Pletok!
"Ish, Mama apaan, sih? Kenapa ngejitak kepalaku?" tanya Kak Tati.
"Mulut kamu itu loh. Kayak nggak pernah disekolahin aja. Ngomongnya kok frontal banget," omel mama.
"Tapi 'kan Tati cuma mastiin, Ma." Muka Kak Tati kayak jemuran yang kering kerontang gara-gara kena sinar matahari lebih dari 24 jam.
"KALIAN BISA DIEM NGGAK, SIH?" jeritku. Biarin kalau mau dibilang nggak sopan atau apapun. I don't care at all.
"Duh! Kak, sakit!" protesku setelah lengan atasku ditabok Kak Tati.
"Itu mulut nggak usah pake teriak segala, Tabi. Kakak sumpel pake timun baru tau." Aku diam, males menjawab Kak Tati yang omongannya daritadi nggak berbobot.
"Kalian keluar aja, deh. Bikin aku makin pusing aja," usirku sambil menarik selimut menutupi kepalaku.
"Kamu kenapa, Ta? Tadi kata Kak Tati kamu ke rumah Angga, terus pulangnya langsung begini. Kamu pasti ada masalah, ya, sama Angga?" tanya Mama panjang lebar sambil duduk di sisi kasur.
"Mama nggak praktik hari ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Cerita dulu sama Mama." Tanganku ditarik oleh Mama agar keluar dari selimut.
"Aku nggak apa-apa sama Angga. Cuma baru putus aja. Kalian santai aja, deh. Aku nggak mungkin commit suicide disini. Kalau mau bunuh diri pun, aku nggak mung..."
"KAMU NGOMONG APAAN, SIH, TABI? BENERAN MAU MAMA SUMPEL MULUTNYA?" omel mama. Kak Tati malah ngangguk-ngangguk sambil cekikikan.
"Udah, deh. Mending kalian keluar," usirku sambil mendorong kedua wanita yang paling aku sayang sepanjang hidupku—sejauh ini.
*
Dulu Tabitha kecil bermimpi menjadi seorang arsitek. Tapi apa daya, otakku hanya cukup untuk masuk ke jurusan akuntansi dan sangat bersyukur bisa lulus dengan gelar c*m laude.
Sekarang ini, aku sedang menuju ke perusahaan pertambangan terkenal yang terkenal di kotaku. Hari ini, aku kesana karena perusahaan itu mengirimkan e-mail bahwa aku diterima bekerja.
"Aduh. Maaf, Dek. Kakak nggak sengaja," pekikku panik melihat seorang anak perempuan yang terjatuh di depanku.
"Aku nggak apa-apa kok, Kak." Gadis itu tersenyum sedikit.
"Nama kamu siapa, Cantik?"
"Talitha, Kak. Kalau nama Kakak?" tanya gadis itu setelah menjawab pertanyaanku.
"Oh! Nama kita hampir sama loh. Nama kakak Tabitha!"
"Orang tua kamu dimana, Dek?" tanyaku sambil mengendongnya. Anak ini kira-kira 8 tahun, tapi kenapa ringan banget, ya?
"Papa ada di atas, Kak. Lagi meeting katanya, makanya Lili ke kantin buat beli makanan." Tunjuk gadis itu pada kantin yang berada di dekat parkiran mobil.
Siapa sih ayahnya? Kenapa bisa lalai banget biarin anaknya jalan ke lobi sendiri?
"Loh, Mama kamu dimana emangnya?" tanyaku penasaran.
"Kata Papa, Mama udah pergi ke surga. Mama udah sama Tuhan karena Tuhan lebih sayang sama Mama," celutuk gadis itu.
Aku mengangguk mengerti kemudian mengantarkan gadis kecil itu menuju ruangan ayahnya setelah bertanya pada resepsionis.
*
Di depanku sekarang ada sebuah pintu kayu bewarna hitam yang pasti harganya selangit. Tampak kokoh dan elegan. "Papa!" Lili melepas genggaman tanganku dan berlari kearah papa-nya setelah menerobos pintu itu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
"Itu siapa, Li?" tanya pria yang dipanggil papa oleh Lili.
"Namanya Kak Tabitha. Hampir mirip 'kan sama nama Lili," jawab Lili dengan enteng.
Demi Tuhan, kenapa pria di depanku ini sangat memesona? Rambut hitam yang pasti akan sangat lembut di genggamanku.
Hush! Apaan sih kamu, Tabi? batinku mengingatkan.
Matanya bewarna hitam kelam, hidungnya mancung bak perosotan anak-anak, sedangkan bibirnya tipis dan bewarna merah. Jangan lupakan garis rahang yang tegas dan tulang pipi yang tinggi.
Pria di depanku seakan tercipta memang untuk membuat para kaum hawa terpesona. Overall, nilai untuk ketampanannya adalah 9.5 dari 10.
"Lili, kok kamu bisa ikut orang lain, sih? Nanti kalau ada yang berniat buruk sama kamu gimana? Papa 'kan udah bilang, tunggu di ruangan Papa aja." Nyindir, ya, Bapak ini?
"Maaf, Tuan... Tuan Rafael Gumilar." Kulihat papan nama yang terletak di depan mejanya tertulis nama 'Rafael Gumilar' a.k.a pria setengah waras yang omongannya nggak disaring.
Tapi tunggu, Gumilar? Kenapa nama ini nggak asing, ya? Oh! Aku ingat, itu nama cowok b******k yang udah selingkuh di hari ulang tahunku. Wah, ternyata nama Gumilar cukup banjir, ya.
"Jikalau memang saya berniat buruk, mungkin anak Anda nggak akan saya antar kesini, Bapak Rafael Gumilar yang Terhormat," lanjutku. Nilai 9.5 tadi turun drastis menjadi 4.
"Iya, Pa. Kakak Cantik nggak mungkin jahat sama Lili. Nggak kayak Tante Amaris yang jahat sama Lili."
"Saya harus pergi sekarang. Permisi," pamitku. Maaf saja, aku masih punya etika. Nggak kayak manusia di depanku itu. Yang songong-nya minta ampun.
Tangan mungil itu menarikku untuk nggak beranjak dari tempatku sekrang. Siapa lagi kalau bukan Lili. "Kakak Cantik jangan pergi," pekiknya.
"Nggak bisa, Sayang. Aku masih ada kerjaan. Kakak janji, bakal sering ajak Lili main. Gimana?" tanyaku sambil berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya.
"Janji ya?" Lili mengulurkan secarik kertas dan pen. "Tulis nomor telepon Kakak disini, supaya nanti Lili bisa telepon kalau kangen."
"Ehm..." Tak kupedulikan deheman orang sinting itu dan segera menuliskan 12 digit angka pada kertas yang diberikan oleh Lili. Kulirik jam tanganku, 20 menit lagi aku harus ke ruangan HRD.
"Ini, udah ditulis. Aku pergi dulu, ya, Talitha." Kucium pipi tembem-nya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan CEO sinting yang anaknya super manis itu.
Eh, berarti dia atasanku, dong? Dia 'kan direktur utama disini. Secara, aku kesini untuk diterima jadi pegawai. Mungkin setelah ini, aku harus mempertimbangkan untuk bekerja disini.
Bisa ikutan gila juga aku kalau bekerja jadi bawahan orang setengah waras.
"Maaf, ruangan HRD dimana, ya?" Kutanya sekretaris yang mejanya ada di depan ruangan manusia sinting itu.
"Di lantai 5. Dari lift, Anda bisa langsung belok kanan dan di ruangan ke 3 dari kiri adalah ruangan HRD." Sekretaris itu menjelaskan dengan detail. Jangan membayangkan sekretaris dengan dandanan menor dan high heels merah menyala.
Sekretaris manusia sinting itu adalah seorang laki-laki. Catat, ya, laki-laki. Bagaimana bisa sekretarisnya itu bekerja dengannya? Bukan makan hati lagi mungkin, tapi makan jantung.
*
Tok!
Tok!
"Permisi. Saya Tabitha, yang dikirim e-mail untuk datang kesini 2 hari yang lalu," jelasku pada Pak Andi, manajer HRD. Umurnya kira-kira 40-an dan berperut buncit.
"Oh, Tabitha. Kamu udah boleh kerja hari ini. Sebelumnya jabatan kamu yang awalnya adalah pegawai finance terpaksa harus diganti menjadi personal assistant karena ada kesalahan waktu itu," jelas Pak Andi. Yang benar saja, asisten pribadi?
"Bagaimana? Kamu mau? Gajinya juga lumayan besar untuk ukuran personal assistant."
Hmn... Gaji yang lumayan besar, ya? Baiklah. Biar setelah ini aku bisa membeli branded goods semauku.
"Hmn... Oke, Pak. Saya terima. Tapi saya nggak pernah jadi asisten pribadi sebelumnya. Apa nggak masalah?" tanyaku.
"Nggak masalah. Nanti akan ada sekretaris yang membimbing kamu," jawabnya.
Aku dan Pak Andi masuk ke lift dan pria itu menekan tombol 28. Lantai yang sama saat Lili mengantarkanku ke ruangan papa-nya.
Tenang aja, Tabi. Di lantai 28 bukan hanya ada ruangan manusia sinting itu aja. Pasti ada ruangan lain, batinku berusaha berpositif.
Ya Tuhan, benar 'kan apa yang kupikirkan. Sekarang aku sedang mengekori Pak Andi yang berjalan menuju pintu hitam yang harganya selangit tadi. Ruangan manusia sinting itu.
Kami bahkan baru saja melewati meja sekretaris yang kutanyai tentang ruangan HRD tadi. Demi Tuhan, jangan-jangan.
Tok!
Tok!
Aku tetap mengekori Pak Andi. "Pak, ini personal assistant Anda sudah datang."
Pak Andi menunjuk kearahku. Matilah aku. Baru saja aku memaki manusia sinting itu tadi.
"Kamu rupanya?" tanyanya dengan nada mencemooh.
"Kakak Cantik!" Lili berlari kearahku. Pak Andi menatapku dengan pandangan bertanya-tanya.
"Anda sudah boleh pergi, Pak Andi," usirnya secaraw halus.
Setelah kepergian Pak Andi, Rafael menatapku dengan senyum sinis. "Jadi, mulai hari ini, kamu adalah asisten pribadi saya sekaligus mengurusi Talitha."
Apa beda kacung dengan asisten pribadi?