Waktu istirahat 30 menit yang diberikan oleh sekolah membuat Senja dan teman-temanya memilih untuk berlama lama menghabiskan sisa waktu mereka berbincang di kantin. Mereka baru menghabiskan kurang lebih lima belas menit menghuni bangku kantin tapi meja mereka sudah penuh terisi dengan berbagai piring, mangkuk dan gelas kosong. Sebagian besar terletak tepat dihadapan Leon yang memang memiliki nafsu makan yang lebih besar dari ketiga teman wanitanya, apalagi didukung dengan kapasitas perutnya yang seperti karet. Bayangkan saja dia sudah menghabiskan dua mangkuk bakso – tanpa mie, Leon tidak suka mie, dua porsi tahu gejrot – satu porsi lagi dia rebut dari Lily, satu mangkuk es teler dan satu gelas jus mangga. Ini hanya saat istirahat kedua, tidak terhitung menu sarapan dan camilan yang dimakanya saat isirahat pertama tadi.
Lily sering merasa iri dengan saudara kembarnya dalam hal ini. Ya bagaimana tidak, porsi makan Leon bisa tiga kali lipat porsi makan Lily, tapi Lily lah yang harus mati-matian menjaga bentuk tubuh dan berat badanya. Sedikit saja Lily makan melebihi porsi yang biasa dia santap, sudah dapat dipastikan angka timbanganya sudah berubah angka. Sementara Leon, tidak peduli seberapa banyak makanan yang dia santap, tidak ada perubahan signifikan di angka timbanganya. “I’m blessed” adalah jawaban yang sering dilontarkan Leon saat mendapatkan tatapan iri dari kembaranya yang sedikit terobsesi dengan memiliki bentuk tubuh yang ramping.
Berbeda Lily, berbeda pula dengan kedua lainya. Senja dan Vanya awalnya sempat merasa kaget dengan nafsu makan Leon. Senja berfikir mungkin karena anak laki-laki memang memiliki kebutuhan asupan makanan yang lebih banyak dari perempuan, tapi Vanya berfikir lain. Vanya yang memiliki seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku SMP tidak ingat adiknya seganas ini saat melahap menu yang tersaji dihadapanya. Kecuali jika Ibunya hari itu sedang membuatkan mereka gulai kepala ikan, masakan kesukaan adiknya. Namun seiring berjalanya waktu, penampakan Leon dengan banyaknya piring, mangkuk, dan gelas kosong dihadapanya bukan lagi hal yang asing di mata mereka. Justru jika hanya ada salah satu saja barulah merupakan fenomena yang aneh. Ya, mereka pasti akan bertanya-tanya khawatir, apakah sesuatu yang buruk terjadi hingga membuat seorang Leon kehilangan nafsu makanya?
*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*
Suasana kantin yang memang sudah ramai dengan bincang-bincang siswa mendadak sunyi. Walaupun hanya sepersekian detik sebelum bertambah semakin ramai dengan semua mata siswa sesekali melirik ke arah pintu masuk kantin. Empat sekawan yang menyadari keanehan tersebut dengan refleks mengangkat kepala, saling memandang dengan heran. Mereka yang memang berada di posisi tidak jauh dari pintu masuk secara refleks mengarahkan pandangan ke arah pintu masuk kantin, bertanya tanya. Memangnya apa yang membuat seisi kantin ini heboh sampai sedemikian rupa?
Terlihat segerombolan siswa berjalan memasuki kantin. Terlihat dari warna biru seragam olahraga yang dikenakan, mereka adalah segerombolan siswa kelas dua. Ya, di SMA Bintara semua seragam – kecuali seragam olahraga – memang memiliki corak dan warna yang sama. Namun ada ciri khas sendiri yaitu badge nama yang tersemat di bagian d**a memiliki warna yang berbeda sesuai dengan tingkatan kelas mereka. Dimana kelas satu berwarna merah, biru untuk kelas dua dan hijau untuk kelas tiga. Berbeda dengan seragam olahraga yang tidak memakai badge nama, pembagian warna sesuai tingkatan ini diterapkan di warna seragam olahraga SMA Bintara.
Senja masih menatap sekelompok siswa yang baru saja tiba di kantin tersebut. Jika dilihat, baik dari penampilan maupun sikap mereka, tidak ada hal yang aneh ataupun terlihat mencolok. Lantas mengapa seluruh isi kantin menjadi seperti tersihir begini? Senja bertanya dalam hati.
“Siapa sih?”
“Kenapa sih?” Lily dan Leon bertanya bersamaan, secara tak langsung menyuarakan isi hati Senja. Ketiganya berpandangan, menggedikan bahu tanda saling tidak paham.
“Oh mereka.” Suara Vanya terdengar malas, membuat ketiganya menatap Vanya bersamaan, menunggu jawaban atas rasa penasaran mereka. Maklum, Lily dan Leon dapat dikatakan selalu apatis dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengan mereka. Bahkan ketika tahun lalu sekolah mereka sempat masuk surat kabar karena melakukan tawuran dengan sekolah lain pun si kembar awalnya tidak peduli. Toh mereka tidak terlibat dalam tawuran tersebut, selama tidak mengusik kehidupan mereka sehari-hari tidak masalah. Sayangnya kenyataan berkata lain ketika imbas dari tawuran tersebut kemudian dirasakan oleh seluruh siswa SMA Bintara, tak terkecuali si kembar. Sementara Senja sudah terlalu sibuk memikirkan hubunganya dengan keluarganya untuk memikirkan hal-hal lain yang sifatnya tidak urgent. Vanya lah sumber satu-satunya bagi mereka untuk mengetahui berita paling up-to-date mengenai kejadian apa saja yang belakangan heboh di SMA Bintara.
“Hah? Siapa sih emang?”
“Ingat kakak kelas yang gue ceritain tempo hari nggak?”
“Yang mana, kok gue nggak inget?” Lily menjawab.
“Yee, kan emang gue ceritanya ke Senja doang.” Vanya mencubit lengan Lily gemas, yang dibalas dengan rengekan Lily. Vanya ini badanya memang kecil tapi kalau mencubit sakitnya bukan main. Hish.
“Oh, yang kena skorsing kemaren?” Senja mencoba mengingat-ingat gosip yang diceritakan Vanya beberapa hari lalu.
“Hah? Skorsing kenapa?”
“Kalian ingat nggak berita tawuran yang masuk koran tahun lalu?”
“Ya kali nggak ingat. Nyusahin banget tuh yang tawuran.” Kali ini Leon yang menjawab, masih sedikit sebal jika mengingat-ingat akibat dari kejadian hari itu.
Saat itu mereka masih berada di bangku kelas satu, mereka berempat adalah teman sekelas. SMA Bintara memang sudah lama bermusuhan dengan salah satu SMA swasta lainya, SMA Dharma Siswa. Jarak kedua sekolah tersebut sebenarnya tidak begitu dekat, sekitar 7-8 km, namun rasa dendam yang terkumpul secara turun-temurun membuat kedua sekolah bagaikan musuh yang siap menerkam kapan saja jika berpapasan di jalan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Tawuran antar SMA Bintara dan Smadas – panggilan SMA Dharma Siswa – sudah seperti agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan.
Tawuran yang terjadi tahun lalu sempat heboh dan masuk surat kabar lokal. Yang membuat tawuran tahun lalu menjadi sorotan adalah keterlibatan masyarakat umum serta anak kelas satu yang seharusnya tidak ada sangkut pautnya dengan tawuran ini. Sedikit mengherankan karena kejadian kali ini benar-benar tidak disengaja dan tidak direncanakan. Ya, SMA Bintara dan Smadas memiliki kesepakatan untuk tidak pernah melibatkan kelas satu untuk ikut dalam tawuran. Sebuah kesepakatan yang aneh sebenarnya, mengingat mereka bisa saja melakukan cara yang sama – membuat kesepakatan – untuk sama sekali tidak mengulangi tawuran yang sebenarnya pointless ini. Tidak ada yang tahu.
“Oh iya, lo kan waktu itu nggak masuk seminggu karena tipes. Kita yang masuk ngerasain tau, imbasnya mereka tawuran.” Lily melirik Senja.
“Hah emangnya kalian kenapa?”
“Waktu itu kan parah, katanya anak kelas satu banyak yang terlibat. Konfliknya jadi makin melebar.” Vanya menyauti. “Untuk jaga-jaga kita selama seminggu berangkat pakai pakaian bebas untuk ngehindarin hal-hal buruk.”
“Hah??” Senja masih tidak paham sangkut paut kedua hal tersebut. Setau Senja hal seperti memakai pakaian tertentu untuk menghindari bahaya hanya berlaku di pantai selatan. Apa hubunganya dengan tawuran SMA Bintara dan Smadas?
“Gimana sih, lo nggak baca beritanya waktu itu? Kan udah di share di group kelas.” Lily mendecak. Kali ini Senja hanya bisa menunjukan ekspresi rasa bersalahnya. Senja ingat saat itu dia terlalu larut dalam kesedihan dan lemas karena rasa sakit hingga lupa akan apa yang terjadi di sekelilingnya.
“Jadi waktu itu ada anak kelas satu dari Smadas yang jadi korban, sampai masuk rumah sakit.” Leon menimpali, menyeruput jus mangganya yang tinggal seperempat gelas. “Jadi kita disuruh pakai pakaian bebas waktu berangkat dan pulang sekolah, biar nggak keliatan kita anak Bintara. Jaga-jaga aja anak Smadas ada yang mau balas dendam.” Lanjutnya, menyeruput tetes terakhir dari isi di gelasnya.
Kini giliran Senja yang ber’oh’ ria, sementara kedua lainya mengangguk mengiyakan. “Oke. Terus hubunganya sama skorsing apa?” Senja bertanya kembali apa yang menjadi topik pembicaraan mereka sebelumnya.
“Nah, jadi temen gue ada yang pacarnya lagi di sekitar TKP waktu itu.” Vanya mengambil alih pembicaraan. Ya, sebagai satu-satunya anak IPS di geng empat sekawan ini Vanya banyak mendapatkan info langsung dari ‘orang dalam’. Salah satu hal yang unik di SMA Bintara, kelas IPS mereka secara kseluruhan justru lebih unggul jika dibandingkan dengan kelas IPA. Kelas IPS SMA Bintara selalu berhasil masuk dalam lima besar nilai rata-rata UN dari tahun ke tahun. Sangat disayangkan ketika mayoritas pelaku tawuran justru berasal dari siswa IPS juga.
“Temen gue bilang waktu itu yang ikut tawuran dari sekolah kita sebenernya nggak banyak karena emang nggak direncanakan sebelumnya. Tapi kebetulan ada beberapa ‘pentolan’ yang lagi ada di TKP. Semuanya kakak kelas, kak Bima, kak Sam, dan kak Dikala. Kak Bima dan kak Sam kelas tiga dan dinilai yang paling bertanggung jawab waktu itu. Orang tua korban anak Smadas nggak terima, mereka nuntut, kak Bima akhirnya dikeluarin dari sekolah.” Senja, Lily, dan Leon tersentak kaget mendengarnya.
“Separah itu?” Senja bertanya, masih tidak percaya bagaimana mungkin dia dulu bisa melewatkan hal seperti itu karena kegalauanya sendiri.
“Iyaa.. tapi kak Sam ada backingan biarpun sama-sama kelas tiga. Kak Sam Cuma di skorsing 6 bulan dan harus ulang kelas. Kak Dikala juga ada backingan katanya, jadi sanksinya juga sama kayak kak Sam.”
“Money talks huh.” Leon mendengus, yang diikuti anggukan setuju ketiganya.
“Terus, lanjutanya gimana?” Lily menyela Vanya untuk melanjutkan ceritanya.
“Yang rambut jabrik, kak Sam.” Vanya mengarahkan ketiga temanya untuk kembali melihat segerombolan siswa tadi yang kini sudah menempatkan diri di salah satu sudut ruangan. “Yang agak gondrong, kak Dikala.” Vanya kembali menunjuk dengan dagunya, agar tidak terlihat terang-terangan sedang membicarakan mereka. “Mereka baru balik hari ini kayaknya. Gue denger kak Dikala masuk kelas sebelah gue, IPS 2.”
“Well, that’s so f*****g unfair.” Leon tiba tiba bersuara dengan nada kesal.
“Apanya yang nggak adil? Mereka cuma kena skorsing sementara kak Bima dikeluarin?” Vanya mencoba menebak jalan pikiran temanya yang suka out of the box ini.
“Bukan itu.” Leon mendengus. “Nggak adil aja si Dikala, Dikala ini, udah reputasinya jelek tapi masih diizinin buat punya rambut gondrong. Padahal kita yang good students harus taat aturan rambutnya pendek. Sial.”
“Nggak jelas lo bocah freak.” Vanya seketika menimpali ketika mendengar jawaban Leon, diiringi dengan tawa Senja dan Lily yang mengusak-usak rambut adik kembarnya itu.
“Well, basically dia udah ngelanggar batas peraturan yang paling atas sih. Mungkin karena BK mikir cuma sekedar rambut gondrong will do no harm kalau dibandingkan dengan larangan melakukan tindak kekerasan yang udah dia langgar berkali-kali.” Senja mencoba merasionalisasi ‘perlakuan istimewa’ yang secara terang-terangan diberikan pihak sekolah.
“Bullshit.” Sanggah Leon tidak terima. “Money talks. Again.” Dakwaanya disambut anggukan antusias dari kakak kembarnya.
“Bener banget tuh. Pasti ada udang dibalik bakwan.” Lily segera menimpali.
“…bocah freak.” Vanya kembali menghela nafas sementara Senja hanya tersenyum melihat celotehan teman-temanya. Sudut matanya tak sengaja menangkap pergerakan dari sudut lain kantin. Saat mengangkat wajahnya Senja mendapati si laki-laki berambut gondrong – Dikala – juga tak sengaja bertumbuk pandangan denganya. Hanya sedetik dan keduanya saling membuang muka.
‘Hm.. aneh. Wajahnya kayak nggak asing. Tapi siapa?’ Sekelebat rasa tanya timbul di benak Senja.