"Apa nggak terlalu dini kita menerima perjodohan antara Gema dengan keponakan Kiyai Luthfi, Pa. Gema masih muda dan belum tahu apa-apa," ujar Bu Nayura Bashr. Dia agak cemas saat mengetahui bahwa salah satu pendiri Pesantren Nurul Hikmah, Kiyai Luthfi Kamil, menginginkan Gema berjodoh dengan keponakannya yang sedang dalam masa studi di Sudan.
"Ya, ini permintaan Kiyai lo, Ma. Mana Papa sanggup menolak. Kecuali ada hal-hal yang memang di luar kuasa kita. Kita ikuti saja dulu. Perkara jadi nggak jadi itu bukan urusan kita lagi. Kenalan saja dulu. Wong keluarga mereka yang mengundang kita. Kita wajib datang. Pak Kiyai meminta agar kita membawa Gema juga. Mau dipertemukan dengan Hanif. Begitu."
Pak Gamal Hassan berusaha menenangkan istrinya agar tidak terlalu gelisah dengan keadaan. Bu Nayura tahu betul Gema. Dia gadis yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan lain jenis, pacaran misalnya. Gema masih kekanak-kanakan sekali meski sudah duduk di bangku SMA kelas 11.
Di dalam mobil yang disetir Pak Deni, supir pribadi Pak Gamal, menuju rumah kerabat Pak Kiyai Luthfi, Bu Nayura sesekali menoleh ke Gema yang duduk di sampingnya. Perasaan gelisah bercampur cemas dia rasakan malam itu. Lalu digenggamnya tangan gadis berkulit putih itu.
"Cuma kenalan aja kan, Ma?" tanya Gema. Bu Nayura mengangguk.
"Iya, Gem. Cuma kenalan saja untuk malam ini,"
Gema menarik napas panjang. Dia tidak begitu relaks. Masih teringat percakapan antara dirinya dan papanya sore tadi ketika dia dipinta bersiap-siap karena diajak pergi ke suatu tempat. Dia kira dia diajak jalan makan malam di sebuah restoran atau di mana. Ketika dia bertanya baik-baik ke papanya, ternyata dia mau diperkenalkan dengan pria duapuluh empat tahun yang bernama Fathan Ahmad Hanif, salah satu keponakan seorang Kiyai yang amat disegani di lingkungan keluarga papanya. Dan papanya langsung saja berterus terang kepadanya bahwa perkenalan ini bisa berujung ke pernikahan. Gema yang tidak tahu apa-apa ini hanya menurut saja.
Gemma Aulia Hassan, murid kelas 11 di salah satu SMA Islam swasta bertaraf Internasional di daerah BSD, Tangerang, adalah anak tunggal dari pasangan Gamal Hassan dan Nayura Bashr. Gadis tinggi, cantik, dan berkulit putih bersih itu sekarang hanya pasrah.
Sebenarnya papamamanya agak keberatan dengan permintaan seorang Kiyai yang menginginkan Gema berjodoh dengan Hanif, mahasiswa International University of Africa. Karena Gema masih sangat muda sekali. Akan tetapi karena hubungan kekerabatan yang sangat kuat antara papanya dan Kiyai Luthfi, Pak Gamal pun akhirnya menerima perjodohan tersebut demi memelihara hubungan antar keluarga.
***
Suasana sangat hikmad ketika keluarga besar Kiyai Luthfi Kamil berkumpul di sebuah rumah mewah. Tamu laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa ditempatkan terpisah tapi tetap nyaman. Keluarga besar sang Kiyai memang terkenal kaya-kaya dan alim-alim. Tampak kendaraan-kendaraan mewah berjejer di depan halaman rumah salah satu kerabat Kiyai Luthfi, juga terlihat dari penampilan mereka yang berbalut pakaian mewah. Maklum, Kiyai Luthfi adalah seorang Kiyai keturunan ulama besar dari Arab Saudi. Beliau sangat dihormati. Begitu juga keluarga besarnya yang sangat terkenal alim dan berada.
Gema resah. Dia merasa menjadi sorotan para tamu undangan. Bagaimana tidak, sebagian besar dari mereka sudah mengetahui rencana perjodohan antara dirinya dan seorang pria bernama Hanif. Meskipun acara perkumpulan keluarga besar Kiyai Luthfi Kamil malam ini adalah silaturrahmi keluarga bulanan, tapi perkenalan mereka berdua memang diselipkan di sela-sela acara. Karena tuan rumah acara adalah orang tua dari Hanif sendiri, Pak Subhan Abbas.
"Pak Kiyai ternyata nggak bisa datang, Nayura. Nggak papa langsung saja Gema kenalan sama Hanif. Biar Sarah yang temenin. Hanif juga ditemani Nasrah, kakaknya. Mereka ada di teras belakang." Rema, kakak ipar Nayura, berbisik pelan ke telinga Nayura.
Dan nama Sarah yang disebutnya tadi tidak lain adalah anaknya yang sedang duduk di samping Gema.
Rema lalu berbisik ke Sarah setelah mamanya mencolek bahunya memberi kode. Gadis berhidung mancung itu lalu menggamit lengan Gema.
"Yuk, Gema. Aku temenin," ujar Sarah yang menyibakkan selendang putihnya. Dua gadis cantik tinggi itu pun bangkit dari duduk dan berlalu dari ruangan yang masih dipenuhi para tamu.
Wajah Bu Nayura tampak tidak begitu senang ketika memandang punggung Gema berlalu dari hadapannya.
"Sabar," bujuk Rema.
"Aku gimana nggak sabar, Mbak. Seperti rendah sekali rasanya. Orang-orang tuh biasanya pihak laki-laki baik-baik datang ke rumah pihak perempuan, ngelamar atau kenalan atau apalah. Ngobrolin serius antar orang tua. Ini kok kesannya malah kita yang nyodorin anak perempuan kita. Padahal aku yo keberatan sebenarnya. Gema masih muda banget. Mas Gamal kadang nyebelin," Rema tersenyum simpul mendengar gerutu Nayura. Memang sedari tadi Mama Gema terlihat tidak banyak senyum. Sebenarnya keduaorangtua Hanif sudah menyambut kedatangan keluarga kecil mereka. Tapi mungkin karena perasaan Nayura yang sudah terlanjur tidak karuan, dia pun tidak mampu menahan kekesalannya.
"Yah. Mungkin karena kebetulan kan kita semua kumpul. Jadi sekalian diperkenalkan. Baru kenalan, Nayura. Bukan perjodohan lo. Belum tentu si Hanif sreg, atau Gema sreg. Kalau dua-duanya sreg, baru ke tahap selanjutnya. Kamu kan baru punya pengalaman beginian,"
"Iya. Cuma mas Gamal sepertinya sudah pasrah gitu anaknya mau dijodohin. Aku yo nggak ngerti. Cuma perasaanku yah ... mentang-mentang sugih, trus seenaknya nyuruh-nyuruh datangin anak wedok,"
Rema hanya bisa mengusap bahu iparnya yang sedang risau.
Sementara itu di teras belakang...
"Gemma Aulia Hassan. Panggil Gema," ucap Gema saat memperkenalkan diri ke Hanif. Pemuda berwajah putih nan bersih tersenyum manis ke arah Gema yang duduk di hadapannya bersama Sarah.
"Aku Hanif," balas Hanif pendek. Dari raut wajahnya dia terlihat sangat puas. Gema memang gadis yang sangat cantik.
"Sekolah?"
"Iya. Kelas 11, Mas ... eh Hanif. Di Islamic Global School," jawab Gema. Dia tidak tenang. Sesekali memperbaiki letak duduknya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu.
Setelah itu diam. Kaku sekali. Apalagi Gema terlihat sangat resah. Dia memang tidak terlalu suka ngobrol serius apalagi berhadapan dengan laki-laki. Gema adalah sosok yang serius lagi pendiam.
Berbeda dengan Hanif. Dari ekspresi wajah dan posisi tubuhnya, sepertinya dia sudah biasa ngobrol atau berhadapan dengan perempuan. Dia sama sekali tidak terlihat canggung. Mungkin karena dia memiliki saudara perempuan, Nasrah, yang duduk di sebelahnya. Sebaliknya Gema adalah anak tunggal.
"Sudah liat-liatannya, Nif. Sudah puas kan? Nggak lewat foto lagi. Cantik kan," sela Nasrah sambil menyenggol bahu adiknya yang memang terpesona dengan wajah pink Gema. Sarah yang di samping Gema ikut senyum mendengar komentar Sarah, dan Gema hanya tersenyum kecut lagi tipis.
"Kata Abi nggak usah pake lama. Udah. Cukup untuk malam ini,"
Kata-kata Nasrah cukup membuat perasaan Gema lega. Tapi ...
"Boleh minta nomor kontak, Gema?" tanya Hanif tiba-tiba.
Gema sekilas melirik Sarah. Dia ingin berkata tidak. Gema berpikir sesaat.
"Ini nomornya Gema, Hanif," sela Sarah sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Hanif. Gema diam saja. Hanif tersenyum simpul. Dia sepertinya berusaha memahami sikap Gema yang tidak begitu semangat berhadapan dengannya.
Perkenalan yang amat singkat antara Gema dan Hanif malam itu. Gema yang gelisah dan Hanif yang sumringah. Wajar Gema gelisah, di samping dia merasa bahwa dirinya masih sangat belia, dia belum tertarik untuk dijodohkan. Sebaliknya, Hanif tentu saja sumringah, di satu sisi Gema adalah gadis yang sangat cantik, dia sudah tertarik untuk segera menuju pelaminan karena usianya yang sudah cukup matang.
Gema dan Sarah lalu kembali ke ruang dalam rumah. Terdengar lantunan shalawat dan dzikir dari dalam rumah keluarga Subhan Abbas, Ayah Hanif. Lalu mereka berdua mengikutinya.
Bersambung