Senja terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Matanya mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan dengan nyala lampu yang terang. Dahinya mengernyit sebal. Hari ini dia ketiduran lagi diatas meja belajar, lupa mematikan lampu, alhasil matanyalah yang menjadi korban.
Senja menguap lebar, sebelah tanganya meraih jam beker kelinci yang terletak diatas rak. Jam beker kesayanganya yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Jam beker ini hadiah dari Vanya, sahabatnya yang sudah ia kenal sejak keduanya duduk dibangku SMP. Jam beker berwarna jingga cerah ini memiliki telinga kelinci diatasnya.
"Ini custom, di latarnya ada foto kita" kata Vanya saat itu, "biar tiap Senja ngerasa sedih Senja inget kalau masih ada Vanya, sahabat Senja". Sebuah kata-kata yang naif memang. Namun bagi Senja yang saat itu tepat berusia tiga belas tahun adalah pertama kalinya dia merasakan kasih sayang dari orang lain. Kata-kata naif itu pula yang membuat mereka dekat hingga saat ini, ketika keduanya berada di SMA yang sama. Mereka yang tadinya hanya berdua kemana-mana layaknya anak kembar, bertambah ramai dengan kedatangan the actual twins Lily dan Leon.
"Jam sebelas.." Senja bergumam pelan. Ia bergegas merapikan mejanya, mematikan lampu dan berjalan perlahan menuju kasur. Membaringkan dirinya, meringkuk dibawah selimut bulu tebal berwarna pink kesayanganya. Matanya terpejam, menghitung satu hingga seratus di dalam kepalanya. Namun tak berselang lama dahinya kembali mengernyit. Hitunganya sudah mencapai seratus tapi tidak terjadi apa-apa. Bahkan tak ada tanda tanda kehidupan lain setelahnya. Ia segera bangkit dari kasur, bergegas menuju pintu. Sejenak ia ragu untuk melanjutkan, sebelum akhirnya memutuskan membuka pintu kamarnya. Senja berjalan pelan menuruni tangga. Langkahnya terhenti saat dilihatnya punggung mama yang sedang berdiri di dapur, meneguk segelas air putih.
"Baru pulang?" Senja memecah keheningan.
Mamanya hanya melirik Senja sebentar, melangkah menuju kamar tidurnya sendiri. "Lembur." jawabnya singkat. "Tidur sana, mama mau istirahat, capek." ucap mama menutup pintu kamarnya, melewatkan raut wajah Senja yang berangsur-angsur menjadi sendu.
Senja berjalan lunglai kembali menuju kamarnya. Ia terdiam sebentar setelah menutup pintu. Pandanganya tertuju pada sebingkai foto yang terletak di atas meja kecil di sebelah kasurnya. Senja menghela nafas, menyandarkan kepalanya ke pintu dibelakangnya. Tanganya menggenggam keras gagang pintu, mencoba menahan emosi yang meronta untuk keluar.
'Emang salah gue, berharap sama hal yang nggak mungkin terjadi.' Batin Senja, menatap kosong langit langit kamarnya.
*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*
"Babe, kantin yuk." Senja yang sedang menelungkupkan wajahnya diatas meja merasakan pundaknya ditepuk tepuk pelan.
"Males ah." jawab Senja singkat, tanpa mengangkat wajah dari dekapan lenganya.
"Ih lemes banget sih lo. Baru juga 16 tahun lebih sehari, udah kayak umur setengah abad aja." Vanya cemberut mendengarkan tanggapan Senja. "ayo lah, gue udah jauh jauh naik ke kelas lo. Si kembar juga udah nungguin. Ntar gue traktir teh tariknya bang Roni deh di kantin bawah deh, ayo cepet." Vanya terus membujuk, beralih menarik narik lengan Senja yang terlihat seperti seonggok daging tak bernyawa.
Setelah adegan tarik-tarikan yang berlangsung kurang lebih satu menit, Senja akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Membiarkan badanya dituntun oleh sahabatnya ke arah kantin sekolah. Di jam istirahat kedua ini suasana kantin sekolah terlihat sudah sesak dipenuhi murid yang berebutan mengisi perut lapar. Terlihat hampir semua kursi sudah terisi oleh murid yang sedang khidmat menyantap makan siang mereka. Vanya yang masih menggandeng pergelangan tangan Senja mengedarkan pandanganya sekeliling, mencari keberadaan si kembar yang sudah terlebih dulu ke kantin. Tak perlu mencari terlalu lama karena sosok si kembar memang terlihat lebih mencolok jika dibandingkan dengan seisi penghuni kantin lainya. Bagaimana tidak, tubuh tinggi keduanya dapat terlihat dengan jelas bahkan saat dalam posisi duduk, terlebih warna rambut mereka yang terang dilautan kepala berambut hitam di kantin saat ini.
Bersamaan dengan Vanya yang menemukan keberadaan si kembar, Lily dan Leon menyadari keberadaan Vanya dan Senja di pintu kantin, sedang mencari keduanya.
“Here!” suara serak Lily terdengar, tanganya melambai kecil kearah Vanya yang menggandeng Senja, berjalan kearah Lily dan Leon duduk, menyantap makan siang mereka. Sementara Leon hanya mengangkat alis singkat sebagai tanda sapaan, bibirnya masih sibuk mengunyah bulatan bakso dari mangkuk keduanya siang itu.
Stop. Sebelum melanjutkan, mari kita mengenal lebih jauh tentang mereka. Tentang empat sekawan kita, Senja, Vanya, dan si kembar Lily dan Leon. Ada Valentina Vanya Joan yang namanya kebarat-baratan tapi merupakan keturunan Jawa tulen, ayahnya orang Semarang sementara ibunya asli Solo. Jangan sampai terkecoh, nama Joan yang tersemat dibelakang namanya bukanlah sebuah marga layaknya orang barat, melainkan gabungan dari Jarwo dan Dian, nama kedua orangtuanya. Ya, sekali lagi Vanya adalah keturunan Jawa tulen meskipun akan terlihat seperti orang linglung saat diajak berbicara Bahasa Jawa. Maklum, dari sejak dia bayi orangtuanya sudah memboyongnya ke Ibu Kota.
Vanya adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakak perempuanya saat ini sudah memiliki momongan sementara adiknya masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Diantara keempat sekawan ini Vanya dapat dibilang sebagai seorang ‘ketua’, bukan hanya karena dia lahir satu tahun lebih dulu dari Senja dan si kembar Lily dan Leon, tapi juga karena cara berpikirnya yang lebih dewasa jika dibandingkan dengan ketiganya. Meski memiliki perawakan mungil, Vanya yang paling lincah diantara keempat sekawan ini, terbukti dengan dia terpilih sebagai ketua ekstrakurikuler dance SMA Bintara - sebutan untuk SMA Bintang Negara - untuk angkatan ini. Bisa dibilang, Vanya ini kecil-kecil cabe rawit seperti kata orang-orang.
Selanjutnya ada si kembar Lily dan Leon. Nah, yang ini baru keturunan bule asli, meskipun hanya setengah saja. Mereka adalah Lily Anne dan Leon Edward, fraternal twins atau kembar tidak identik sekaligus anak satu-satunya dari keluarga Watson. Papa Watson yang jatuh cinta dengan pesona alam dan budaya Indonesia akhirnya jatuh cinta pula dengan pesona mama Watson yang merupakan mantan model sampul majalah era 90-an. Bakat model mama Watson inilah yang menurun kepada si kembar. Keduanya sudah akrab melenggang diatas runway sejak kecil. Perjalanan mereka sebagai model cilik terpampang jelas dengan banyaknya pajangan foto yang menghiasi dinding rumah keluarga Watson. Meskipun saat ini keduanya tidak lagi menekuni dunia modeling seperti dulu, si kembar tetap menjadi perhatian publik sebagai salah satu selebgram atau bahasa kerenya social media influencer dengan masing-masing memiliki puluhan ribu pengikut.
Sebagai kembar tidak identik yang lahir berselang 15 menit, lucunya Lily dan Leon memiliki kepribadian yang sebelas dua belas miripnya. Selain dikenal dengan kelakuanya yang sedikit childish mereka adalah orang yang selalu berbicara terus terang tanpa tedeng aling-aling. Inilah mengapa banyak orang yang terkadang merasa sakit hati karena ke’jujur’an mereka. Keduanya sering memiliki pandangan dan pendapat yang sama akan suatu hal. Tapi ada saatnya pula – meskipun jarang terjadi – saat keduanya memiliki perbedaan pendapat, yang berakhir dengan pertikaian kedua manusia yang sama-sama keras kepala ini. Tentu saja diikuti Vanya sebagai penengah dan mediator sementara Senja sebagai penonton dan tukang kompor pertikaian si kembar.
Last but absolutely not least, ada Senja. Paska Senja Biru, sebuah nama yang tidak berbelit dan memiliki arti apa adanya. Saat itu langit masih berwarna biru terang meskipun senja sudah datang, saat itu pula Senja lahir ke bumi ini. Senja merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuanya, Luna, saat ini sedang mengejar gelar Master di salah satu perguruan tinggi di luar negeri. Di mata orang-orang, Senja dikenal sebagai pribadi yang supel dan ceria meskipun kenyataanya dia memendam sejuta cerita dibaliknya. Hanya segelintir orang yang paham betul bagaimana Paska Senja Biru yang sebenarnya, dibalik senyuman manisnya yang selalu dia sunggingkang kepada orang-orang.
Perlu diketahui, Vanya adalah teman pertama yang Senja miliki, akibat dari pekerjaan papanya yang mengharuskan keluarga Senja hidup berpindah-pindah dari kota ke kota lain, meskipun at the end of the day berakhir dengan menetap di Ibu Kota. Terhitung sudah hampir empat tahun Senja menjadi penghuni kota yang terkenal dengan hiruk pikuk dan kemacetanya ini. Sudah selama itu pula Senja dan Vanya – yang kini bertambah dengan kehadiran Lily dan Leon – menajadi sahabat karib. Entah ikatan misterius apa yang membuat keempatnya bak barisan sarden dalam kaleng, tidak terpisah. Yang jelas, baik Senja, Vanya, Lily maupun Leon sudah hafal betul seluk beluk sifat dan kehidupan satu sama lain.
*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*
“Cemberut lagi, kenapa?” Tangan Lily menjulur mencubit pipi Senja yang sudah duduk dihadapanya. Sementara Senja membiarkan saja tangan usil Lily mencubit habis pipinya.
“I bet soal mama lo lagi. Kemarin ultah lo kan?” Leon menimpali, menunjuk Senja dengan garpu baksonya, sebelah pipinya bertumpu dengan telapak tanganya. Lagaknya sudah seperti orang yang tahu segalanya.
Lily segera menoleh ke arah Senja, mencari jawaban. Raut wajah Senja terlihat semakin murung, dengan lemas menyandarkan kepalanya ke meja di hadapanya. Tanpa sepatah kata pun, tapi sudah menjadi jawaban yang cukup, yang mebuat Lily ber ‘oh’ ria dan Leon yang memasang wajah ‘I knew it’ andalanya, sementara Vanya hanya menggelengkan kepala.
“Udahlah, nggak usah dipikirin. Mungkin tante Irma emang lagi capek. Kantor emang lagi sibuk kok, Ayah juga sering lembur.” Vanya mencoba menghibur, sebelah tanganya mengelus pundak Senja. Memang tante Irma – sapaan mama Senja – bekerja di perusahaan yang sama dengan ayah Vanya, meskipun berada di departemen yang berbeda. Vanya tidak berbohong saat dia bilang ayahnya juga sering lembur, tapi yang tidak dia ceritakan adalah lembur ayahnya sudah berlalu beberapa minggu yang lalu, bukan saat ini. Tapi biarlah itu menjadi rahasia Vanya sendiri, demi menenangkan hati Senja.
“Lagian aneh aja, kan lo nggak sekali dua kali diginiin, kenapa masih berharap mama lo tiba tiba berubah sih?” Lily bertanya heran, tanganya sibuk menyendoki es campur di depanya.
Ya, nyatanya memang bukan sekali dua kali tante Irma melupakan hari jadi Senja. Sudah sering. Sudah sangat sering. Di tanggal yang sama, mamanya selalu saja keluar di pagi hari dan kembali sangat larut, seolah-olah sengaja menghindari merayakan hari jadi Senja. Senja tahu mamanya tidak benar-benar lembur, dalam lubuk hati terdalamnya pun Senja sudah menebak-nebak alasan dibalik perilaku mamanya. Tapi Senja pura-pura tidak tau. Senja tidak mau tahu. Senja hanya merindukan kasih sayang mamanya. Hanya itu saja yang Senja tau dan Senja mau.
“Udah-udah, nggak usah dibahas lagi, nggak usah dipikirin lagi. Makan aja yuk, lo jadi pesen teh tarik bang Roni nggak? Gue yang traktir deh” Vanya segera mengalihkan pembicaraan, mencoba membujuk Senja.
“Ihh.. Senja doing yang di traktir, Lily juga mau.” Lily merajuk.
“Gue juga anjir, pilih kasih lo.” Leon menimpali.
“Iya, iya udah gue traktir teh tarik semua, nggak usah berisik.” Vanya mendecak. “Mau pesen lagi nggak kalian? Sekalian jalan nih, biar nggak usah bolak-balik.”
“Tahu gejrot, cabe dua puluh.” Senja dengan cepat menimpali. Ya, saat ini dia butuh mood boosternya untuk menghilangkan rasa sedihnya.
“Sama deh, tapi cabenya lima aja.”
“Sama.”
“Sama apaan? Cabe dua puluh atau cabe lima?” Vanya menggoda.
“Ya kali, freak banget cabe dua puluh. Perut gue nggak auto pemadaman kayak perut Senja ya.” Leon mencibir diikuti tawa ketiganya sementara Vanya berlalu kearah jajaran kios yang berdiri di salah satu sisi kantin.