Part 7: Foto di dinding

1218 Kata
"Ih, geli, Pak!" pekikku tertahan sambil terkikik. Bibirnya terus menjelajahi telingaku, membuatku kegelian. Lidahnya mengeskplor sampai ke leherku. Tabitha, kenapa kamu hanya diam saja? Dimana nyalimu yang besar itu? Masa begini aja udah nyerah? "Saya harus ikat kamu. Hatimu, beserta pemiliknya," ucap Rafa setelah mencuri sebuah ciuman dariku. Rambutku berantakan, bibir bengkak dan kissmark bertebaran di leherku. Apa para pelayan melihat kejadian ini? Ada CCTV-kah? "Saya 'kan bel-" Suaraku terpotong. "Saya sudah mengasumsikan itu sebagai iya. Saya nggak mau mengulang ucapan saya lagi setelah ini. Mengerti?" Pria itu mengelus rambutku kemudian mencium puncak kepalaku. Kurasakan kupu-kupu serentak berterbangan di dalam perut. Perasaanku melambung tinggi. Dulu, sewaktu dengan Angga, kami nggak pernah melakukan apapun selain berpegangan tangan. Ada limit yang kuberikan pada pria itu. Karena Tabitha muda yang naif yang berpikiran untuk memberikan ciumannya untuk suaminya. Setelah putus beberapa hari, aku baru sadar, apa saja yang sudah aku lakukan sampai bisa menerima Angga sebagai pacarku? Dan kenapa pria itu bisa bertahan menjadi pacarku tanpa adanya kontak fisik? Jangan-jangan pria itu... Rafa menuntunku ke ruang kerjanya, ini kali pertama aku masuk kesini. Aku berani menjelajahi seisi rumah ini, tapi tidak dengan kamar Rafa dan ruang kerjanya. Aku takut menyalahi aturan dengan melanggar privasi seseorang. Apalagi itu seorang pria dewasa. Kudapat sosok Lili yang sedang duduk di karpet sambil mewarnai gambar Pororo. Siapa yang bisa tahan dengan pesona si Manis ini. Bahkan aku yang kurang suka—bukan berarti benci dengan anak-anak pun luluh oleh pesonanya yang polos. Matanya bersinar dengan warna coklat terang. Mungkin itu diwariskan oleh ibunya. Sebuah foto pernikahan, terpampang rapi di dinding. Seketika membuat hatiku nyeri dan lututku bergetar. Foto Rafa dan istrinya, dengan senyum lebar—yang kurasa sedikit dipaksakan. Di saat pria ini sudah melemarku—walau tidak romantis, mengapa masih ada fotonya dengan istrinya disini? Aku tau, nggak ada yang bisa menyalahkan atau mengubah masa lalu. Tapi aku nggak tau kenapa, hatiku bagaikan disiram dengan alkohol setelah tersayat ribuan pisau. Kualihkan mata dari gambar yang membuatku menerka nggak jelas. Aku berjalan mengelilingi ruangan itu. Nuansan hitam dan abu-abu membuat suasana di ruangan itu menjadi kelam. Jelas terlihat dari kepribadian pemiliknya yang dingin, nggak tersentuh. Aku sadar, aku adalah orang baru di dalam hidupnya. Baru hampir sebulan ini kami saling kenal. Dan dengan tiba-tibanya, ia datang dan dengan diktatornya, memerintahku untuk menikah dengannya. Apa yang bisa kuharapkan darinya? Mencintaiku dengan segenap hati dan jiwanya? Itu mugkin hanya ada di mimpi terliarku. Walaupun aku belum mencintainya, tapi aku berharap pria ini mencintaiku dengan segenap jiwanya. Terlalu tamak, ya, aku? Dulu, aku sama sekali nggak punya perasaan apapun pada Angga. Pacaran itu hanya sebuah status. Aku tau, hubungan kami hanya seperti teman dekat. Nggak ada skinship sama sekali seperti apa yang Rafa lakukan padaku. Sampai beberapa hari sebelum ulang tahunku yang ke 23, Angga menyatakan sebuah kejutan. Ya, dia memacariku hanya karena sebuah misi. Untuk mendapat sebuah resort dari seseorang. Tapi aku hanya diam, nggak ada kata yang terlontar dariku dan memilih pergi. Diam-diam, harga diriku terinjak mendengar pengakuannya. Aku tau, Angga adalah lelaki yang cukup b***t dengan reputasinya yang sering bermain wanita. Tapi ketika berpacaran denganku, nggak ada satupun kelakuannya yang berusaha melecahkanku. Dan aku bersyukur karena itu. "Apa yang kamu pikirkan?" Sebuah usapan lembut mendarat di kepalaku. Rasanya sangat menenangkan, tapi hatiku masih sedikit terusik dengan foto tadi. Kupaksakan sebuah senyuman untuknya. "Ha? Oh... Nggak ada apa-apa. Kenapa emang?" "Saya lihat kamu seperti memikirkan sesuatu. Matamu juga mengeluarkan air mata." Tanganku spontan meraba bagian pipi yang dekat dengan mata. Tanganku terasa basah. Benar, aku menitikkan air mata saat bahkan aku nggak sadar sana sekali. "Nggak ada apa-apa, kok. Cuma ngantuk doang," elakku. Bodoh kamu, Tabitha. Sekarang matamu pasti sudah memerah, mana ada orang yang matanya merah kalau ngantuk? Melihat pria itu tersenyum sedikit, membuat hatiku lebih perih dari sebelumnya. Senyum itu pasti yang selalu ia berikan pada istrinya. Aku hanya perempuan asing yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannya. Bahkan kurasa, kalau bukan karena kedekatanku dengan Lili, mana mau dia melirikku atau bahkan melamarku walaupun dengan sangat tidak romantisnya. "Saya pulang dulu. Udah ada janji sama Mama tadi," ucapku berbohong. "Nggak makan siang dulu disini? Lagian makanan udah siap dimasak." Aku memberi gelengan kecil padanya, tanda menolak. Untuk saat ini, aku hanya ingin menjauh darinya, untuk sementara waktu. "Saya yang antar." Tangannya terulur, meminta kunci mobil. "Saya pulang sendiri aja. Repot kalau bapak yang antar. Entar Bapak balik pakai apa? Becak?" tanyaku. "Pokoknya saya yang antar," kukuhnya. Disaat seperti ini, aku sedang nggak ingin berdebat. "Udah deh, Pak. Saya pulang sendiri saja. Udah ditungguin Mama juga." Kudenger sebuah geraman, mungkin dia nggak suka kalau aku pulang sendirian. Tapi, apa peduliku? Yang saat ini kuinginkan hanyalah pergi sejauh mugkin darinya. Untuk menenangkan pikiran sesaat. * "Pulang-pulang bukannya kasih salam, malah langsung nyelonong buka kulkas. Nggak cuci tangan lagi itu," tegur Papa yang sedang duduk di ujung meja makan, menikmati masakan Mama. Tumben Papa disini. Mungkin udah balik dari dinas makanya biasa makan siang di rumah. "Maaf, Pa. Habisnya haus," kilahku. "Lho? Udah pulang, Bi? Mama pikir bakal sampai malam kerjaannya," tanya Mama ketika aku masuk ke dapur. "Udah. Kebetulan kerjaannya sedikit aja tadi. Bi ke kamar dulu ya, Ma. Capek banget." "Ya sudah. Istirahat sana," usir Mama yang sibuk dengan masakannya. Kutuang air dingin ke gelasku supaya menghilangkan dahaga dan kedongkolan di hati. Rafa... Rafael Gumilar. Nama itu, kukenal sebulan yang lalu. Dengan segala sikap spontannya, membuat jantungku berdetak dengan cepat. Bahkan untuk menatap matanya saja, kadang aku ragu. Takut tenggelam ke dalam mata itu. Mata tajam yang menghanyutkan. Mata yang akan membawamu seperti mengarungi samudra walau bukan bewarna biru. Pria sejuta pesona yang pasti banyak didatangi oleh wanita-wanita cantik. Sudah berapa wanita yang pernah mengisi ranjangnya untuk berbagi kehangatan? Istrinya terlihat cantik di foto pernikahan mereka. Tampak serasi juga dengannya. Wanita dengan senyum keibuan pasti lebih bisa mengerti dan mendampinginya. Pikiran yang berusaha membuatku menerka, semakin membawaku ke dalam keingintahuan tentang hidup seorang Rafael. * There was a time, when i was alone drrtt... No where to go and no place to call home drrtt... Tertera caller ID dengan nama Mr. Arrogant membuatku malas mengangkatnya. Kubiarkan saja. Pasti itu hanya akal-akalannya untuk menjebakku. Memerintahku dengan ini itu yang sama sekali nggak masuk akal. Sudah 7 missed called darinya dan itu membuat telingaku sakit. Aku baru saja memejamkan mata selama satu jam, tapi iblis itu bahkan sudah mengganggu lagi. Dengan malas, kuangkat telepon darinya. "Halo?" "Kakak Cantik?!" Kudengar suara Talitha di seberang sana. Membuat mataku terbelalak. Ternyata gadis itu yang menelepon. "Ada apa, Sayang?" tanyaku dengan lembut. "Kak, ini Papa mau ngomong." Nah kan. Aku bilang juga apa. Pasti ada maunya. Menjadikan anaknya sebagai umpan. Dasar licik! "Saya sedang menuju ke rumah kamu. Kenapa teleponnya nggak diangkat tadi?" "Ha? Apaan? Bapak seenak jidat aja datang ke rumah saya." Setelah bikin aku patah hati? "Rumah saya lagi nggak menerima tamu. Lebih baik Bapak putar arah tujuan aja, balik ke rumah sana," lanjutku berapi-api. "Kamu belum jawab pertanyaan saya, Tabitha!" "Emang bapak mau ngapain ke rumah saya? Tau alamatnya emang?" "Saya bisa lihat dari CV lamaran kamu. Trus ada yang mau saya omongin sama orang tua kamu. Ya sudah, susah memang ngomong sama gadis yang pikirannya masih kayak bocah." "LEBIH SUSAH LAGI KALAU NGOMONG SAMA OM-OM TUA YANG PIKIRANNYA KOLOT. AU AH, GELAP!" balasku. Ada urusan apa dia sama Mama Papa? Jangan-jangan dia tertarik sama Mama? Bisa dicincang-cincang Papa. Ih, nggak mau, nanti satu spesies cowok ganteng di bumi jadi punah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN