Suspicion

2199 Kata
Hoon tidak pernah percaya dengan adanya vampir, manusia serigala, dan makhluk-makhluk semacam itu lainnya. Hoon hanya mengenal tiga makhluk; manusia, malaikat, dan iblis. Selama tinggal di panti asuhan, para suster hanya mengajarinya soal itu. Dia baru mendengar cerita vampir dan manusia serigala dari Ilana yang hobi menonton film dan membaca n****+-n****+ berbau fantasi. Namun, kejadian buruk yang menimpa sang kekasih sepuluh tahun lalu membuatnya mulai percaya kalau makhluk-makhluk terkutuk itu memang ada. Jasmine mati setelah melahirkan bayi vampir. Ya, Hoon menjadi saksi ketika Jasmine meraung kesakitan saat proses persalinan terjadi. Malam itu, Jasmine datang ke panti dengan kondisi tubuh yang kurus kering dan kurang darah. Perut gadis itu sudah membesar yang kalau diperkirakan usianya lima bulan. Saat itu Hoon merasa aneh karena dua minggu sebelumnya tubuh Jasmine masih tampak ramping dan sehat. Itu adalah saat di mana Hoon memutuskan hubungan mereka karena Jasmine ketahuan berselingkuh dengan pria lain. Singkat cerita, Jasmine pun dibawa ke sebuah kamar khusus di panti. Para suster tidak punya pilihan selain melakukan proses persalinan. Mereka ingin mencoba menyelamatkan Jasmine dengan membunuh bayi terkutuk itu. Satu-satunya jalan hanyalah dengan mengeluarkan bayi itu dari kandungan Jasmine dan menyiramnya dengan air suci. Namun, rupanya usaha tersebut tidak semudah yang mereka kira. Jasmine terlanjur meregang nyawa karena sang jabang bayi terus menggerogoti organ dalamnya. Ibu dan anak mati bersama-sama. Peristiwa menyeramkan itu terus terpatri di memori Hoon selama bertahun-tahun. Sejak saat itu, Hoon semakin rajin mengonsumsi air suci sebagai bentuk perlindungan diri. Dia juga sering membaca-baca tentang vampir dan makhluk-makhluk terkutuk lainnya, sebagai pengetahuan agar dapat bersikap waspada. Dia juga tahu kalau para makhluk itu senang berada di tempat seperti kelab malam. Hal itulah yang membuat Hoon semakin benci pada tempat hiburan malam. Ketakutan Hoon pada hal-hal berbau seperti itu tidak berlangsung lama. Kesibukan kuliah membuatnya perlahan-lahan melupakan kejadian kelam tersebut. Dia tetap bersikap waspada, itu pasti. Akan tetapi, hal itu tidak lagi membuatnya paranoid seperti kali pertama. Anehnya, sejak pertama kali bertemu Nara, keanehan mulai terjadi pada dirinya. Entah kenapa, setiap melihat sang mahasiswi, Hoon teringat akan sosok gadis dari masa kecilnya. Sosok yang pernah dimintai tolong olehnya untuk menyelamatkan sang ibu yang sekarat, tapi malah berakhir meninggalkannya begitu saja. Dulu, saat masih berusia sepuluh tahun, Hoon dan ibunya menjadi korban perampokan di New York. Ibu Hoon ditusuk oleh sang perampok dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Sejak itu, Hoon kecil menjadi benci pada sosok sang gadis. Dia menganggap kalau gadis itu secara tidak langsung telah menyebabkan ibunya tiada. Tanpa sadar, Hoon pun menyalurkan rasa bencinya kepada Nara, gadis yang mirip dengan sosok penolong ibunya dulu. Sungguh, awalnya Hoon tidak berniat seperti itu, tapi karena sikap Nara yang dinilainya terlalu ambisius dan suka memaksakan kehendak membuatnya betul-betul tidak menyukai sang mahasiswi. Sejak awal, Hoon juga merasa ada yang tidak beres dengan Kim Nara. Aura gadis itu seperti memiliki daya magis yang terasa sulit didefinisikan, membuat Hoon tidak betah berlama-lama berada di dekatnya. Dia merasa kalau Nara sangat berbahaya. Itu sebabnya dia takut Nara berdekatan dengan Ilana, sahabat tercintanya. Pertemuan dengan Nara jugalah yang akhirnya membuat mimpi buruk tentang vampir menyambangi tidur Hoon selama beberapa malam ini. Apalagi setelah kejadian beberapa waktu lalu saat dia melihat bola mata Nara yang memerah. Awalnya Hoon merasa kalau itu hanya halusinasi saja, tapi entah kenapa dia justru semakin yakin kalau itu nyata. Tidak hanya itu, interaksi mereka yang semakin intens membuat Hoon terus memimpikan sang Raja Korea yang memiliki taring bak seorang vampir itu. Bahkan, saking penasarannya Hoon sampai membaca buku-buku sejarah Korea untuk memastikan siapa sebenarnya sosok raja dalam mimpinya. Namun, tidak ada catatan mengenai itu. "Bodoh!" gumam Hoon kesal sambil menutup kasar buku yang sedang dia baca. "Itu hanya mimpi dan mimpi hanyalah bunga tidur. Untuk apa aku repot-repot mencari info soal itu?" Hoon merasa kalau pikirannya sedang kacau akhit-akhir ini, itulah mengapa dia selalu memimpikan hal yang tidak masuk akal. Tidak ingin semakin merasa bodoh, Hoon pun bangkit dari kursi perpustakaan yang dia duduki sambil membawa buku sejarah tersebut. Menaruhnya kembali ke dalam rak kemudian melenggang pergi dari tempat itu. Brukk! Baru dua langkah menjauhi rak, Hoon justru dibuat terkejut oleh suara buku yang jatuh dari rak tempatnya menaruh buku sejarah tadi. Cepat tanggap, Pria Kang pun memungut buku tersebut dan berniat mengembalikan ke tempatnya. Namun, atensinya justru terpaku pada selembar kertas yang terselip di buku jatuh itu. Penasaran, Hoon pun menarik kertas yang rupanya sebuah catatan, entah milik siapa. Dalam kertas itu tertulis; semakin banyak yang kauketahui, akan semakin berbahaya. Hati-hati, rasa penasaran bisa membunuhmu. Entah apa maksud dari catatan itu, tapi yang pasti Hoon merasa ada yang janggal, sebab isinya seolah sedang bicara mengenai dirinya dan apa yang sedang dia cari tahu saat ini. Catatan itu seperti sebuah peringatan untuknya. Memilih untuk tidak ambil pusing, Hoon buru-buru menyelipkan kertas itu kembali ke dalam buku dan menaruhnya ke tempat semula. Kali ini dia benar-benar pergi dari perpustakaan. Hoon baru akan masuk ke mobil ketika ponselnya bergetar pelan, tanda sebuah pesan masuk. Senyum mengembang terlukis di wajahnya begitu melihat siapa yang mengirim pesan. Kalau kau sudah mau pulang, tolong sekalian jemput aku di butik, ya? Mobilku mogok. Pesan dari Ilana. Segera saja Hoon menjawabnya. Siap, Nona! Setelah itu, Hoon masuk ke mobil dan menyalakan mesin. Mobilnya membelah jalanan kota Seoul di malam hari dengan kecepatan sedang. ***** "Kenapa kau ada di sini?" Hoon dilanda keterkejutan paska melihat sosok pemilik senyum angkuh yang duduk di salah satu kursi ruang tunggu butik milik Ilana. Sosok itu sedang berbincang dengan Ilana saat dia masuk tadi. "Kau sudah datang?" Itu suara ceria milik Ilana yang langsung bangkit begitu melihat kehadirannya. Ilana memeluk lengan Hoon dan menjelaskan, "Tadi saat mobilku mogok Nara-lah yang memberiku tumpangan. Ternyata dia memang berniat pergi ke sini untuk membeli gaun." "Membeli gaun? Dari mana dia tahu kalau kau seorang desainer dan memiliki butik sendiri?" "Saya juga tidak tahu kalau butik milik Nona Ilana, Prof." Akhirnya Nara angkat bicara sambil bangkit dari keempukan kursi. "Saya mendapatkan rekomendasi butik ini dari internet dan ternyata pemiliknya adalah sahabat Anda." "Oh." Begitu saja respons Hoon sebelum beralih pada Ilana. "Memang tadi kau ke mana? Mobilmu bagaimana?" "Oh, tadi aku keluar untuk survey bahan, tapi tiba-tiba saja mobilku mogok di tengah jalan. Aku lupa belum menyervisnya, tapi sekarang sudah di bengkel kok." Ringisan pelan menjadi pemanis kata-kata yang baru saja Ilana lontarkan. Namun, sikapnya ini justru mengundang Hoon untuk menjitak pelan kepalanya. Membuat Ilana mengaduh kesakitan karena ulahnya. "Sakit, tahu!" "Makanya jangan ceroboh! Lihat kan kau jadi rugi sendiri." Ilana mengerucutkan bibirnya tidak terima. Dia sudah hampir membuka mulut untuk membela diri, tapi sebuah suara menghentikannya. "Ekhem!" Dehaman cukup keras itu berhasil mengembalikan atensi Hoon dan Ilana kepada Nara yang kini bersedekap sambil memaksakan seulas senyum di wajah. "Oh ya, Prof, karena malam ini saya ada acara keluarga, kemungkinan besar nilai-nilai tugas Ekonomi Makro baru akan saya kirimkan besok siang atau malam. Tidak apa-apa, kan?" "Tidak apa-apa. Lagi pula sekarang juga akhir pekan. Bersenang-senanglah." Nara tersenyum lebih lepas kali ini. "Terima kasih banyak, Prof. Anda yang terbaik." Hoon hanya mengangguk. "Hm, karena Prof Kang sudah datang, saya pergi dulu, Nona Ilana. Terima kasih untuk gaunnya yang sangat indah." Nara pun mengambil paper bag berisikan gaun pilihannya dan berpamitan lewat anggukan. Ilana membalas anggukannya. "Terima kasih juga atas tumpangannya. Semoga kau suka dengan gaunnya dan berminat untuk kembali lagi." Nara mengangguk. "Tentu saja aku akan kembali lagi, Nona." Gadis Kim itu sengaja melirik pada Hoon demi melihat reksinya. Hoon memalingkan wajah, kentara tak suka karena Nara seolah sedang menantangnya. "Saya pergi dulu, Prof. Sampai bertemu di kelas Senin nanti. Permisi." Hoon merespons Nara dengan gumaman pelan. Nara pun melangkah keluar dari butik, meninggalkan Hoon berdua saja dengan Ilana di ruangan itu. Usai kepergian sang Gadis Kim, Ilana pun berbisik, "Sudah cantik, pintar pula." Merasa tak mengerti dengan tujuan Ilana berkata demikian, Hoon pun berujar, "Lalu?" Decakan gemas Ilana loloskan sambil melepaskan rangkulan pada lengan sang sahabat. Gadis itu melangkah menuju sofa dan duduk di sana sambil menyilangkan kaki. "Kau itu tidak peka atau memang pura-pura tidak tahu sih? Nara itu menyukaimu." "Lalu kenapa kalau dia menyukaiku, Ilana Kim?" Giliran Hoon yang mendengus gemas kali ini. Sang Pria Kang bersedekap. "Kau mau aku mengencani mahasiswiku sendiri, begitu?" Wajah Ilana langsung muram. "Tidak juga sih, tapi kupikir kau harus mencoba membuka hati untuk seseorang, Hoon." Ilana menatap Hoon lekat. "Ini sudah sepuluh tahun sejak kematian Jasmine dan selama ini kau tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Aku hanya ingin kau bisa bahagia bersama wanita yang kaucintai. Hanya itu." Hoon tidak merespons dan hanya bisa mengembuskan napas berat. Ilana memang sudah tahu perihal meninggalnya Jasmine, tapi dia tidak pernah tahu alasan di balik kepergian mantan kekasih Hoon itu. Yang Ilana tahu, Jasmine meninggal saat melahirkan bayi hasil perselingkuhannya. "Aku tahu kau pasti masih merasa trauma karena perselingkuhan yang dilakukan Jasmine dulu, tapi kau juga harus tahu kalau tidak semua wanita seperti itu." Ya, yang Ilana tahu selama ini Hoon trauma dengan yang namanya wanita dan komitmen. Padahal, alasan Hoon belum bisa membuka hati untuk wanita lain karena dia memang belum tertarik saja. Hoon masih ingin fokus menjalani karirnya sebagai seorang dosen. "Hoon." Panggilan Ilana membuat Hoon menarik diri dari lamunannya demi menatap sang sahabat. Satu alisnya terangkat, bertanya-tanya. "Sebenarnya ada satu hal yang belum aku dan Brandon katakan padamu." Raut Ilana yang tampak takut-takut saat berujar begitu membuat rasa penasaran semakin menggelitik batin Hoon. Namun, pria itu memilih untuk memendam rasa penasarannya dan menunggu Ilana selesai mengutarakan isi hatinya. "Aku dan Brandon berencana menikah setelah Brandon menyelesaikan S3-nya dan dia akan memboyongku ke London." Bola mata Hoon pun melebar usai kabar mengejutkan itu keluar dari mulut Ilana. Kedua sahabatnya itu memang sudah cukup lama berpacaran, tapi Hoon tetap tidak menyangka kalau hubungan itu akan sampai pada langkah selanjutnya, yaitu pelaminan. Raut yang tadinya tampak kaget pun kini berubah menjadi raut bahagia. "Kau serius?" Sambil tersenyum malu-malu Ilana mengangguk. "Astaga, Ilana!" Tanpa banyak basa-basi lagi Hoon pun menghampiri Ilana dan memeluk sahabatnya itu dengan erat. Bahkan, pria itu sampai mengangkat tubuh Ilana dari sofa dan memutarnya. Membuat Ilana berteriak kaget karenanya. "Kang Hoon, turunkan aku! Aku malu!" Sambil tertawa Ilana memukul pelan bahu Hoon. Hoon pun menurunkannya. Senyum bahagia masih menghiasi wajah pria itu. "Habisnya aku senang sekali karena dua sahabatku akan menikah. Selamat, ya!" "Iya, terima kasih. Kau cepatlah menyusul kami! Kami ingin kau berkencan agar kau tidak kesepian." Hoon berdecak. "Sudah, kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku! Aku akan baik-baik saja tanpa pasangan." "Aku tahu, tapi jangan terlalu lama juga menutup diri dari wanita, Hoon. Cobalah berkencan sekali saja atau paling tidak bukalah sedikit hatimu. Sepuluh tahun sudah kau bersikap seperti untouchable man. Kau tidak lelah?" "Tidak. Aku baik-baik saja dengan hal itu." Ilana mengembuskan napas berat lalu mengibaskan tangannya. "Ya sudahlah! Terserah kau saja. Kalau kau mau melajang seumur hidup juga bukan urusanku." "Memang itu bukan urusanmu, tapi urusanku." "Masa bodoh! Ayo kita pulang!" Ilana menghentakkan kaki keluar dari butik, sementara di belakang punggungnya Hoon sibuk tertawa kecil sambil mengekorinya. "Tentu saja aku akan berkencan, La," ujar Hoon begitu memasuki mobil, membuat atensi Ilana terfokus padanya. "Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Masih ada banyak hal yang harus kuurus." "Iya, aku tahu, tapi kau jangan terus-terusan menghindar jika ada yang menunjukkan ketertarikan padamu. Paling tidak, cobalah untuk lebih terbuka pada lawan jenis." Hoon diam dalam waktu cukup lama karena menyalakan mesin mobil. Sesaat sebelum melajukan kuda besinya, dia pun merespons, "Akan kucoba." Yang menuai senyum manis di bibir Ilana setelahnya. Usai mobil itu melaju meninggalkan butik, sosok cantik yang sejak tadi mendengar percakapan Hoon dan Ilana pun keluar dari persembunyiannya. Rasa cemburu yang sempat membakarnya saat melihat interaksi manis kedua sahabat itu pun luntur, tergantikan oleh senyum puas. Dari percakapan keduanya, sosok itu tahu kalau Hoon hanya masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya dan dia tidak pernah memiliki perasaan kepada Ilana. Dengan informasi ini, Nara berharap dirinya bisa mengorek lebih dalam soal masa lalu Hoon, mencari celah untuk mendapatkan hati pria itu. ***** Yian hari ini tidak pergi ke kelab karena dia harus menghadiri acara di Dewan Vampir Kota Seoul. Yian memang seorang penyihir, bukan vampir, tapi dia dekat dengan para vampir sejak dulu. Dia mengenal hampir semua vampir yang ada di Seoul maupun di kota dan negara lainnya. Lagi pula, kepergiannya kali ini ke pesta sepuluh tahunan perayaan berdirinya Dewan untuk bekerja. Dia ditugaskan untuk meracik minuman di sana, minuman dengan campuran darah. Sebagai seorang penyihir, ketampanan Yian bisa dibilang di atas rata-rata. Wajahnya merupakan campuran Tiongkok dan Eropa. Ibu Yian asli warga Tiongkok, dan ayah Yian yang berasal dari Eropa adalah keturunan Lilith, nenek moyang bangsa penyihir. Itu sebabnya Yian juga memiliki tinggi badan menjulang yang jika diukur mencapai 1,9 meter. Apa pun pakaian yang dia gunakan selalu cocok dengannya. "Kau tampan." Suara familiar yang tiba-tiba menyapa rungunya ketika sedang bercermin membuat Yian refleks membalikkan badan. Matanya membulat sempurna begitu melihat kehadiran seseorang di sana. Lebih tepatnya, makhluk terkutuk seperti dirinya, tapi berbeda bangsa. Mulut Yian sudah hampir terbuka saat sosok itu lebih dulu angkat bicara. "Apa kabar, Kawan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN