"Permisi."
Seorang wanita tersenyum kepada tuannya. Elang membalas senyuman itu, setelahnya dia langsung masuk ke dalam kamar sang Ibu.
"Ibu udah tenang Den, tadi ngamuk-ngamuk. Maaf kalau kamarnya masih berantakan, saya belum berani ganggu dulu soalnya," ujar wanita itu kepada Elang sebelum masuk ke dalam kamar.
Elang mengangguk paham. "Nanti saya ajak Ibu keluar, Mbak beresin kamar ya?"
"Iya Den."
Setelah itu Elang langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar itu. Benar-benar berantakan. Terdengar isakan, hati Elang terasa teriris saat melihat Ibunya duduk meringkuk di atas kasur sambil menangis. Elang melangkah, menyingkirkan benda-benda yang berserakan lalu duduk di depan Ibunya. Tangan Elang terulur, jarinya mengusap air mata yang terus menetes dari mata Devita.
"Bu? Ada apa hm? Elang udah di sini, Ibu berhenti nangis ya?" ujar Elang sangat lembut.
Mendengar itu lantas membuat kedua mata Devita membuka hingga hal yang tak diinginkan terjadi. Devita mendorong keras tubuh Elang hingga membuat cowok yang tak siap itu oleng sampai badannya jatuh terjerembab ke bawah.
"Siapa kamu?! Pergi dari sini!" bentak Devita.
Elang kembali berdiri, kembali menghadap Devita. "Ini Elang Bu, ini Elang!"
"Saya nggak kenal sama Elang! PERGI!"
Elang langsung terdiam, ada rasa sakit yang sebelumnya selalu hadir. Elang tersenyum, menunjukkan senyuman manisnya kepada sang Ibu berhadap Ibunya dapat mengenalinya. Namun rupanya Elang salah. Bukannya ingat, Devita justru semakin marah. Wanita itu mengambil sebuah vas kecil di atas nakas dan mengangkatnya tinggi-tinggi membuat Elang kaget.
"PERGI KAMU DARI SINI! ARG!!"
"Tapi Elang--"
Prak! Tak sempat menghindar. Vas itu berhasil melayang menghantam kening Elang. Setelahnya terdengar tawa yang menggelegar. Tawa itu dari Devita.
"Rasakan itu lelaki b******n!" umpat Devita.
Mbak Lika, asisten rumah tangga di rumah itu berhasil di buat terkejut saat melihat tuannya terduduk dengan darah yang menucur dari keningnya. Segera wanita itu menaruh keranjang cuciannya lalu menyerobot masuk ke dalam kamar, membantu Elang untuk berdiri.
"Den Elang nggak pa-pa?" tanyanya.
Elang hanya menggeleng. Dia kembali menatap Devita dengan hati yang sangat sakit.
"Siapa lagi perempuan ini? Ooh pasti simpanan kamu iya? DASAR LAKI-LAKI NGGAK TAU DIUNTUNG! Pergi kalian dari sini! PERGI!"
Mbak Lika menatap Devita dan Elang bergantian. Melihat sendiri bahagiama perasaan Elang saat Ibunya berkata seperti itu.
"Kita keluar dulu Den, biar Mbak panggilkan perawat Ibu."
Elang menurut saja, kepalanya semakin pusing.
*****
"Gimana? Udah mendingan Den pusingnya?" tanya Mbak Lika kepada Elang yang terus saja memijat pelipisnya sambil menghirup aroma terapi untuk menetralisir pusing.
"Lumayan, nggak sesakit tadi kok Mbak."
"Syukurlah. Nih Mbak buatin makan siang, di makan ya?"
Elang mengangguk. "Makasih banyak Mbak."
"Yasudah kalau gitu Mbak ke belakang dulu."
Setelah Mbak Lika pergi. Kini hanya tinggal Elang sendiri di meja makan. Tepat di depan meja itu ada kamar Ibunya. Elang menatap nanar kamar dengan pintu cokelat itu. Entah mengapa rasanya selalu sakit saat melihat sang Ibu mengamuk, sedih saat dirinya yang selalu jadi sasaran padahal niatnya baik. Dulu sebelum semuanya terjadi, hubungan Elang dan Ibunya sangatlah baik. Tidak ada k*******n. Namun sekarang? Setiap Elang datang selalu saja ada luka.
Elang meringis, tanpa terasa tangannya meremas sendok yang dia pegang. Semua ini terjadi gara-gara Mahen. Ayahnya yang telah membuat semua berantakan. Sudah hampir dua tahun Elang merasakan tersiksa. Ibunya stres karena sang suami selingkuh. Dirinya di tuntut untuk menjadi orang lain katanya agar sang Ibu bisa terus hidup. Dunia begitu kejam kepada Elang. Saat anak seusianya bisa bebas, tapi tidak dengan Elang. Cowok itu kini merasakan penjara yang sesungguhnya. Hidup di dalam dunia yang bukan keinginannya.
"Arg!"
Kalau saja Elang bisa melawan. Sudah Elang lakukan itu dari dulu, semuanya terasa sulit karena nyawa Ibunya dipertaruhkan.
Elang terisak. Entah sejak kapan air mata itu menetes.
"Elang?"
Refleks Elang menghapus air matanya lalu berdiri, saat itu juga Elang meringis memegangi kepalanya.
"Kamu duduk saja tak apa," ujar perempuan dengan pakaian berjas putih tersebut.
"Maaf."
"Tak masalah. Ada hal penting yang harus saya sampaikan kepadamu."
"Apa dok?"
Terdengar helaan nafas dari dokter itu. "Melihat kondisi Bu Devita yang kian memburuk. Ditambah lagi k*******n yang selalu dia lakukan kepada orang di sekitarnya. Saya menyarankan untuk membawa Bu Devita ke psikiater kejiwaan."
"Ibu saya nggak gila Dok!" sentak Elang tak terima.
"Tenang dulu. Iya saya tau itu, hanya saja di sana banyak orang yang bisa membantu Ibu kamu agar lekas sembuh. Mereka bisa menangani Ibu kamu Elang. Memangnya kamu mau Ibumu terus seperti ini? Tidak kan?"
"Apa harus psikiater dok?"
"Elang, di sana adalah tempatnya orang dengan gangguan mental seperti Bu Devita ditangani. Kamu tenang saja, Ibumu akan menjadi lebih baik setelahnya."
Elang pasrah. Apapun asal Ibunya kembali seperti semula.
*****
Pintu ruangan terbuka. Keluar seorang cowok yang masih berseragam SMA bersama seorang wanita dengan seragam suster. Keduanya berjalan keluar lalu berhenti di depan sebuah kamar.
"Mas Elang tenang saja. Kita akan merawat Bu Devita dengan sebaik mungkin."
Elang yang awalnya menatap pintu kamar sang Ibu langsung mengalihkan pandangannya menatap suster itu.
"Saya bisa tetap jenguk Ibu kan Sus?"
Suster tersebut mengangguk. "Bisa dong! Kapan pun kamu ingin bertemu Ibu kamu. Kamu bisa langsung datang ke sini."
Elang tersenyum sambil mengangguk. "Terima kasih Sus kalau gitu saya pamit dulu. Nitip Ibu ya Sus."
"Iya sama-sama Elang. Hati-hati di jalan."
"Assalamualaikum."
"Waalaiakumsalam."
Setelah itu Elang langsung berjalan pergi. Cowok itu menghampiri mobilnya. Saat masuk di dalam, tak sengaja cowok itu membuka dashbord dan menemukan sebuah foto. Di sana berdiri empat orang yang sedang tersenyum. Terlihat sangat bahagia. Hingga pandangan Elang terhenti saat melihat seorang pria yang menggendong anak kecil di foto itu. Pria itu adalah Mahen, Ayahnya.
"Munafik!"
Kesal, Elang meremas foto tersebut lalu menjatuhkannya begitu saja. Setelahnya Elang menghidupkan mobil dan pergi.
Di sepanjang perjalanan Elang terus kepikiran dengan Devita. Apakah Ibunya akan baik-baik saja di sana? Jujur Elang merasa khawatir meninggalkan Ibunya sendirian. Biasanya Mbak Lika yang menemani Devita. Sekarang?
Elang menghela nafasnya. Memukul stir untuk menyalurkan emosinya. Namun saat cowok itu kembali melihat ke jalanan, dia berhasil dibuat terkejut dengan sekelebat bayangan, seperti orang yang baru saja melintas. Detik itu juga Elang menginjak Remnya. Matanya menyapu sekitar namun tak menemukan ada orang.
"Barusan gue nabrak?" guman Elang.
Jantungnya berdegub kencang tak karuan. Cowok itu lantas memilih untuk turun dari mobil guna memastikan. Benar saja, dia melihat seorang perempuan berjongkok sambil memegang kepalanya di bawah plat mobil miliknya.
"Kamu nggak pa-pa?" tanya Elang pelan sambil menyentuh pundak perempuan itu.
Perempuan itu lalu berdiri, mengecek semua badannya mencari lecet, namun tak ada lecet sedikit pun. "Apa gue udah mati?"
"Masih belum kok," balas Elang.
Perempuan itu membulatkan matanya. Seketika dia tersadar, dengan amarah yang menumpuk perempuan itu memutar badannya menemukan lekaki berdiri cengo menatapnya.
"Lo ya?! Kalau nyetir tuh yang hati-hati dong!!" teriaknya marah.
"Lo cewek baru di sekolah itu kan?" tanya Elang tanpa menanggapi ucapan perempuan tersebut.
"Astaga! Ohh gue baru ingat. Lo cowok yang tolongin gue waktu itu kan? Ya ampun nggak nyangka banget bisa ketemu lo lagi," hebohnya.
"Tapi tunggu dulu! Lo bilang tadi gue cewek baru di sekolah? Kok tau?" bingung perempuan itu hingga dia tersadar dan langsung menutup mulutnya tak percaya. "Jangan bilang lo sekolah di SMA Garuda? Kita satu sekolah. Oh maygat!! Mimpi apa gue kemarin."
"Bisa nggak usah lebay?" ujar Elang risih.
Perempuan yang awalnya loncat-loncat kegirangan itu langsung berhenti. "Lebay? Ini gue lagi seneng!"
"Seneng lo udah kelewat batas."
"Ya ampun, kayaknya lo herus upgrade tingkat kesenangan lo deh."
"Terserah! Sekarang lo udah nggak pa-pa kan? Lo bisa minggir biar gue bisa lewat. Ayo awas!" usir Elang.
"Jadi pertemuannya berakhir seperti ini aja? Kita kan belum kenalan."
"Lebih baik nggak kenal!"
Tanpa mau menghiraukan lagi, Elang langsung langsung berbalik badan berjalan memasuki mobilnya. Bayangannya dia akan duduk tenang di dalam mobil, namun kenyataannya?
"Hai, nama gue Aina Agista. Lo bisa panggil gue Aina atau Nana. Sayang juga boleh."
Damn! Elang meremas stir mobilnya, perlahan menengokkan kepalanya ke samping. Di lihatnya perempuan yang ternyata Aina itu sudah ada di sana mengisi kursi kosong di sebelahnya dengan senyum yang di manis-maniskan.
"Siapa yang nyuruh lo masuk!?" geram Elang.
"Oh ini inisiatif sih. Upaya dalam sebuah pendekatan harus dimulai sejak sekarang."
"Turun!" suruh Elang.
"Lah kok--"
"GUE BILANG TURUN!"
"Nggak mau!"
"Lo tau bahasa manusia nggak sih. Gue bilang turun!"
"Jangankan bahasa manusia. Gue juga bisa kok bahasa batin."
"Lo ya!" Elang semakin merasa kesal. Kenapa orang ini begitu keras kepala.
"Jangan marah-marah kenapa. Kita kenalan dulu ayo biar lo nggak salah paham terus sama gue. Nama lo siapa?"
Elang diam mulai menyalakan mobilnya.
"Ih so sweet. Lo mau anterin gue pulang ya?" tanya Aina.
"Iya!"
"Aaa ... nggak mau tanya dulu rumah gue di mana? Emang lo tau?"
"Tau!"
Tubuh Aina langsung menegang. Senang? Tentu saja. "Kok bisa tau? Wah lo galak gini diem-diem perhatian ya? Uuuh jadi makin cinta. Emang rumah gue di mana?"
Sebelah bibir Elang terangkat. "Neraka!"
"Astagfirullah!" kaget Aina. Refleks dia memukul lengan Elang. "Mulutnya suka sembarangan kalau ngomong!"
"Jangan sentuh gue!"
"Ish! Jadi lo serius tau rumah gue nggak?"
Elang kembali diam membuat Aina mencibikkan bibirnya kesal. "Diem terus, gue nanya juga!"
"Lo cerewet!" sentak Elang membuat Aina terkejut.
"Sekalinya jawab langsung bentak. Kalau gue punya penyakit jantung udah mati dari tadi tau nggak!"
"Syukur kalau mati. Biar ngurangi populasi cewek i***t di dunia."
Lagi, Aina kembali dibuat terkejut dengan ucapan Elang. "Mulut lo ya? Bicara tuh yang enak dikit gitu loh. Ini nyakitin terus dari tadi."
"Hm."
Aina hanya bisa geleng-geleng kepala. "Nggak ngerti lagi sama lo. Ada ya orang yang betah bicara cuma sekata doang? Oh nggak, cuma deheman doang."
"Lo diem atau gue turunin di sini!" ancam Elang.
"Eh jangan dong! Nanti gue nyasar lagi gimana?" panik Aina.
"Urusan lo!"
"Jahatnya."
"Rumah lo di mana?" tanya Elang tak santai.
"Bisa nggak sih kalau nanya sama perempuan itu yang lembut dikit?"
"Berisik! Cepet kasih tau."
Aina menghela nafasnya. "Di jalan Anggrek, perumahan rumah nomor dua," balas Aina cuek.
Ciit!!
Hampir saja jidat Aina membentur dashbord mobil. Namun untungnya dia menggunakan sabuk pengaman.
"Lo gila!" umpat Aina kepada Elang yang mengerem mendadak.
"Lo yang gila! Jalan itu udah kelewatan jauh bodoh! Kenapa nggak bilang ha?" sentak Elang.
Aina kicep. "Habis lo nggak tanya."
"Akh! Kan ada tulisnya, ada patokannya kalau itu jalan ke rumah lo! t***l banget sih. Nggak bisa lihat apa?"
"Ya maaf! Gue itu orang baru di Jakarta. Mana tau setiap patokan jalan. Lagian lo dari tadi marah-marah terus."
"Nyusahin!"
Mau tak mau, meski dengan perasaan dongkol Elang tetap putar balik. Kalau dia tak merasa bersalah telah hampir menabrak cewek itu sudah dipastikan Elang akan meninggalkannya di jalanan saat ini juga.
Aina sendiri kini hanya diam. Hatinya sakit terus di katai bodohlah, t***l lah. Hati Aina yang rapuh ini tak bisa menerima segala macam u*****n kasar. Meski tingkah Aina sedikit bar-bar namun tetap saja Aina adalah seorang perempuan.
Tak sampai sepuluh menit mobil Elang sudah berhenti di depan pagar rumah Aina.
"Cepet turun!"
Aina menatap Elang sekilas. "Iya ini mau turun. Makasih ya udah antar pulang."
"Hm."
Aina menghela nafasnya, menatap Elang sekali lagi dan Aina baru sadar bila ada suatu hal yang dia lewatkan sejak tadi. Aina baru ngeh saat Elang benar-benar melihat ke arahnya.
"Kening lo?"
"Jangan sentuh!" tepis Elang saat tangan Aina akan menyentuh keningnya.
"Tapi itu darahnya merembes keluar. Pasti lukanya kubuka karena banyak kena tekanan pas lo marah-marah tadi. Lagian itu harusnya jangan cuma diplester. Mau gue obatin?"
"Nggak perlu!"
"Kok bisa sih?"
Elang memejamkan matanya menahan agar tak lagi membentak. "Kita sudah sampai. Itu rumah lo dan silahkan segara turun dari mobil gue."
"Tapi--"
"TURUN!"
Aina tersentak lalu langsung memakai tasnya dan keluar dari dalam mobil Elang.
"Itu lukanya jangan lupa diobati ya?" pesan Aina yang tak mendapatkan jawaban dan malah langsung di tinggal pergi begitu saja.
Aina masih terdiam di tempatnya. Menatap miris mobil Elang yang semakin menjauh. Cowok seperti Elang berhasil membuat Aina terus jatuh cinta kepadanya.
"HUAAAA MAMIIII!! Nana udah gede udah bisa deg-degan gara-gara cowok Mii!!"