***FLASHBACK END***
Daru melepaskan bibirnya. Ia menatap Hana dengan lembut, "A-apa boleh? Ma-maafkan kak Daru."
Hana hanya menunduk. Wajahnya merah padam.
"Ti-tidak apa apa kak.." Hana menggumam pelan. Ia meremas kaosnya dengan erat.
Daru kembali mendekat dan mengecup kening Hana, "Kak Daru menyukaimu. Sejak pertama melihatmu."
Hana menatapnya kaget, "A-apa iya?"
"Apa kamu pikir, kakak akan mencium sembarang orang begitu saja?" Daru menahan senyum.
Hana memainkan kaosnya sambil menunduk. Ia malu sendiri.
"Ke-kenapa kakak menyukaiku," Hana menggumam.
"Kenapa tidak? Kamu cantik, pintar, baik hati, penyayang, perhatian, dan masih banyak lagi," jawab Daru.
Hana mengatupkan bibirnya menahan hati yang berbunga bunga.
"Kak Daru, mmm.. Menyukaimu. Kak Daru merasakan debar yang berbeda saat bersamamu. A-apa kamu juga?" Daru dengan hati hati bertanya.
Hana menggigit bibir bawahnya. Ia merasa gugup luar biasa. Kerongkongannya seperti tercekat.
"Ja-jawab Hana," Daru merasakan kalau tubuhnya seperti bergetar. Ia tak sanggup berlama lama dalam kesunyian.
Hana tiba tiba mendekat dan berjinjit. Ia mengecup pipi Daru dan berbisik, "A-aku juga."
Ia lalu berbalik dan melangkah pergi dari lorong perpustakaan itu. Hana malu luar biasa. Keringat dingin keluar di telapak tangannya.
Hatinya bergejolak.
Daru mengatupkan bibirnya menahan senyum yang terus tersungging di wajahnya. Ia mengejar Hana dan kemudian menggenggam erat jari jemarinya.
"Kamu dan kak Daru sekarang terikat," Daru berbisik pelan. "Kakak akan menjagamu. Jangan bersedih lagi."
Hana menoleh ke arah Daru dan mengangguk. Matanya bersinar dengan indah. Ada cinta di mata Hana, dan juga Daru.
Indahnya... Orang bilang kehidupan adalah bunga dan cinta adalah madu. Cinta mereka jadi pemanis hidup mereka. Tidak ada lagi kesedihan di hati Hana, yang ada hanya semangat untuk menghadapi masalah bersama sama.
***
Acara pentas musik dan bazaar masih berlangsung, tapi Daru memutuskan untuk mengantarkan Hana pulang terlebih dahulu. Ia pun menunggu Hana di parkiran.
"Kak!" Hana melambaikan tangannya.
Daru menghampirinya, "Let's go!"
Mereka pun masuk ke dalam mobil. Daru bergegas menyalakan mesin dan bergerak keluar dari kampus.
"Hana, kak Daru mau bicara. Soal surat kaleng itu, kita cari tahu siapa pengirimnya. Dia tidak boleh melakukan bully kepadamu seperti itu. Tidak ada alasan yang benar untuk melakukannya. Itu salah," jelas Daru.
"Biarkan kakak melakukan yang perlu dilakukan ok?" Daru meliriknya.
"Ta-tapi, apa tidak apa apa?" Hana sedikit khawatir.
"Tidak apa apa," Daru mengangguk.
"Itu penting buat kakak. Tidak ada yang boleh mengganggumu seperti itu," Daru menarik nafas panjang.
"Biarkan kakak juga membicarakan ini dengan Danis. Kakakmu harus tahu," Daru kembali bicara.
"Ta-tapi kak Danis pasti marah," Hana sudah membayangkan reaksi kakaknya.
"Kamu butuh dukungan dari orang orang terdekatmu. Danis kakakmu, dia harus tahu. Jangan sampai kamu memendam ini semua sendiri," ucap Daru lagi. "Kak Daru tidak mau kamu jadi tertekan. Selain menyembunyikan hal ini dari orang orang terdekat, kamu juga harus menghadapi surat kaleng itu. Mentalmu bisa kena."
"Saat orang orang terdekatmu tahu, mereka akan menjadi penguatmu," Daru membelai rambut Hana singkat.
Hana terdiam... Tapi kemudian mengangguk, "Iya kak."
"Jam segini apa kakakmu ada?" Daru memperhatikan jam di mobilnya yang menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
"Aku tidak tahu," Hana lalu mengeluarkan ponselnya. "Aku coba tanya."
Hana pun menelepon Danis.
Danis, "Halo."
Hana, "Kak, apa ada di rumah?"
Danis, "Masih di kampus, tapi kakak sebentar lagi pulang. Kenapa?"
Hana, "Ada yang mau dibicarakan. Ya sudah, aku tunggu di rumah."
Danis, "Iya. Tunggu kakak."
"Kak Danis mau pulang sebentar lagi. Tunggu saja dulu nanti di rumah," Hana menyimpan ponselnya.
"Iya," Daru mengangguk.
Setibanya di rumah, Hana mengecek ternyata ayah dan ibunya sedang pergi.
"Kemana Tante Jingga dan Om Keenan?" tanya Daru.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin kencan," Hana tertawa sendiri.
"Ow, so sweet, seperti ayah dan ibuku," Daru tersenyum lebar.
"Om Danu dan Tante Mitha juga?" Hana ingin tahu.
Daru mengangguk, "Tempat kencan favorit mereka adalah galeri. Ada rumah lama milik almarhum eyang yang sekarang ini menjadi Galeri Darmanta Besari. Kalau ayah dan ibu menghilang, aku tahu mereka ada di situ."
"A-aku ingin lihat galerinya kak," Hana penasaran.
"Siap. Nanti kita kencan di galeri," Daru tersenyum penuh arti.
Hana pun tersipu malu.
"Jadi bangunan utama rumah menjadi galeri, dan di dekat halaman rumah ada gazebo cukup besar yang menjadi coffee shop. Itu tempatnya indah. Ada danau juga," ungkap Daru menjelaskan.
"Aku mau, aku mau lihat," Hana langsung semangat.
"Iya Hana, iya," Daru mencubit pipinya.
"Pantas saja kakak juga menyukai lukisan," ungkap Hana.
"Iya," Daru mengangguk. "Eyang dan ayah penggemar berat lukisan. Gara gara itu, aku pun tertarik untuk belajar melukis di sela sela waktu kosong. Aku dan Runa jadi terbawa suka dan mencintai lukisan sebagai karya seni favorit."
"Tak heran lukisan kakak bagus," Hana tersenyum lebar.
"Lukisan hadiah ulang tahun dari kakak tergantung di kamarku," jelas Hana.
"Suka?" tanya Daru.
"Suka," Hana mengangguk.
"Satu satunya di dunia. Untukmu," Daru menyunggingkan senyum. "Kalau kamu jeli, lukisan itu sebetulnya menunjukkan perasaan kakak padamu."
Hana merasakan kalau wajahnya kembali merah padam. Ia malu sekali rasanya.
"Ka-kak suka aku sudah lama? Da-dari waktu ulang tahun itu?" Hana memberanikan diri bertanya.
Daru menggeleng, "Sedikit lebih lama dari itu."
Hana membelalakkan matanya dengan kaget, "Se-sejak kapan?"
"Sejak kamu datang berkunjung ke rumah kakak bersama Jani.." Daru mengenang hari itu.
"Kakak tak sengaja melihatmu berjalan di taman belakang. Saat itu Kak Daru sedang di ruang kerja ayah yang jendelanya terbuka. Tiba tiba saja, mata kak Daru seperti tak berkedip menatap bidadari cantik yang melintas," ia mengingat hari itu.
Wajah Hana semakin merah padam.
"Kamu lucu sekali Hana. Wajahmu merah seperti kepiting rebus," Daru lagi lagi mencubit pipi Hana.
"A-aku malu sekali mendengarnya," Hana mengatupkan bibirnya.
"Ti-tidak perlu malu. Kakak dan kamu sekarang memiliki hubungan yang berbeda," Daru menggumam pelan.
Hana merasakan telapak tangannya berkeringat saking gugupnya.
"Hai.. Wah ada tamu penting," Danis tiba tiba muncul.
Daru tersenyum menyapanya dan merangkulnya, "Apa kabar?"
"Good, good.. Kalian mau bicara sama kakak?" Danis menatap Hana dan Daru bergantian.
"Iya," Hana mengangguk.
"Kakak mandi dulu ya, please sebentar saja. Gerah," ujar Danis.
"Iya, jangan lama lama," Hana cemberut.
"Ih kamu! Pakai cemberut segala. Tunggu! Janji cepat," Danis berlari ke dalam rumah.
"Si kakak tuh sejak dekat sama Anin, mandinya super lama," Hana masih saja cemberut.
Daru tertawa, "Anin adiknya Asya?"
"Upps.." Hana menutup mulutnya, tapi kemudian mengangguk. "Iya. Ini rahasia, kakak sedang pendekatan. Tapi sudah berbulan bulan. Entahlah apa Anin menerima perasaan kakak atau tidak."
Daru hanya tertawa, "Semoga. Jatuh cinta dan tidak bertepuk sebelah tangan itu indah."
"Seperti hari ini, kakak senang kalau kamu menerima perasaan kak Daru," jelasnya.
Hana kembali menunduk dan tersipu malu.
Tak lama, Danis keluar dan berganti pakaian, "Cepat kan?"
Ia mengacak acak rambut Hana, "Jangan banyak protes."
"Aku tidak protes!" Hana merajuk. "Hanya saja, aku pikir kakak bakal berlama lama di kamar mandi, seperti biasa..."
Danis tertawa.
"Ah sudah, ada apa?" Danis menatap Daru dan Hana bergantian.
"Kak, mmm.. Aku tidak mau ayah dan ibu tahu, apa bisa kita pindah ke gazeebo belakang?" Hana mengusulkan pindah tempat.
"Ada apa ini, sepertinya serius?" Danis bingung.
"Kita pindah dulu saja," Daru berdiri. "Kalau Tante Jingga dan Om Keenan tahu, mungkin mereka jadi khawatir. Ini kita selesaikan antar kita saja."
"O-ok.." Danis langsung menyadari kalau ada hal serius yang terjadi.
Mereka pun berjalan ke arah gazebo belakang rumah.
"Ada apa?" Danis tak sabar ingin tahu.
"Ini soal Hana," Daru mengeluarkan surat kaleng itu agar Danis membacanya. "Ada yang mengirimkan seperti ini pada Hana. Aku berniat akan mencari tahu pelakunya."
"Tapi.." Daru menatap Hana. "Aku tidak mau Hana menghadapi ini semua sendiri. Dia butuh dukungan orang orang terdekatnya. Namun, aku berharap kalau Om Keenan dan Tante Jingga tidak dulu tahu soal ini agar tidak panik."
Danis meremas surat itu, "Hana orang yang melakukannya adalah pengecut. Kamu jangan takut. Kakak akan menjagamu."
Ia lalu menatap Daru, "Aku setuju. Ayah dan ibu jangan dulu tahu soal ini."
"Hana, kamu tidak apa apa?" Danis menatap adiknya.
"Aku sedih dan tertekan kak.. Tapi, kak Daru benar, setelah menceritakan ini pada kak Danis, aku kok rasanya sedikit lebih lega," Hana menatap kakaknya.
Danis merangkul adiknya, "Jangan simpan sendiri ok? Kita hadapi bersama sama."
"Aku, berencana, mmm.. Untuk menangkap pelakunya dan melakukan penyelidikan diam diam," ucap Daru.
"Bagaimana caranya?" Danis menatap Daru.