Igor Kamil Kashawn

1291 Kata
Kediaman Gamal Hassan. Malam pukul 7.30 Wajah Pak Gamal tampak resah malam itu. Bagaimana tidak resah, atasannya akan mengunjunginya malam ini ke rumahnya. Gamal Hassan merupakan salah ketua komisaris keuangan di sebuah perusahaan multifinance internasional di kawasan BSD. Sudah lebih dari dua puluh tahun dia bekerja di perusahaan tersebut. Karenanya Gamal sangat dekat dengan pemilik perusahaan, Radhitya Kashwan. Kali ini keresahan Gamal cukup beralasan. Dia yang sudah terbiasa bekerja dengan Pak Radhit selama bertahun-tahun, harus rela melepas Pak Radhit yang akan pindah tugas ke anak perusahaannya yang berada di Kolombo, Srilanka. Perusahaannya di sana tergolong baru, jadi Pak Radhit harus turun tangan. Dan perusahaannya yang di BSD akan diserahkannya kepada anak satu-satunya, Igor Kashawn. So, Pak Gamal akan memiliki atasan baru. Karena Pak Gamal dianggap sangat tahu seluk beluk perusahaan Pak Radhit, jadi dia ingin memperkenalkan Igor kepada Pak Gamal malam ini. “Duh. Ganti bos,” keluh Pak Gamal yang sedang berada di meja makan. Dia ditemani istrinya. “Yah. Jalani aja. Siapa tahu lebih baik. Pasrah aja toh, Pa,” “Yah. Kamu bisa ngomong pasrah. Orang semua tahu Igor itu bagaimana. Kawin cerai lima kali. Ini malah hidup sama perempuan di apartemen tanpa ikatan pernikahan. Emang perusahaannya di Singapore maju di tangannya. Tapi aku terus terang nggak bisa bekerja dengan orang yang akhlaqnya begitu. Beda jauh sama Pak Radhit.” Bu Nayura sedikit bergidik mendengar alasan suaminya. “Yah. Mau bagaimana lagi. Ini juga sudah keputusannya Pak Radhit kan? Papa harus tenang. Siapa tau keputusan Pak Radhit nggak salah. Mungkin sudah diperhitungkan Pak Radhit toh?” Dan tak lama terdengar bunyi deru mesin mobil di depan pekarangan rumah Pak Gamal. Pak Gamal dan Bu Nayura saling pandang. Lalu Pak Gamal pun bangkit dari duduknya melangkah ke ruang depan. Terdengar suara Pak Gamal begitu renyah dan semangat menyambut Pak Radhit, atasannya. “Silakan. Silakan duduk,” ucap Pak Gamal dengan ramah. Pak Radhit dan anaknya, Igor pun duduk di hadapan Pak Gamal. “Igor, ini Pak Gamal. Sudah Papa ceritakan sebelumnya ya?” Igor mengangguk kecil. Sekilas pria yang berusia tiga puluh tujuh ini dingin. Tapi dari sorot matanya dia amatlah serius dengan setiap pekerjaan di bawah tanggung jawabnya. Dan Pak Gamal sepertinya puas tatkala bertemu langsung dengan Igor. Begitu kesan yang dia dapat dari perawakan Igor, meski penampilannya sedikit nyentrik, tato di hampir menutupi lengan kirinya, serta anting kecil di telinga kirinya. Tapi, tampan. *** Sementara itu di dapur, “Siapa di depan, Ma?” tanya Gema yang tiba-tiba muncul di dapur hendak mengambil jus di kulkas. “Om Radhit, eh, aduh,” Bu Nayura sedikit kelabakan ketika ponsel yang berada di sakunya berbunyi kencang. Ada yang menelponnya. “Gema, kamu tolong antar minuman ini ke depan. Mama lagi terima telpon dari mamanya Hanif.” Gema langsung melakukan perintah mamanya setelah meletakkan jusnya di atas meja makan. *** Gema sedikit bergidik saat meletakkan tiga minuman hangat di atas meja tamu. Tak sengaja matanya tertuju ke Igor yang perawakannya sedikit mengundang reaksi anehnya. “Ini Om Igor. Anak Om,” ujar Pak Radhit yang melihat mata Gema sekilas melirik Igor. “Udah jarang main ke kantor sekarang,” lanjut Pak Radhit sambil menyerahkan tangan kanannya ke arah Gema. “Persiapan ujian, Om Radhit,” jawab Gema sambil mencium punggung tangan Pak Radhit, juga punggung tangan Igor. Igor meliriknya sekilas. “Emang udah kelas berapa sekarang?” tanya Pak Radhit. “Kelas 11, Om,” jawab Gema pelan. Pak Radhit mengangguk-anggukkan kepalanya. “Silakan diminum, Om,” ucap Gema sopan. “Besok Om sama papamu main Golf. Kamu ikut ya. Om kangen udah nggak ngobrol-ngobrol. Soalnya Om mau pindah ke Kolombo. Nanti lama lagi kita bakal ketemuan,” Gema tersenyum mengangguk. Lalu dia pun pamit meninggalkan ruangan depan menuju dapur. Gema dan Radhitya, bos papanya sedari kecil memang sangat dekat. Gema biasanya pulang sekolah langsung menuju kantor papanya yang kebetulan sangat dekat dengan sekolahnya. Dari kantor papanya, Gema pulang ke rumah bersama papanya. Di kantor papa, Gema memang suka ngobrol dengan Pak Radhit. Pria yang usianya hampir tujuh puluh tahun itu memang menyukai Gema yang manja kala berdekatan dengannya. Bahkan dulu Gema sering diajak main ke apartemennya di kawasan elit Sudirman atau rumahnya yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan. Sudah hampir enam bulan ini Gema tidak bertemu dengan Pak Radhit, karena kegiatan sekolah yang cukup banyak diikuti Gema. Gema juga mulai belakar menyetir mobil. Rencananya, di usianya yang akan menginjak tujuh belas, dia akan mengikuti tes SIM A. Biar lebih mandiri, begitu pendapat orang tua Gema. Apalagi nanti kalau Gema akan menikah, biar Hanif juga nggak repot antar Gema sana sini. Semua sudah direncanakan dan diatur papamamanya. Malam itu nampak wajah Pak Radhit sangat senang saat melihat Gema kembali. Pak Radhit memang sayang anak gadis itu. Katanya kalau diajak ngobrol, tidak seperti anak-anak seusianya. Gema selalu cepat beradaptasi dan juga serius jika tertarik mendengarkan sesuatu. Alias pendengar yang baik. Jadi wajar saja, Pak Radhit suka Gema. Tentu saja mengenai perjodohannya dengan Hanif belum diketahui Pak Radhit. Entah apa komentar Pak Radhit jika mengetahui Gema akan berjodoh dengan seseorang. *** Muhammad Igor Gading Kashawn, nama lengkap Igor, 37 tahun, anak dari pasangan Radhitya Kashawn dan Gamboh Sri Kawuwung. Radhitya merupakan turunan Inggris dan Jawa. Sementara istrinya asli Minahasa. Igor, pria kelahiran Minahasa. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di Singapore. Karena sebelumnya dia memimpin salah satu perusahaan papanya di sana. Igor seorang duda tanpa anak. Sudah 5 kali. Bukan karena dia tidak mampu memproduksi, tapi Igor memang tidak menginginkan seorang anak pun. Dia tidak ingin terbebani dengan anak. Dia ingin bebas. Salah satu penyebab dia cerai adalah karena hampir semua istrinya menginginkan anak sementara dia tidak menginginkannya. Kini, dia tinggal di sebuah apartemen mewah di kawasan elit Sudirman. Sudah hampir enam bulan dia tinggal di sana bersama seorang perempuan bernama Tiffany Kerren, tanpa ikatan pernikahan. Mereka telah menjalin kasih lebih kurang dua tahun. Tiffany adalah seorang CEO public relation di sebuah hotel besar di kawasan Sudirman. *** Pagi Minggu, Pak Gamal benar-benar mengajak Gema ikut dengannya menghabiskan waktu bersama di lapangan hijau terhampar di kawasan perumahan elit Serpong. Ada Pak Radhit dan asistennya. Pak Radhit, meski usianya lanjut, dia masih kuat berjalan. Dia enggan memakai mobil golf. Wajahnya sangat senang karena asyik ngobrol dengan Gema. Sesekali dia menepuk-nepuk pundak Gema karena tertawa mendengar setiap sanggahan Gema. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya asyik sekali. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu. Kini mereka berempat tampak sudah sangat letih. Mereka berjalan menuju sebuah lapangan tennis, sekaligus tempat beristirahat. Ternyata ada Igor yang sedang bermain tennis bersama temannya di sana. Igor melambaikan tangannya ke arah rombongan papanya. Pak Radhit membalasnya. “Ah. Dia nggak berubah. Gitu-gitu aja hidupnya. Cuma ya bersyukurnya dia mau kerja keras. Pusing juga aku, Mal. Kapan dianya berubah. Sudah ketemu sama guru-guru spritual minta doa sana sini. Tetap saja begitu … main perempuannya yang aku nggak tahan,” keluh Pak Radhit. Gurat wajahnya penuh gelisah. Tahu akan yang dibicarakan bosnya, Pak Gamal merangkul pria tua itu erat. “Mana umurku udah uzur begini. Kepingin dia hidup lurus,” lanjutnya sedih. “Terakhir ya itu, ikut saranmu ketemu Pak Yai Luthfi. Minta doa sama saran.” Gamal sedikit ikut larut dalam kesedihan mendalam Pak Radhit. Bagaimana tidak sedih, kehidupan bebas dan glamour anaknya, Igor, sangat membuatnya khawatir. Sudah bertahun-tahun hidupnya penuh masalah, terutama dengan berbagai macam perempuan. Meski kelebihan Igor adalah keseriusannya dalam masalah pekerjaan dan memang sangat bermanfaat bagi hidup orang banyak, tapi Pak Radhit ingin sekali hidup anaknya itu normal seperti kebanyakan pria-pria lain. Lalu Pak Gamal, Gema, Pak Radhit dan asistennya duduk-duduk di atas sebuah tikar yang digelar di atas rumput di bawah pohon. Mereka melepas lelah di sana. “Pa, Gema mau beli coke di sana,” pamit Gema seraya meraih tas kecilnya di sampingnya. Dia pun berlalu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN