Saat ini, aku sedang duduk di sudut ruangan yang besarnya seperti dua kali kamarku. Maklumlah, ruangan direktur utama. Dalam hati aku memaki, mana ada direktur utama yang mukanya setampan ini tapi kelakuannya persis seperti iblis.
"Kerjaan kamu untuk saat ini seperti asisten pribadi biasanya. Ditambah kamu juga harus antar jemput Talitha ke sekolah." Ya elah, ngomong yang jelas dikit kenapa, sih, Mas? Ngomong kok setengah-setengah?
"Kerjaan asisten pribadi itu bagaimana? Aku 'kan nggak pernah jadi asisten pribadi sebelumnya. Dasar sinting," gumamku dengan suara kecil.
"Saya dengar kamu, Tabitha. Ini kunci rumah saya. Kamu punya akses unlimited untuk masuk ke dalam." Pak Rafa memberikan sebuah kunci. Ya Tuhan, orang kaya memang selalu wow, ya. Kunci aja ada kilau-kilau berliannya. Mungkin sampai 5 tahun aku bekerja disini tanpa makan sama sekali baru bisa punya kunci seperti itu.
"Rumah rumah saya di Jalan Cendrawasih no. 888. Sekarang waktunya kamu jemput Talitha di sekolahnya. Udah ada supir yang nunggu di lobby. Kalau kamu yang nyetir, saya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
Nah, kan? Siapa yang cari masalah? Ngajak berantem, ya, orang ini? Monster tetaplah monster, nggak bakal pernah berubah sampai zaman nenek moyang kamu pakai Iphone 7.
"Bapak kira saya apaan? Saya juga bisa nyetir, kali. Bapak jangan anggap remeh, dong," cibirku. Dasar gendheng.
"Saya bukan nggak percaya sama kamu, Bi. Hanya sedikit meragukan." Aduh, masih ada, ya, manusia semprul begini? Sok kenal sok dekat banget. Pakai panggil 'Bi' segala. Huh.
"Maksud Bapak apa? Ngajak berantem?" Masa bodo lah kalau dibilang kurang ajar sama bos sendiri di hari pertama masuk kerja. Sebelum aku jadi karyawannya saja, mulutnya itu udah minta disumpel pakai koran bekas ikan asin.
"Loh? Kamu mau membantah saya? Berani kamu?" tanyanya sambil melotot. Ampun, Ndoro. Aku nggak bermaksud begitu. Padahal pengen banget aku mutilasi sekarang juga.
"Nggak kok, Pak. Bapak aja yang terlalu sensi kayaknya. Ah, kalau gitu, saya pergi dulu, tapi saya bawa mobil sendiri, ya," ucapku langsung ngacir sebelum mendapat amukan dari manusia semprul itu.
*
Sekarang mobilku sudah terpakir di parkiran sekolah Talitha. Setelah melakukan perdebatan yang alot di telepon tadi, akhirnya aku diizinkan membawa mobil sendiri.
Kenapa juga harus merepotkan orang lain kalau aku bisa mengerjakannya sendiri 'kan?
Beberapa menit lagi bel akan berbunyi. Sambil menunggu, kurapikan dulu anak rambut yang berterbangan kemana-mana. Mungkin ini efek karena terlalu makan hati menghadapi si Monster Tua Bangka itu.
Teng!
Teng!
Bel berbunyi dan itu artinya semua anak lucu akan keluar dari tempatnya. Talitha berlari sambil mencari orang yang menjemputnya. Tentu saja aku langsung keluar dari mobil sambil menenteng tas kerjaku.
"Talitha!" seruku sambil melambaikan tangan kearahnya.
"Kakak Cantik!" Lili segera berlari kearahku. Kusejajarkan tinggiku agar sama dengannya. "Kok Kakak Cantik yang jemput Lili? Biasanya juga si Mbok yang jemput."
Ya diperintah Papa kamu lah, Li, batinku berteriak.
Tapi sebenarnya, aku juga senang bisa menjemputnya. Siapa sih yang nggak gemes sama anak seimut ini?
"Mulai sekarang, aku yang akan jemput kamu. Bukan si Mbok lagi," kataku sambil menggandeng tangannya menuju mobil.
"Mau makan nggak, Li?" tanyaku setelah duduk di balik kemudi.
"Nggak usah deh, Kak. Langsung ke kantor Papa aja, ya."
*
"Papa!" Lili langsung menerjang masuk ke ruangan ayahnya. Sekretaris yang ada di depan ruangan menatapku dengan wajah tegang. Ada apa? Apa ada cabe di gigiku? Atau mungkin rambutku seperti singa yang baru bangun tidur?
Segera aku mengikuti langkah Lili. Asdfghjkl. Netraku membulat, menangkap sosok cantik yang baru berdiri dari kolong meja Rafael Gumilar. Duh, kenapa cowok zaman sekarang nggak ada yang bener, ya? Tapi Rafael Gumilar nggak bisa dibilang cowok lagi karena udah punya buntut. Bahkan panggilan 'om' sudah sangat cocok untuknya.
"Ris, kamu pulang sekarang," perintah Rafa. Bodoh amat lah, manggil yang lebih tua tanpa embel-embel 'pak'.
"Tapi... Kamu anterin aku, ya?" Mungkin itu Amaris yang dibilang Lili lusa lalu. Ternyata begini wujudnya? Cantik sih, tapi terlalu... terbuka.
Iuh, menjijikan. Mungkin mereka berniat syuting film panas untuk salah satu stasiun televisi, ya.
"Kakak Cantik, tadi Papa dan Tante Amaris ngapain? Kenapa Tante Amaris jongkok di bawah meja?" tanya Lili. Aku hanya menggeleng kemudian mengangkat bahu. Nggak terlintas di kepalaku apa jawaban yang harus kuberikan pada Talitha karena aku sendiri juga nggak tau apa yang mereka lakukan dari tadi.
"Amaris, kamu sebaiknya pulang sekarang." Suara Rafael terdengar lebih nge-bass daripada tadi, juga lebih mengintimidasi.
"Oke. Aku pulang." Amaris segera berlalu sesudah mengelus pelan d**a Rafael dan jangan lupakan tatapan merendahkan yang dia layangkan padaku. Demi Tuhan, dimana lagi letak kesalahanku kali ini?
Apa mungkin wanita itu berpikir aku adalah saingannya dalam memenangkan hati pria yang baru ia goda tadi? Oh, pasti bukan itu. Atau jangan-jangan dia pikir kecantikannya dapat kusaingi?
Ngigo, ya, kamu, Bi? Bangun, Tabitha.
"Dex, ke ruangan saya. Sekarang." Suara Rafael mengagetkanku dari pikiranku yang konyol barusan. Belum sampai semenit Rafael memberi perintah dari interkom, sekretarisnya itu sudah masuk ke dalam.
"Ada apa, Pak?" tanya Dexter dengan wajah datarnya.
"Kamu bawa Talitha main dulu ke tempat lain. Saya ada perlu sama Tabitha."
"Pa, Lili mau sama Kakak Cantik." Gadis itu cemberut sambil mempout-kan bibirnya. Bener-bener nge-gemesin.
"Papa ada perlu sebentar sama Kakak Cantikmu, Lili. Nanti kalau udah selesai, kamu boleh masuk kok."
Lili berlalu bersama Dexter. Dan sekarang, suasana di ruangan ini sangat menegangkan. Angin dari pendingin ruangan langsung menerpa tubuhnya, membuatnya sedikit menggigil dan membangkitkan bulu kudukku. Rasanya seperti akan ketemu calon mertua.
"Kamu!" Bentakan tiba-tibanya membuatku terkejut. Dasar gendheng. Bentakannya nyaris membuat jantungku berhenti berdenyut. Oke, itu lebay tapi pada faktanya begitu.
"Saya, Pak?" tunjukku pada diriku sendiri.
"Ya kamu lah. Emang ada orang lain disini selain kamu?!" bentaknya lagi. I wonder, kenapa sekretarisnya bisa tahan bekerja dengan manusia berspesies seperti ini?
"Kenapa dengan saya, Pak?" tanyaku polos.
"Kenapa tadi kamu nggak mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" tanyanya dengan rahang mengeras. Lah, wong sampean yang buat m***m, kenapa jadi aku yang disalahin?
Hayo, tercyduk, ya? ledekku dalam hati kemudian tanpa sadar tertawa terbahak seperti orang yang habis menang lotre.
Teringat dengan manusia yang sedang menatapku dengan tajam di depan, refleks tawaku berhenti. Mampus kamu, Bi.
"Tadi Lili langsung nyelonong masuk. Ya saya nggak punya hak buat ngelarang anak bos buat masuk ke ruangan bapaknya 'kan?" jawabku apa adanya dengan kepala sedikit tertunduk.
"Pokoknya saya nggak mau tau. Kalau sampai kejadian ini terulang lagi, saya akan..."