengan hanya memakai apron tanpa pakaian dalam. Sebaliknya, istrinya itu memakai pakaian sopan, memakai baju lengan panjang dan rok panjang. Sontak, hal itu membuat Rayden mengernyitkan dahi dan semakin mengernyitkan dahi saat mendengar suara yang sudah dikenalinya. “Anda sudah pulang, Tuan Rayden.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN