Sarah Hassan Youdha

1101 Kata
Wajah Nayura sangat cerah ketika bercakap-cakap dengan Hanif di depan pintu utama rumah keluarga Abbas. Saat itu dia dan suaminya beserta Gema hendak pamit pulang. Dan ternyata sikap Hanif yang sangat ramah dan menenangkan itu cepat menghilangkan perasaan gelisah yang sebelumnya menerpa diri ibu satu anak itu. Di luar dugaan, sikap Hanif yang sangat santun dan penuh maaf sangat berkesan di mata Nayura. Tentu saja berbagai macam pujian meluncur manis dari mulut Nayura mengenai Hanif selama perjalanan pulang. Dia senang sekali. Hanif yang gagah, yang alim, yang pintar, dan yang dari keluarga berada. Sikapnya berubah drastis. Sampai-sampai Pak Gamal tidak diberi kesempatan untuk menyanggah setiap perkataan dari istrinya mengenai pria bersahaja itu. "Gimana tadi pas ketemu Hanif? Mama suka banget. Ganteng, pintar, alim, kaya lagi," Gema tidak semangat. Tadinya dia merasa mamanya bakal mendukungnya untuk tidak menerima perjodohannya. Tapi ternyata Mama malah mendukung. Bahkan terkesan berlebihan. Sementara papanya malah santai tidak banyak bicara. "Ya. biasa, Ma. Cakep," balas Gema pendek. Dia tidak begitu semangat. "Lo? Terus tadi ngobrol apa aja?" tanya Mama. "Cuma nanya nama lengkap, sekolah, udah. Trus dia minta nomor kontak Gema," Nayura tersenyum lebar seraya melirik suaminya penuh semangat. "Kalo udah minta nomor kontak ya ... lanjut kayaknya," Gema diam. Pikirannya entah ke mana. Sebenarnya banyak yang mau dia tanyakan seputar perjodohannya. Kapan menikah? Bagaimana nanti nasib studinya? Apa memungkinkan dia untuk kuliah? atau apa dia sanggup menikah muda? Kalau bertengkar atau berselisih paham harus bagaimana? Harus siap? Kalau nggak siap? Pikiran Gema kosong. Matanya memang tertuju pada lalu lalang kendaraan di luar mobil serta kelap kelip lampu dari gedung-gedung pencakar langit, tapi hati dan perasaannya penuh dengan kekhawatiran. ***  Sarah Hassan Youdha, sepupu Gema memarkirkan mobil mewahnya di dalam pekarangan rumah keluarga Gamal Hassan, pamannya. Sarah memang sangat akrab dengan Gema. Meski dua tahun lebih tua dari Gema, tapi Gema menganggapnya sebagai teman seusia. Karena sejak kecil memang sudah akrab. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama meski beda sekolah. Gema yang sedari kecil disekolahkan di sekolah Internasional Islami swasta, sementara Sarah disekolahkan di sekolah internasional swasta umum. Jelas terlihat dari busana, Sarah yang tidak memakai jilbab, Gema selalu memakai jilbab ke mana-mana. Sarah adalah mahasiswa tingkat awal di salah satu universitas swasta di kawasan BSD, jurusan Pendidikan (Teachers College). Cita-cita Sarah memang ingin menjadi guru. Karena papanya Batara Adimas Youdha adalah pemilik yayasan pendidikan di daerah Ciputat, jadi memang dia sengaja dipersiapkan untuk mengabdi di yayasan pendidikan milik keluarga besarnya jika dia menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Gadis tinggi berhidung mancung dan mata besar ini sudah menganggap rumah pamannya sebagai rumah sendiri. Dia bebas sekali berada di rumah Pak Gamal sedari kecil, karena kedekatannya dengan sepupunya Gema. Bahkan dia menganggap lebih nyaman di rumah Om Gamal ketimbang rumah sendiri. Mungkin karena Sarah adalah anak satu-satunya perempuan dikeluarganya, sementara dua saudara kandungnya adalah laki-laki yang sudah berkeluarga, Saif dan Said. Dia lebih nyaman menghabiskan waktu bersama dengan Gema. “Assalamu’alaikum, Bu le. Pagi,” ucap Sarah yang sudah berada di mulut pintu dapur. Dia langsung meletakkan tas selempangnya di atas meja kecil yang berada di sisi pintu masuk dapur. Tampak Bu Nayura sedang membereskan sink dapurnya dan Gema sedang menikmati sarapan paginya. “Wa’alaikumussalam, Sarah.” Sarah meraih roti yang masih terbungkus plastik yang tergeletak di meja makan. Lalu duduk di hadapan Gema yang masih memainkan pisau dan garpu di atas piringnya yang berisi selembar roti yang sudah terpotong. “Nginep ya, Sarah. Sudah lama kamu nggak nginep. Cuma mampir doang, terus pulang,” ujar Bu Nayura sambil meletakkan segelas s**u hangat di atas meja makan untuk Sarah. “Ujian tengah semester, Bule. Belum bisa nginep,” balas Sarah yang sudah siap mengoles rotinya dengan butter dan melahapnya. “Lha, kan bisa nginep sambil belajar,” protes Bu Nayura. “Hahaha. Nggak dapet izin dari Baba, Bule. Katanya bukan belajar kalo nginep di sini, malah nggossip. Ntar kalo udah kelar ujian baru bisa nginep,” balas Sarah lagi. Ditatapnya wajah Gema yang senyum-senyum memandangnya. “Apalagi sekarang, gossipnya malah tambah kencang. Hihi,” ujarnya lagi. Gema melotot seakan tahu apa yang dimaksud Sarah. “Oh. Jadi ke sini mau gossipin Mas Hanif to, calon Gema?” ujar Bu Nayura yang sedang mempersiapkan sayur mayur untuk segera dimasak buat makan siang. Dia dibantu seorang Asisten Rumah Tangga. “Hanif, Bule. Nggak mau dipanggil pake ‘Mas’. Ketuaan katanya,” Bu Nayura tergelak. “Oh ya?” “Iya, semalam kan nyuruh Gema manggil Hanif aja. Nggak pake Mas,” Dua bola mata bulat Gema mengerling ke atas. Dia sedikit jengah karena sudah ada nama ‘Hanif’ mengawal harinya. Dia merasa tidak begitu pantas menerima perjodohan karena usianya yang masih sangat belia. Dan Sarah memandangnya dengan senyuman jahil. *** Sarah menghempaskan tubuhnya di atas kasur di kamar Gema. “Ah, hampir dua minggu aku nggak ke sini. Kangen juga kamar ini,” ujarnya. Lalu dia menerungkupkan tubuhnya. “Oh. Nggak kangen aku?” balas Gema bertanya. Dia tampak asyik di hadapan komputer besarnya. Sepertinya dia sedang bermain game powerpuff girl secara online. “Ah, kalo kangen sama kamu kan masih bisa kontak-kontak dari Ciputat. Kalo kamar ini memang harus berkunjung ke sini.” Gema tergelak. “Gem, gimana Hanif? Ganteng kan? Hihi....” Sarah mulai menggoda. Gema tersenyum sinis. Dia tidak menjawab. Sekilas bayangan wajah Hanif melintas di benaknya. Ganteng, batinnya. “Iya. Tapi aku belum mau,” “Berarti ntar mau dong,” Sarah meraih boneka powerpuff Blossoms besar yang ada di atas tempat tidur Gema dan memainkannya. “Ih, gemessy banget deh Hanif … aku suka bibirnya,” Gema tertawa. “Udah buat kamu. Harusnya kan kamu yang duluan menikah karena lebih tua dari aku,” ujar Gema sambil terus bermain. Gema memang suka powerpuff girls. Lucu menurutnya, tapi menghanyutkan kekuatannya. “Ah, orang dianya maunya syama kyamyu,” Gema terbahak-bahak mendengar gaya ngomongnya Sarah yang sedang memeluk boneka blossoms erat-erat. Sepertinya Sarah memang suka sama Hanif. “Kata mama, seminggu lalu si Hanif memang mau dijodohkan. Tapi nggak tahu dengan siapa. Terus, Hanif bilang ya sudah kirim aja foto-foto perempuan yang masih kerabat Kiyai Luthfi, biar dia bisa milih,” “Idih kayak apa aja,” “Ya emang tradisi pernikahan di keluarga besar kita kan dipenuhi dengan perjodohan. Terus si Hanif milih kamu.” “Foto kamu ada nggak?” “Ya ada dong, tapi akyu nggak dipiliiiiih....” Sarah pura-pura meronta-ronta seperti anak yang tidak terpenuhi keinginannya. Gema mencibir. “Denger-denger dia akan jadi penggantinya Kiyai Luthfi, bakal mimpim pesantren Nurul Hikmah. Dan kamu bakal jadi Bu Nyai. Hihihi,” Gema mencibir lagi sambil menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mau,” Sarah mendelik. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN