HANA & RAHMI

1345 Kata
***FLASHBACK*** Jingga mematikan mesin mobil hendak mengikuti Sara, tapi tiba tiba saja ada seorang bapak mengetuk jendela mobilnya. Ia pun membukanya, "Iya pak." "Ibu maaf, akan ada mobil barang yang akan mengirim barang untuk toko besi. Ibu bisa memindahkan parkir mobil ke seberang jalan," ujar bapak itu. Jingga menoleh ke seberang jalan, namun tidak ada parkir kosong. "Bapak maaf, saya hanya menunggu putri saya. Sebentar saja," ucap Jingga. "Kalau ibu mau parkir di sini, tolong geser dulu ke jalan. Ibu menunggu di mobil kan?" Tanyanya. "Iya," Jingga mengangguk. "Nanti kalau mobil barang sudah selesai memindahkan pesanan toko besi, ibu bisa kembali geser ke sini," ujar bapak itu. "Baik pak," Jingga menghela nafas panjang. Gagal sudah rencanaku untuk mengikuti Sara. Apa yang dia lakukan di sini? Jingga berulang kali melihat ke arah gang kecil arah Hana dan Rahmi berjalan. Ia sedikit khawatir. Akankah Sara melihat Hana? Bagaimana kalau Sara mengetahui Hana sebagai putriku dan Keenan? Jingga rasanya tidak tenang membayangkan Hana mungkin saja berpapasan dengan Sara. Tapi, kalau ia harus mencari parkir lagi, takutnya Hana selesai lebih cepat dan bingung mencarinya. Jingga menatap tas Hana yang terbuka dan memperlihatkan barang barangnya. Mana tas dan ponselnya ditinggal di mobil lagi... Setidaknya Hana bersama Rahmi. Ada ibunya juga. Ia mencoba mengalihkan perhatian sambil melihat isi tas Hana. Jingga tersenyum saat melihat ada roti keju di dalamnya. Kesukaanku dan Hana hampir sama. Kita sama sama penyuka keju. Biasanya Hana langsung menghabiskan kalau ada roti keju. Kali ini, kenapa tidak dimakan? *** Hana dan Rahmi terus berjalan memasuki jalan kecil tersebut. Hati kecil Hana merasa sedih sendiri. Rahmi tinggal di lingkungan sederhana begini tapi bisa masuk kedokteran dengan usahanya sendiri. Ini memotivasiku untuk lebih rajin lagi belajar. Dengan fasilitas seadanya, Rahmi bisa mengikuti perkuliahan kedokteran. Aku juga harus bisa. Apalagi ayah dan ibu memberikan segalanya untuk memenuhi kebutuhanku. Akhirnya Rahmi berbelok ke kanan membuka pagar kecil sebuah rumah yang mungkin ukurannya tak lebih luas dari ruang tamu di rumahnya. Hana meremas jarinya. Ada rasa pilu yang tak pernah ia bayangkan. Keduanya membuka sepatu di teras yang langsung berbatasan dengan jalan Bagaimana mungkin hidup di lingkungan seperti ini? Rahmi anak yang baik. Dia juga jujur apa adanya serta tidak malu mengakui kondisi dirinya. Rahmi, aku salut. Kagum rasanya. Hana bicara dalam hati. "Tante," Rahmi tiba tiba menyapa seseorang yang melintas. Hana memperhatikan kalau orang itu seorang perempuan yang usianya mungkin sekitar lima puluh tahun. Hana ikut tersenyum. Namun, perempuan itu terlihat kaget menatapnya. Dan dengan cepat berbalik pergi tanpa membalas sapaan Rahmi. "Si-siapa barusan?" tanya Hana. "Tetangga sebelah. Rumahnya tepat di sebelah rumahku," jawab Rahmi. "Oh.." Hana mengangguk. "Kenal dekat?" "Tidak terlalu. Orangnya penyendiri. Tapi, suka membantu ibu menjual kue kuenya," jelas Rahmi. "Namanya siapa?" Hana kembali bertanya. Sikap ibu tadi yang tidak ramah, membuatnya jadi penasaran. "Sara," jawab Rahmi. Ia menjinjing sepatunya dan menyimpannya di dekat pintu masuk. Hana memperhatikan kalau sepatu Rahmi terlihat kotor dan sedikit terkelupas. "Rahmi, sori. Sepatumu ada yang terkelupas, sebaiknya diganti," ucap Hana. "Maunya, tapi ini sepatu satu satunya," Rahmi tersenyum. "Nanti saja kalau rusak parah. Sayang uangnya. Hana menelan air liurnya sendiri untuk membasahi kerongkongannya yang tercekat. Ia memberanikan diri untuk bertanya pada Rahmi, "Mmm.. Ukuran sepatumu berapa?" "Tiga puluh tujuh," jawabnya. "Oh sama, aku juga tiga puluh tujuh. Ada beberapa sepatu yang tidak pernah aku pakai di rumah, apa kamu mau menerimanya? Daripada tidak aku pakai," tanya Hana hati hati. "Serius?" Rahmi langsung berbinar senang. Hana mengangguk, "Iya serius. Jangan tersinggung ya? Aku cuma sayang saja kalau sepatu itu tidak terpakai." "Aku tidak tersinggung. Justru aku senang," Rahmi tersenyum lebar. "Besok aku bawa ya," Hana ikut merasa senang karena ternyata Rahmi tidak tersinggung. Rahmi membuka pintu rumah. Saat memasukinya, Hana memperhatikan kalau rumah itu kecil dan terkesan lusuh tapi bersih. "Duduk dulu ya. Aku coba cek kue apa saja yang sudah siap," Rahmi melangkah ke arah ruangan lain di rumah itu. Hana menggigit bibirnya dan meremas tangannya. Perasaan tidak enak itu semakin menjadi jadi. Ia tidak pernah tahu ada orang yang kehidupannya seperti ini. Meski sering ke panti asuhan, tapi itu berbeda dengan mendatangi langsung dan mendengar ceritanya. Ia jadi memahami kenapa ibu membuat Beasiswa Jenar Tsurayya untuk anak anak yang kurang mampu. Karena hanya lewat pendidikanlah mereka bisa memperbaiki taraf hidup keluarganya kedepan. Selain itu, tanpa beasiswa, mereka tidak akan mungkin mampu membiayai uang kuliah. Hana bertekad untuk membicarakan dengan ibunya agar menambah jumlah beasiswa yang diberikan. Tak lama, Rahmi membawa satu nampan yang berisi beragam jenis kue basah yang dijualnya, "Ini yang sudah siap jual. Ibuku baru beres membuatnya, jadi masih hangat. Kamu harus coba Hana." Hana tersenyum lebar, "Semuanya menggoda." "Aku beli semuanya! Boleh bungkus? Biar ibu tidak menunggu terlalu lama," jelas Hana. "Wah serius?" Rahmi kaget sekali saat Hana hendak membeli semuanya. "Iya. Ayahku suka sekali jajanan pasar seperti ini," ucap Hana. "Siap. Aku bungkus dulu," Rahmi bergerak mengambil kotak dan memasukkan kue kue tersebut. "Berapa semuanya? Nanti aku transfer ya? Soalnya dompet dan ponsel ada di tas semua. Tas kutinggal di mobil," ucap Hana. "Totalnya tiga ratus ribu. Iya tidak apa apa, nanti transfer saja," jawab Rahmi. "Terima kasih banyak Hana. Ibuku pasti senang sekali tahu langsung laris begini. Dan ini masih siang, jadi masih ada waktu untuk membuat lagi." "Syukurlah," Jawab Hana. Ia merasa senang saat melihat kegembiraan di wajah Rahmi. "Sampai besok ya. Nanti sepatu aku bawa," ujar Hana. Ia pun berpamitan. "Iya, terima kasih Hana," Rahmi pun mengantarkan Hana ke pintu depan. Hana bergerak cepat berjalan kembali ke tempat mobil ibunya terparkir. Dengan cepat ia masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Hana menunduk dan mulai menangis. "Kenapa kamu?" Jingga bertanya dengan hati hati. "Ibu, kondisi kehidupan Rahmi sangat sederhana sekali. Tapi dia bisa masuk kedokteran. Di sekolah ada yang menghinanya tapi dia tetap tabah. Aku rasanya malu sendiri," Hana terisak. "Malu kenapa?" Jingga mengelus punggung putrinya. "Aku tadi mengeluh pada kak Daru soal sulitnya perkuliahan hari ini. Padahal ada orang yang kondisinya lebih susah dari aku, tapi tidak mengeluh," Hana menghapus air matanya. "Aku terharu." "Ibu, kurangi uang jajanku. Aku mau Yayasan Ilyas Maheswara semakin banyak memberikan beasiswa untuk anak anak yang tidak mampu. Aku mau banyak anak memiliki kehidupan bahagia," jelas Hana. "Selain itu, aku akan memberikan beberapa sepatuku yang jarang belum pernah aku pakai untuk Rahmi. Sepatunya hanya ada satu dan sudah rusak," Hana menceritakan semuanya tanpa titik koma. Jingga tersenyum, "Iya sayang, iya.. Kita pulang sekarang." Ia mulai menggerakkan mobilnya. "Uang jajanmu mau dikurangi berapa?" Jingga menahan senyum. "Mmm.. Setengahnya juga tidak apa apa. Tapi dengan catatan, itu adalah donasiku untuk yayasan," Hana menatap ibunya. "Nanti kalau aku sudah menjadi dokter dan memiliki penghasilan. Aku akan berdonasi menggunakan uangku sendiri." "Uang jajanmu itu adalah uangmu sendiri. Pemberian ayah dan ibu artinya adalah milikmu," Jingga tergelak. "Apa itu jinjingan yang kamu bawa?" Jingga melihatnya. "Ini kue buatan ibunya Rahmi. Aku beli semuanya. Di rumah kita kan banyak orang, biar semuanya mencoba," jelas Hana. Jingga hanya tersenyum. Hana, Hana, kamu memang perasa dan setia kawan. *** Di sebuah rumah, di sebelah rumah Rahmi, seorang perempuan bernama Sara itu berbicara dengan seseorang. "Aku melihat anak remaja yang mirip sekali dengan istri Keenan Rasyid," Sara menatap lelaki yang menjadi lawan bicaranya. "Lalu?" lelaki itu bertanya. "Masa lalu seperti kembali lagi. Aku tidak ingin memikirkannya, tapi jadi terpikirkan," Sara terdiam. "Jangan diambil pusing!" jawab lelaki itu. "Lalu sampai kapan kamu mau berdiam di sini?" tanyanya pada lelaki itu. "Beri aku waktu untuk mencari tempat lain," ucapnya. Sara hanya menggelengkan kepalanya. Ia memilih untuk diam dan merenung. *** "Ibu, kenapa ibu tidak keluar dan menyapa temanku?" Rahmi mengerutkan keningnya. "Tadi ibu mengintip dan wajahnya mirip sekali dengan seseroang yang ibu kenal. Apa kamu tahu siapa orangtuanya?" tanya ibunya. "Tidak. Tapi Hana baik sekali. Aku tahu kalau dia pasti anak orang kaya, tapi dia ramah dan tidak canggung bermain ke rumah kita yang sederhana ini," ujar Rahmi. "Coba kamu tanyakan. Tapi jangan bilang ibu yang ingin tahu," ucapnya. "Memang kenapa? Rahmi mengerutkan keningnya. "Ibu hanya ingin tahu saja, Kalau sesuai yang ibu duga, ayahnya namanya Keenan dan ibunya bernama Shanum," ungkap ibunya. "Mmm.. Besok aku tanyakan," Rahmi mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN