12. Mainan Kayu

1616 Kata
Hari belum terlalu siang. Di sekolah lain, tepatnya sekolah Tunas Bangsa, Lisa sedang duduk menunggu putri angkatnya keluar dari kelas. Seperti biasa dia melakukan tugasnya sebagai ibu, dan sekarang ini situasinya cukup bahaya sebab Lisa mulai merasa bosan. Dia menghembuskan napas panjang, melihat kolom pesan di ponselnya yang tidak mendapat jawaban. "Dia gak balas pesanku. Kakakku pasti membuatnya sangat sibuk." Itu adalah pesan yang dikirim Lisa sebelum Maira mendapat email bahwa dia diterima menjadi pengajar di Yayasan Insan Pelita. Sampai hari ini Maira belum membalas pesan Lisa. Hal itu membuat Lisa merasa menyusahkan mereka. Lisa mengeluh bosan. Dia tidak tahu harus melakukan kegiatan apa setelah ini. Tidak mungkin jika pergi mengunjungi rumah kakaknya lagi. Kakak dan kakak iparnya pasti bosan melihatnya, pikir wanita muda itu. Suara bel tanda usai pelajaran akhirnya terdengar. Aisya keluar dari kelasnya setelah bersalaman dengan ibu guru yang mengajar. Dia melihat mamanya sudah menunggu di sana. Seperti biasa, dengan semangatnya, Aisya berlari menghampirinya, juga berteriak gembira memanggil mamanya. "Mama." Lisa mendongak dan memaksa bibirnya untuk mengulas senyum. Dia melebarkan kedua tangan untuk menangkap pelukan putrinya. "Aisya udah pulang," kata gadis kecil yang kini berada di pelukan mamanya. "Iya. Sekarang mama mau ajak Aisya makan siang di luar." Lisa mengusap kepala Aisya. "Di luar? Di mana?" tanya Aisya. "Em, Aisya mau makan di mana? Mama bakal ajak Aisya makan di sana." "Kalau gitu, ayo kita makan di restoran mall, sekalian Aisya mau main timezone kalau udah selesai makan," pintanya sambil menggenggam telapak tangan Lisa yang menuntunnya. "Oke, kita makan siang di sana." *** Sementara itu, di Sekolah Insan Pelita, Maira melangkah di koridor menuju ke halaman parkir. Dia sudah melihat mobil Seam menjemputnya. Dalam langkah itu Maira juga masih memikirkan hadiah apa yang harus ia berikan pada suaminya. "Hai, Maira." Tiba-tiba saja suara itu muncul dan seorang pria sudah berdiri di depannya. Maira mendongak, dia sedikit terkejut. "Em, hai, Pak Fu … " Dia hendak menyapa kembali, tetapi Maira sedikit lupa nama guru itu. "Fuari." Pria di depannya membantu melengkapi. "Iya, Pak Fuari." Maira mengangguk sekali dan tersenyum sopan. "Maaf." "Oh, gak apa-apa. Kalau susah diingat, panggil Ari aja." Mendengar tanggapan guru yang lebih senior di depannya ini membuat Maira merasa tidak enak. Namun Maira tidak bisa berkata banyak, dan hanya bisa mengiyakannya. "Iya, Pak Ari," ucap Maira. "Udah mau pulang?" tanya guru itu. "Hari ini saya hanya mengajar di satu kelas, Pak." Maira memberitahu. "Oh, iya, saya tau." Sebenarnya sebelum ini, guru Bahasa Inggris bernama Fuari itu sudah sempat melihat profil dan jadwal Maira di sekolah ini. "Kenapa nggak jalan-jalan dulu?" "Mungkin lain kali, Pak, saya sudah dijemput." Maira menunjuk mobil jemputannya, membuat Ari menoleh ke arah yang ditunjuk Maira. "Suaminya?" tanya Ari memastikan. Karena tidak ingin berkata lebih banyak lagi, Maira hanya melempar senyum pada pria di depannya. Dia dapat merasakan ada sesuatu yang diinginkan guru itu padanya. Sebisa mungkin Maira terlihat netral. "Permisi, Pak." Dia memberikan salam dan senyum sopan sebelum melanjutkan langkah menuju mobil jemputannya. Maira masuk setelah Seam membukakan pintu untuknya. Hal itu membuat Ari meragukan bahwa itu adalah suami Maira. Seam yang sejak tadi memperhatikan pria di koridor bersama Maira pun tak lepas menatap ke arahnya sampai sekarang. "Nggak mungkin suaminya, kan." Pak Ari berkata pada diri sendiri. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju ke salah satu kelas. Di dalam mobil yang melaju di jalan raya, Maira melihat ke luar jendela, mencari sebuah toko yang menjual berbagai macam hadiah. Dia melihatnya di depan sana. Maira pun meminta Seam untuk berhenti sebentar di toko itu. "Seam, berhenti sebentar di toko itu ya," pinta Maira. Namun kelihatannya Seam menolak. "Tuan Harley memintaku untuk langsung mengantarmu ke rumah, Nyonya." "Oh, aku tau, tapi aku ingin membeli hadiah untuknya." Maira meyakinkan Seam bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Baiklah, hanya sebentar," ucap Seam. Maira terkekeh. "Kau jadi sangat mirip dengannya." Seam pun turun lebih dulu untuk membukakan pintu Maira. Dia berdiri di depan sana, mengawasi istri tuannya dari jauh, memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Maira sudah berada di dalam toko. Dia melihat-lihat ke deretan lemari yang memajang aksesoris meja. Semuanya sangat bagus, tetapi Maira harus menemukan sesuatu yang berarti untuk suaminya. Sampai akhirnya dia pun menemukan sebuah ukiran dari kayu yang membentuk seorang ibu berhijab sedang menggendong bayinya. Ukiran itu sangat indah, dan akan cocok untuk melambangkan Maira juga bayi yang saat ini masih berada di dalam perutnya. Kata-kata dan ide yang menarik pun melintas di benaknya. Maira segera meminta petugas toko untuk membungkus hadiah itu. Seam melihat Maira yang sudah keluar dari toko hadiah, dia pun segera membuka pintu mobil untuk Maira. Seam hendak membantu Maira membawakan bingkisan di tangannya, tetapi Maira menolak. "Tidak apa-apa, biar aku yang membawanya," kata Maira. "Terima kasih, Seam." Mobil yang dikendarai oleh Seam pun kembali melaju di jalan raya, menuju ke tempat tinggal Maira dan Harley. Mereka tiba di rumah agak telat. Mobil Harley sudah terparkir lebih dulu di dalam sana, pertanda bahwa Harley tiba di rumah lebih cepat dari Maira. Hal itu membuat Seam merasa sedikit khawatir. Namun Maira mencoba menenangkannya ketika pemuda itu membukakan pintu untuknya. "Bukankah aku sudah memberitahumu tentang ini, Nyonya," ucap Seam khawatir. "Tenang saja, dia tidak akan memarahimu, apalagi memarahiku," kata Maira. Seam pun mempercayai nyonyanya. Meski rasa khawatir masih bersarang di dadanya sebab saat ini Harley sudah berdiri di depan pintu, menunggu untuk memarahi mereka. Seam menelan ludah ketika mendapati Harley menatapnya penuh selidik. "Dari mana saja kalian?" Harley bertanya dengan nada penuh interogasi. "Maaf, Tuan, tadi … " "Tidak, tidak, aku yang menyuruhnya berhenti sebentar untuk membeli sesuatu. Mas Kean sudah sampai rumah dari tadi?" Maira mendekati suaminya. "Aku sudah bilang untuk langsung pulang," kata Harley. "Iya, aku tau, Seam juga sudah mengatakannya padaku." Dengan hati-hati Maira menuntun suaminya untuk masuk ke dalam. "Kau pergi ke mana? Kenapa tidak bilang padaku? Kau melanggar syaratnya." Kata-kata bernada tinggi rendah mulai terdengar, pertanda bahwa Harley sudah menunggu cukup lama di rumah, dan dia sangat khawatir. "Mas, aku membeli hadiah untukmu. Bukankah kau sendiri yang meminta. Tenanglah, aku baik-baik saja, begitupun dengannya." Maira menepuk-nepuk perutnya. Harley menghembus napas singkat. Meski mereka baik-baik saja, Harley tetap merasa kecewa sebab Maira tidak berkata padanya jika pergi ke suatu tempat. Dia tahu, kesalahan besar dimulai dari kesalahan kecil, Harley tidak ingin Maira melakukannya. "Mas … sungguh, aku hanya membeli ini." Maira menyodorkan hadiahnya pada Harley. Dia tahu jika sejak tadi suaminya itu pasti sangat khawatir. Harley menerima kotak hadiah itu dari istrinya. "Apa ini?" "Hadiah," jawab Maira dengan senyum menyenangkan, bermaksud untuk mengundang suaminya agar tersenyum juga. Harley pun membuka kotak hadiahnya, dia menemukan sebuah mainan kayu. "Mainan kayu?" Maira terkekeh. "Bukan, Mas. Dia seorang ibu yang sedang menggendong bayinya," ucap Maira penuh perasaan. Harley membolak-balik hadiah Maira itu di tangannya. Dia belum bisa meresapi apa maksud istrinya memberikan mainan kayu seperti ini padanya. Harley bahkan hendak protes sebab Maira terlambat hanya karena mainan kayu itu. "Kau terlambat ha--" Maira segera menutup bibir suaminya dengan jari telunjuk. "Mas Kean, aku mau Mas Kean menyimpan hadiah ini di meja kantor perusahaan." Harley memperhatikan gerak-gerik istrinya. Dia tahu bahwa Maira sedang berusaha untuk membujuknya agar tidak lagi membahas masalah pulang terlambat. "Jika Mas Kean merasa lelah dengan pekerjaan di perusahaan, tatap saja ukiran kayu ini, dan saat itu lah Mas Kean tau kalau aku selalu memikirkan Mas Kean." Maira masih mencoba untuk membuat suaminya itu tersenyum. Dia mengambil ukiran kayu itu dari tangan Harley. "Lihat, bukankah kami sangat mirip." Kini Harley melihat istrinya yang sangat lucu, bagaimana bisa dia menyamakan dirinya dengan mainan kayu. Namun hal itu sudah cukup untuk membuat Harley tertawa. "Oke, baiklah, kau berhasil." Harley mengusap kepala Maira, lalu membawa istrinya itu ke pelukan. "Hehe. Aku akan selalu menjaga diri untuk Mas Kean," ucap Maira dalam pelukan itu. "Mas Kean tidak perlu merasakan khawatir yang berlebih. Karena aku tau rasanya sangat tidak menyenangkan." "Kau tau itu, aku tidak ingin menjadi seperti aku yang dulu." Bayangan kelam itu selalu menghantui ketika Harley merasa khawatir. "Aku tidak akan membuat Mas Kean kecewa." Maira meraih pipi suaminya, meyakinkan pria itu bahwa sesuatu yang buruk tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Hangat, sungguh terlihat begitu hangat dan damai. Mereka akan selalu meyakinkan satu sama lain. "Jadi, Mas Kean suka dengan hadiahnya?" Maira hendak membangun kembali suasana bahagia dengan bertanya tentang hadiah yang dia berikan. "Kau terlalu jauh mencari hadiahnya sayang," jawab Harley. "Hadiah yang aku inginkan lebih sederhana dari ini." Kening Maira berkerut bingung. Dia merasa hadiah ukiran kayu itu sudah sangat sederhana untuk seorang pria seperti Harley. Sampai akhirnya Maira mendapat ciuman singkat di bibirnya. "Lihat, sederhana bukan?" tanya Harley. Sempat terkejut, tetapi akhirnya Maira mengerti jika hadiah yang dimaksud suaminya hanyalah sebuah ciuman. Maira tertawa. "Baiklah kalau begitu." Cup. Satu ciuman lagi terjadi, bedanya kali ini Maira yang memulai. *** Sementara itu tak jauh dari restoran yang dikunjungi oleh Lisa dan Aisya. Seorang wanita dengan pakaian lusuh menatap ke arah mereka dari seberang jalan. Dulu wanita itu sangat mengenal Lisa dengan baik. Namun tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Kemudian, seorang anak laki-laki yang merupakan putra dari wanita itu berlari di seberang jalan karena tidak ingin menghampiri ibunya. "Lian!" Wanita itu berteriak memanggil putranya, namun bocah itu terus berlari menjauh. "Lian! Anak ini!" Wanita itu pun menyebrang untuk mengejar putranya. Dia terus memanggil nama putranya itu, "Lian." Namun tiba-tiba ... "Kau memanggilku?" Seorang pria menyahut akibat panggilan wanita itu. "T-tidak, maafkan aku." Wanita itu menunduk meminta maaf. Dia pun kembali berlari mengejar putranya. "Lian!" Sementara pria yang menyahut tadi kembali melanjutkan langkah yang berlawanan dengan wanita itu. Dia menuju ke sebuah restoran untuk memperhatikan targetnya lebih dekat. Kemudian, dia menyadari bahwa sejak tadi wanita berpakaian lusuh itu memandang ke arah yang sama dengannya. Benar, sejak tadi pria itu juga memperhatikan Lisa dan Aisya. "Lian." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN