"Kamu mimpi apa, sih, Sayang, tadi malam? Kok, kayaknya kaget banget pas Mama bangunin."
Diva meringis, kepalanya menggeleng. Sebenarnya dia ingin menceritakan mimpinya, tapi baik Mama maupun Papa pasti tidak akan percaya. Mereka juga tidak akan mau menanggapi, seperti yang sudah-sudah. Apalagi mimpinya tetap saja seperti dulu, tentang seseorang yang memanggilnya 'Be'. Seorang pria tanpa sosok, hanya suaranya saja yang terdengar. Suara yang terasa familiar, tapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya. Orang tuanya akan menganggap mimpinya tidak berarti apa-apa. Mereka selalu mengatakan itu hanyalah bunga tidur saja. Padahal dia yakin mimpinya pasti berhubungan dengan masa lalunya. Seolah kedua orang tuanya menutupi. Tak ingin membuat Mama khawatir, Diva menyunggingkan senyum.
"Nggak apa-apa, kok, Ma. Diva nggak mimpi. Cuman kaget aja pas liat Mama udah ada di samping Diva pagi-pagi."
Mama menatapnya curiga, seakan Mama memiliki antena dengan cakupan sinyal yang tertuju khusus padanya. Diva berusaha untuk tidak memedulikan itu. Perutnya yang lapar sudah berteriak meminta untuk diisi sejak dia bangun tidur tadi. Tadi malam dia melupakan makan malamnya karena terlalu lelah. Memang tidak ada yang dikerjakan fisiknya, semingguan ini dia menjadi seorang pengangguran. Hanya psikisnya yang bekerja ekstra. Berbagai macam bayangan berkelebat di kepalanya yang dia yakin potongan masa lalunya. Gadis kecil yang bermain dengan gembira di ruang tengah. Kemudian dengan cepatnya bayangan gadis kecil itu berubah menjadi seorang gadis remaja dengan seragam SMA swasta.
Semua kilasan bayangan itu membuat kepalanya berdenyut, tetapi Diva menahannya. Dia juga tidak memberitahu Mama karena tak ingin Mama khawatir. Mama memiliki kekhawatiran berlebih bila itu menyangkut dirinya. Rasa pusing dan denyutan kecil masih bisa ditahannya. Kecuali jika sudah terlalu parah seperti mengalami mimisan, dia tidak akan sanggup bertahan. Yang paling buruk jika diteruskan, dia bisa pingsan. Jika denyutan kepalanya semakin menjadi, Diva akan berhenti untuk mengingat. Jika merasa lebih baik, dia akan kembali membuka pikirannya, membiarkan potongan-potongan ingatan itu memasukinya.
"Diva jangan bohong, ya, sama Mama. Mama nggak suka, lho."
Naluri seorang Ibu memang sangat tajam, terutama menyangkut anak-anak mereka, tidak ada yang dapat mengalahkannya. Diva mengakui itu. Dia tak ingin berdebat, tak ingin membuat Mama cemas. Oleh karena itu dia kembali menggeleng.
"Diva nggak bohongin Mama, kok." Diva tersenyum manis. Senyum terbaik yang dimilikinya. Dia harus bisa membuat Mama berhenti curiga dan mencemaskannya. Dia harus terlihat baik-baik saja karena memang begitu kenyataannya. "Tadi malam tidur Diva nyenyak banget sampe lupa nggak makan malam." Dia meringis.
"Makan malam aja sampai lupa. Kamu gimana, sih, Va?" Ronny ikut bertanya. Ia yang sejak tadi hanya diam mengikuti obrolan anak dan istrinya akhirnya ikut bersuara juga. Makan malam merupakan sesuatu yang penting, jika sering melupakannya akan sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh. "Jangan ulangi lagi, ya, Papa nggak suka."
Diva meneguk ludah susah payah. Bahaya jika Papa sudah ikut berbicara. Lebih baik dia menurut saja, daripada nanti mendapat ceramah panjang lebar dari Papa. Diva melakukannya, dia menganggukkan kepala tanpa suara. Pikirannya sibuk berkelana, darimana dia tahu tentang Papa yang biasa bersikap lebih keras dalam menegurnya. Mungkinkah itu juga bagian dari ingatan masa lalunya? Diva menatap Papa sekilas kemudian melanjutkan sarapannya. Masakan Mama selalu enak, sangat cocok di lidahnya. Sudah terlalu lama dia menyantap hidangan barat, sampai hampir lupa kelezatan masakan negaranya sendiri.
Bukan tanpa alasan Ronny menegur putrinya sedikit lebih keras. Sama seperti Ibu, seorang Ayah juga memiliki insting melindungi yang kuat terhadap anak-anaknya. Tak ada seorang pun orang tua di dunia ini yang ingin melihat anaknya sengsara. Itulah sebabnya ia menyetujui usul Della, istrinya, yang melarang Diva untuk pulang ke tanah air. Baik fisik maupun psikis Diva masih sangat lemah, jika dipaksakan untuk mengingat akan berakibat fatal baginya. Ia tak ingin kehilangan putri satu-satunya sehingga membiarkan Diva tinggal dan menetap di negeri Paman Sam. Sampai akhirnya Diva pulang tanpa memberi kabar lebih dulu.
Sekarang, ia harus lebih berhati-hati agar putrinya tidak kenapa-kenapa lagi. Diva harus diawasi dengan ekstra ketat. Ia bahkan memasang kamera pengawas tambahan di dan sekitaran rumahnya. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap Diva membuatnya sangat protektif terhadap Sang Anak. Bahaya itu ada di sini, sangat dekat dengan mereka. Bahaya itu adalah sosok yang bernama Arjuna. Diva tak boleh bertemu dengan pria itu atau putrinya akan kembali.mengalami kejadian seperti dulu. Terlalu banyak wanita di sekeliling Juna, sampai sekarang. Meskipun Juna tidak menanggapi mereka, wanita-wanita itu tetap berbahaya bagi putrinya yang masih belum mengingat semuanya.
Mereka masih berhubungan –dirinya dan Juna, perusahaan mereka bekerja sama. Juna yang menawarkannya, dan sebagai seorang pebisnis tentu saja ia tidak melewatkan peluang emas itu. Bekerjasama dengan perusahaan yang lebih besar adalah impian semua pebisnis, begitu juga dengannya. Menjalin kerjasama dengan Will's Enterprise yang merupakan perusahaan berskala internasional mendongkrak perusahaannya. Mungkin terdengar ia memanfaatkan kelemahan Juna yang sampai sekarang masih terkurung dalam bayang-bayang putrinya, tapi tidak seperti itu yang sebenarnya. Mereka sama-sama diuntungkan dalam kerjasama ini. Kerjasama mereka murni bisnis, tidak ada embel-embel apa pun.
Ronny melirik Diva, tersenyum melihatnya makan dengan lahap. Diva benar, dia kelaparan. Dalam waktu sepuluh menit isi di piringnya sudah habis. Pemandangan seperti ini yang sangat dirindukannya dalam sepuluh tahun terakhir. Selama ini ia selalu hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan keselamatan putrinya. Ada lega saat Diva kembali, di samping rasa khawatir yang juga sama besarnya. Bagaimana jika seandainya Diva bertemu dengan Juna? Apa yang akan terjadi? Apakah seluruh ingatan Diva akan kembali, ataukah Diva akan mengalami hal terburuk dalam hidupnya? Kehilangan nyawa.
Ronny tak ingin itu terjadi. Sudah cukup selama sepuluh tahun mereka tinggal terpisah. Ia tidak akan bisa bertahan lagi jika benar-benar kehilangan putrinya. Diva adalah satu-satunya yang bisa menguatkan mereka, ia dan istrinya. "Makan yang banyak, Nak, kamu perlu tenaga yang lebih biar pas ada yang kamu ingat, kamu bisa kuat."
Diva mengangkat kepala mendengar perkataan Papa. Gerakan tangannya yang ingin menyuap nasi goreng terhenti. Dadanya menghangat, haru menyeruak. Diva tahu, meskipun Papa terlihat keras, tapi Papa sangat menyayanginya. Sendok kembali di letakkan di atas piring, Diva mengusap sudut matanya yang berair. Dia mengangguk sehingga bulir-bulir lain berjatuhan. Kali ini Diva tidak mengusapnya, dia membiarkannya terjatuh di atas meja. Kata-kata Papa merupakan dukungan untuknya mengingat kembali semuanya.
"Iya, Papa!" Sekali lagi Diva mengangguk. Disertai senyum manis terbaiknya.
***
Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe perempuan yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian.
Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tidak, ia akan makan siang hanya ditemani Kevin.
Juna melempar ponselnya begitu saja. Beruntung ponsel itu mendarat di atas sofa sehingga tidak ada yang rusak baik bagian luar ataupun bagian dalamnya. Ia menyeret kakinya menuju kamar mandi. Seharusnya ia berolahraga pagi dulu, tapi pagi ini ia bangun terlambat sehingga langsung mandi. Ia kembali bermimpi tentang Diva dan bayi mereka. Bayi yang bahkan belum sempat ia lihat. Jangankan melihat, mengetahuinya saja setelah Diva sekarat. Kedua tangan Juna mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Dadanya selalu saja terasa sesak bila mengingatnya, meskipun itu kenangan manis mereka. Matanya menghangat, sedetik kemudian bulir-bulir air mata tumpah bersamaan dengan air yang mengucur dari keran shower.
Beberapa detik Juna masih pada posisinya. Kepala tertunduk,.bahu berguncang. Sudah sering ia seperti ini, saking seringnya hingga menjadi sebuah kebiasaan. Setiap pagi di kamar mandi, ia akan menangis. Begitu pun setiap kali ingatan tentang Diva menyeruak masuk. Juna tidak lagi menahan air matanya seperti dulu, ia akan menumpahkannya tanpa merasa malu.
"Be, aku kangen."
Tiga kata itu yang selalu menyertai tangisnya. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Seandainya saja ada teknologi yang bisa membawanya kembali ke masa lalu, ia rela membayar berapa saja asalkan dapat bertemu lagi dengan gadisnya. Tidak ada rasa yang paling menyakitkan selain rasa rindu pada seseorang yang tidak bisa lagi bertemu selamanya.
Lima belas menit di dalam kamar mandi, Juna keluar setelah puas menumpahkan air mata. Mungkin ia seperti seorang wanita yang selalu menangis setiap kali teringat kekasih yang tiada, Juna tidak peduli. Ia merindukan Diva, ingin bertemu dengannya. Rasanya sangat sakit setiap kali bayangannya hadir. Sepuluh tahun bukalah waktu yang sebentar, tapi Juna masih tetap setia dengan sakitnya. Baginya, tak ada yang dapat menggantikan Diva. Kekasihnya abadi di hatinya.
Bunyi ketuk satu kali dari ponselnya memecah lamunan Juna. Mengembalikannya ke dunia nyata yang tak pernah lagi terasa bersahabat dengannya. Juna melangkah malas ke tengah kamar, membungkuk untuk meraih ponsel sekedar memeriksa. Seandainya Tasya yang kembali mengiriminya pesan, ia akan memblokir nomor wanita itu untuk yang kesekian kalinya. Ia sudah memperingatkan Tasya untuk tidak mengganggunya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dasar Tasya keras kepala dan bandel, dia tetap melakukannya. Setiap kali diblokir, Tasya akan menghubunginya dengan nomor yang baru. Ia sendiri tidak bisa mengganti nomor ponselnya begitu saja, semua rekan bisnis dan keluarga dekat mengetahui nomor itu. Nomor ponselnya sangat penting.
Jangan lupa hari ini lu ada janji sama Arsyi
Sepasang alis tebal Juna berkerut. Ia tidak ingat pernah membuat janji dengan Arsyi. Benarkah itu, mereka akan bertemu hari ini? Mungkin saja benar, Kevin tidak pernah berbohong padanya bila itu mengenai pekerjaan. Jika Kevin menghubunginya di nomor ini berarti bukan dia tidak dak berbohong. Juna mengusap wajah kasar, kembali melempar ponselnya ke tempat semula tanpa membalas. Jujur saja, ia sangat lega karena tidak harus bertemu dengan Tasya hari ini. Sungguh, wanita itu sangat mengganggu.
Juna mempercepat mengenakan pakaian. Ia tidak akan sarapan di apartemen hari ini, tidak mau makan sendiri. Kevin pulang ke rumahnya. Ia akan sarapan di kantor saja, makan sambil menyelesaikan pekerjaan bukan ide yang buruk. Apalagi harinya sepertinya akan menyenangkan. Ia akan ikut pulang bersama Arsyi hari ini ke rumah sahabatnya itu, dan menemui Helen dan Roma –putri Helen dan Arsyi. Sudah cukup lama ia tidak bertemu mereka berdua. Kerinduannya akan sosok Diva sedikit berkurang setiap kali ia bertemu Roma.
***
Cuaca ibu kota selalu terik sejak dia kembali. Rasanya seperti terbakar Jika sedikit saja dia berada di bawah paparan sinar matahari. Cuaca ibu kota masih belum mau bersahabat dengannya, mungkin karena dia masih baru sehingga belum bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim. Satu minggu bukan waktu yang lama, Diva yakin dia pasti akan bisa menikmati kehidupannya di ibu kota seperti dulu, saat masa remajanya.
Angin semilir menerbangkan anak rambut Diva yang menjuntai. Dia memilih untuk menghabiskan waktu di balkon kamarnya sore ini, menikmati sinar matahari sore yang tidak sepanas saat siang. Diva menyandarkan punggung pada sandaran kursinya, memejamkan mata, dan menghirupnya napas dalam-dalam.
"Be!"
Cepat Diva membuka mata. Suara itu terdengar sangat dekat dengan telinganya. Astaga! Apakah dia kembali bermimpi, ataukah itu hanya ilusi? Namun, rasanya tak mungkin. Tidak mungkin dia berhalusinasi seseorang memanggilnya. Iya, Diva kini yakin jika 'Be' adalah nama panggilannya. Entah siapa yang memanggilnya demikian dia tidak tahu, atau mungkin masih belum ingat. Nama panggilan itu terdengar sangat familiar, sama seperti suara pria yang selalu didengarnya dalam mimpi setiap tidurnya.
"Be, aku kangen."
Mata Diva menatap liar sekelilingnya, tapi tidak ada siapa-siapa.
"Be!"
Diva menutup telinga menggunankan kedua tangannya. Kepalanya menggeleng kuat beberapa kali. Dia berharap bisa mengusir suara-suara itu yang terus terdengar berulang-ulang.
"Aku sayang kamu, Be. Aku kangen."
Denyutan kecil mulai dirasakan Diva menyerang kepalanya. Tangan yang tadi menutup telinga sekarang berpindah ke kepala. Semakin lama denyutan nyeri semakin menjadi, seiring suara-suara yang terus terdengar. Diva memejamkan mata, sekelilingnya terasa berputar. Cairan hangat terasa mengalir pelan dari hidungnya. Napasnya berpacu.
"Be! Ingat aku, Be!"
Diva mendongak. Dia harus melawan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Dia yakin suara itu merupakan salah satu ingatan penting yang berusaha dilupakan oleh otaknya. Namun, akhirnya dia menyerah. Diva jatuh di atas sofa panjang di balkon kamarnya dalam keadaan hidung mengeluarkan darah, dia kembali mimisan. Samar dia melihat seorang pria menghampirinya, mengusap pipinya, dan berbisik di telinganya.
"Aku sayang kamu, Be. My future wife."
Diva perlahan memejamkan mata. Kesadarannya diambil alih oleh gelap perlahan. Namun, sebelum benar-benar pingsan, bibirnya menyebutkan sebuah nama, tanpa dia sadari.
"Juna."