3. Tertarik?

1869 Kata
Pukul sebelas malam seorang Elang Baskara Mahendra baru saja sampai di rumahnya. Cowok yang masih mengenakan seragam sekolah dan hanya berlapis jaket denim itu sangat malas kalau harus pulang. Baginya rumah itu seperti neraka dunia, emosi Elang selalu tersulut saat berada di rumah. Oleh karena itu dia lebih suka menginap di rumah ibunya karena di sana Elang lebih merasa tenang meski kadang harus diganggu oleh amukan sang ibu. Setelah siang tadi Devita harus tinggal di tempat lain, Elang jadi sedikit berat untuk tinggal di rumah ibunya itu. Akan terlalu sulit tidur, pasti Devita akan senantiasa menghantui pikiran Elang. Elang lalu melepas helm full facenya, cowok itu sedikit menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari tangan. Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Elang, di halaman rumah yang kelewat luas itu ada beberapa mobil terparkir, Elang tau beberapa mobil itu milik Ayahnya namun satu mobil berwarna putih dengan aksesn sedikit pink berhasil menarik perhatian Elang hingga satu ujung bibirnya tertarik. "Pasti jalang-jalang sewaan Mahen," gumam Elang sambil berjalan ke arah pintu utama. Benar saja, tubuh Elang sukses mematung di ambang pintu. Pemandangan yang telah sering tersaji dari beberapa bulan yang lalu. Seorang CEO kaya raya bersama wanita bergilirnya tengah memainkan beberapa ronde di ruang tamu. Pemandangan yang sungguh menjijikkan. Melihat Elang yang berdiri menatap ke arahnya, refleks Mahen langsung bangkit dari posisi tidurnya. Pria yang terkenal berkarisma itu segera membenarkan kemejanya yang berantakan begitu pun dengan wanita yang ada bersama Mahen. "Santai, lanjutin aja lagi nggak pa-pa, anggap aja saya nggak lihat, lagian udah sering juga kan? Ngapain pakai ditutup-tutupi hm?" kata Elang. Mahen lalu bangkit, pria yang telah menginjak kepala empat itu berjalan mendekati Elang, hendak menyentuh lengan Elang namun ditepis oleh cowok itu. "Ayah bisa jelaskan," ujar Mahen. Elang menggeleng, sorot matanya seketika menajam layaknya seekor burung elang yang melihat mangsanya. "Semua udah jelas! Dan perlu saya tegasnya berapa kali lagi kalau jangan pernah sebut diri anda sebagai Ayah jika kelakuan masih kayak binatang!" Perkataan menohok dari Elang mengakhiri drama bapak dan anak malam itu. Elang terlalu malas berdebat. Ia langsung beranjak pergi memasuki rumah menuju kamarnya yang ada di lantai dua. "ELANG?" panggil Mahen dengan suara keras namun sama sekali tak dihiraukan hingga selanjutnya terdengar suara dentuman pintu yang sengaja ditutup dengan kencang. Masih duduk di atas sofa, Fifi tengah mengancingkan kemeja oversizenya. Seusai itu Fifi berdiri mendekati Mahen, memeluk lengan kanan Mahen dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Elang marah banget sama kita," ujar Fifi kepada Mahen. Mahen menghela nafas panjang, ia mengangguk dan perlahan melepaskan tangan Fifi dari lengannya. Bibir Fifi tertekuk karena balasan Mahen. "Mending kamu pulang Fi, untuk sementara kita jangan intenskan hubungan dulu, tunggu sampai amarah Elang reda." "Tapi nanti kamu akan nikahin aku kan, Mas?" tanya Fifi menatap Mahen penuh harap. Senyum tipis terukir di wajah Mahen. "Iya, pelan-pelan juga aku akan beri penjelasan kepada Elang, kamu sabar ya?" "Oke, jangan lama-lama." "Iya Fi, sekarang pulang dulu ya? Maaf aku nggak bisa antar kamu." Dengan sangat amat terpaksa Fifi mengangguk. Padahal ia masih ingin berada di dalam rumah itu. "Kalau gitu aku pulang dulu," pamit Fifi sambil mengemasi barang-barangnya. "Hati-hati, jangan lupa besok masih ada kerjaan di kantor," ujar Mahen. "Iya, bye Mas. Selamat malam." "Malam." Fifi dengan style feminimnya berjalan keluar dan tak lama terdengar suara mobil yang melaju menjauh meninggalkan rumah. Kini hanya ada Mahen dalam rungan itu. Segera ia menutup pintu, niatnya sekarang ingin menemui Elang namun ketika kakinya baru saja menginjak anak tangga pertama, Mahen mengurungkan niatnya. Mungkin tak sekarang. Mahen lalu berbalik badan dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. *** Fifi yang baru saja sampai rumah hanya bisa geleng-geleng kepala kala melihat putri semata wayangnya tertidur pulas di sofa depan televisi. "Eh Bu Fifi baru pulang, itu tadi Non Nananya ketiduran saya takut mau bangunin, jadi saya selimutin aja, Bu," ucap asisten rumah tangga yang kebetulan lewat kepada Fifi. Wanita itu tersenyum dan mengangguk paham. Ia lalu mendekati anaknya, duduk di sebelah kepala Aina sambil mengusap rambutnya lembut. "Na, bangun ayo pindah." Fifi membangunkan Aina dengan begitu lembutnya. "Ayo Na, nanti leher kamu sakit." Aina yang merasakan sentuhan serta mendengar suara yang tak asing menyapa indera pendengarannya itu lantas mencoba membuka mata dan benar saja Fifi ada di sana. Sontak Aina mengubah posisinya menjadi duduk. Gadis dengan baju rumahan itu tersenyum kepada Fifi. "Selamat malam Mami, baru pulang ya?" tanya Aina. "Iya." Aina mengangguk paham sambil menguap. "Pasti capek banyak kerjaan. Yaudah Mi, Nana pindah ke kamar dulu ya? Mata Nana udah berat banget, Mami jangan lupa istirahat yang cukup." Cup! Kecupan singkat dari Aina sukses mendarat pada kening Fifi membuat Fifi sedikit terdiam. "Have a nice dream Mami," ucap Aina. "I--iya Na," balas Fifi gugup. Dilihatnya Aina yang sudah berjalan meninggalkannya. Dalam hati Fifi sangat merasa bersalah kepada Aina. Bagaimana nanti caranya ia menjelaskan tentang hubungannya dengan Mahen? Apa Aina akan menerimanya? Kedua tangan Fifi lantas terangkat mengusap wajahnya kasar. "Maafin Mami, Na. Mami terpaksa lakuin semua ini." *** "WAGELASEH! Dev, lihat nih followers Aina naik drastis! Bener-bener teman lo satu itu, damage-nya bukan main emang!" Devan yang sibuk menyalin tugas hanya melirik sekilas. Cowok itu sedikit terkekeh, padahal baru sehari Aina di sekolah ini namun namanya sudah langsung bisa di kenal seantero sekolah. Kalau di tanya dari ujung kelas sepuluh hingga kelas dua belas pasti tak ada yang tak kenal dengan Aina. Utamanya para cowok. Salsa masih sibuk mengagumi salah satu akun sosial media Aina. Hingga kedatangan seseorang berhasil membuat Salsa emosi. "Cuma gitu doang gue juga bisa kali! Palingan tuh followers hasil beli!" Itu adalah suara Ratu, salah satu dari sekian kaum cewek yang membenci Aina, lebih tepatnya karena iri. Tak terima dengan tuduhan Ratu, Salsa lalu berdiri menatap tajam cewek dengan lipstik merah merona itu. "Eh, jaga ya omongan lo! Aina nggak bakal pakai cara murahan kayak gitu! Iya kalau lo, followers tiba-tiba naik baru patut dicurigai!" kata Salsa membalas ucapan Ratu. "Dari mana lo tau, Sal? Lo aja baru kenal sehari sama Aina. Jangan mau dibego-begoin sama tuh cewek!" "Kalau iri bilang!" balas Salsa berteriak. Devan yang melihat pertengkaran Salsa dan Ratu lalu memilih untuk mengakhiri acara salin tugasnya. Cowok itu berdiri di antara kedua cewek yang tengah adu mulut itu. Devan menatap keduanya secara bergantian. "Bisa nggak usah ribut? Ini masih pagi!" bentak Devan. "Cewek lo tuh suruh diem!" ujar Ratu sambil memalingkan mukanya. Kedua bola mata Salsa sukses membulat. "Tuh mulut bener-bener ya? Kan lo yang mulai!" "Terserah lo deh Sal, nggak level gue debat sama kaum bawah kayak lo," balas Ratu dengan sedikit bumbu-bumbu hinaan. Kedua tangan Salsa sudah mengepal kuat. Rasanya Salsa sangat ingin mencakar muka Ratu namun Devan menahannya. "Udah biarin, jangan diladeni cewek kayak gitu," kata Devan. "Tapi udah keterlaluan Dev mulutnya!" Devan menggeleng. Tangannya menarik lembut pergelangan Salsa, mengajakanya untuk kembali duduk meski masih terdengar segala macam sumpah serapah yang keluar dari mulut Salsa. Di lain tempat namun masih berada di area SMA Garuda, Aina yang baru saja turun dari dalam mobil sang Mami harus kembali dihadiahi beberapa pujian dari kaum adam. Ada beberapa dari mereka yang memberi Aina coklat, dan ada juga yang menembak Aina secara terang-terangan. Aina yang tau jika mereka semua hanya suka dengan kecantikannya hanya bisa tersenyum, setidaknya Aina tak cuek agar terlihat sopan di mata mereka. Kini kedua tangan Aina sudah penuh dengan bermacam bentuk dan jenis coklat. Dalam hati Aina bangga kepada dirinya. Kalau seperti ini terus bisa utuh uang jajan Aina. Dengan senyum yang mengembang lebar, Aina berjalan memasuki kelasnya. Di sana semua orang menatap Aina dengan tatapan cengo, termasuk Salsa dan Devan yang sampai berdiri dari duduknya. "SELAMAT PAGI SEMUANYA!! SUDAHKAH BAHAGIA HARI INI?" Aina menyapa semua penghuni kelas dengan riang. Ratu yang memang awalnya tak suka lantas memutar kedua bola matanya malas. "NGGAK USAH CAPER BISA KALI!" ujar Ratu teriak dari tempat duduknya. Aina menggeleng menatap ratu. "Pagi-pagi udah julid aja, mood lo buruk ya? Nih gue ada banyak coklat, mau nggak?" tanya Aina menawari. "Palingan hasil ngerampok," balas Ratu. "EH TUH MULUT JAGA YA!" sentak Salsa yang tak terima. Segera Devan kembali menenangkan Salsa. "Udah jangan ladenin!" kata Devan. Sementara itu Aina hanya mengendikkan bahunya lalu berjalan menuju tempat duduknya. Melihat Aina yang berjalan mendekat membuat Devan harus menyingkir karena kursi yang cowok itu duduki adalah milik Aina. "Huh! Gila sih ini rekor terbanyak gue sama coklat dalam sehari!" kata Aina menaruh coklat-coklat itu di atas meja yang ada di hadapannya. Salsa dan Devan masih cengo melihat jejeran makanan manis itu. "Lo dapat dari mana sih Na? Lo borong?" tanya Salsa. Aina sontak terkekeh. "Ya kali! Gue masih waras kali Sal, mana ada gue borong coklat segini banyak!" "Terus dapat dari mana?" tanya Devan. "Ini semua itu gue dapat dari cowok-cowok di parkiran, lapangan, koridor lantai satu, lantai dua, pokoknya semua cowok yang suka sama gue ngasih gue coklat," kata Aina menjelaskan. Kedua alis Salsa menyatu. "Cuma-cuma gitu kasihnya?" "Enggak juga sih, mereka nembak gue ya karena gue tau mereka mau gue jadi pacarnya hanya karena gue cantik," Aina menekankan kata cantik sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. "Ya gue nggak mau," lanjut Aina. "Gila, lo pakai pelet apaan sih, Na?" Pertanyaan ngaco itu keluar tanpa filter dari mulut Devan. "Astagfirullah sembarangan banget, boro-boro mau ke dukun minta pelet, lihat rumah gelap dikit aja gue takut, Dev!" "Kirain, terus mau lo apain tuh semua coklat?" Benar juga, mana mungkin Aina memakan semuanya, bisa naik drastis nanti berat badan cewek itu. "Emm kalau satu dua oke sih, tapi lima belas?" "Bengkak yang ada tuh badan," balas Salsa dengan cepat. Aina lalu mengetukkan jari telunjuknya pada dagu seolah tengah berpikir hingga satu ide berhasil muncul dalam kepala Aina. "Gue tau harus gue apakan!" Salsa dan Devan saling tatap bingung. "Mau lo apain?" tanya Salsa. "Ada deh! Btw lo dua mau minta nggak?" Devan langsung menggeleng. "Nggak deh Na," katanya. "Lo Sal?" "Boleh deh satu." Setelah itu Aina juga menawari teman-temannya di kelas, ada beberapa yang mau. Tak lupa Aina juga benar-benar menyisakan dua untuk dirinya. Coklat Aina kini hanya tinggal sembilan, segera Aina memasukkannya ke dalam tas, berharap agar tak meleleh. *** Sebuah motor sport hitam yang tengah melaju di jalanan terpaksa harus berhenti saat mata elangnya tak sengaja melihat sosok yang tak asing. Cowok itu juga membuka helmnya, semakin meyakinkan pandangannya jika itu adalah orang yang ada dalam pikirannya sekarang. Cowok itu adalah Elang, dia melihat Aina yang tengah membagikan makanan dan coklat kepada anak-anak jalanan. Tawa bahagia nampak sangat tulus dari anak-anak itu, begitu juga dari Aina. Sedikit Elang terenyuh melihatnya. Elang pikir selama ini Aina hanyalah cewek yang tukang buat rusuh, namun Elang salah, hati cewek itu ternyata begitu baik. Tanpa sadar Elang menarik kedua ujung bibirnya, membuat lengkungan senyum yang samar. Setelah itu Elang kembali memakai helmnya, meninggalkan tempat itu begitu saja. Di tempatnya berdiri, Aina sempat menolehkan kepala saat ada sebuah motor tak asing melintas, Aina seperti mengenalnya. "Kak aku belum kebagian nasinya, Kak." Suara dari anak jalanan itu berhasil kembali menyandarkan Aina. Segera Aina kembali membagikan beberapa sisa nasi kotak itu. Melihat anak-anak yang begitu senang mendapatkan makanan membuat ingatan Aina terlempar ke masa lalu. Dia juga pernah sepertu mereka, Aina tau rasa bagaimana sulitnya mencari makan. Kini ketika Aina sudah kembali berkecukupan, sebisa mungkin Aina tak lupa untuk berbagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN