Bab 5

2082 Kata
Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan kulit wajahnya. Diva meringis, ternyata dia masih belum sekuat yang dia bayangkan. Dia masih saja pingsan setiap kali potongan ingatannya ada yang memasuki kepalanya. Dia masih belum dapat menahan rasa sakit dari penolakan otak depannya terhadap ingatan masa lalunya. Diva menggeleng pelan, menundukkan wajah, dan mulai menyiramkan air ke wajahnya. Dia hanya mencucinya begitu saja, tidak menggunakan sabun pencuci wajah. Dia tidak memerlukannya, yang diinginkannya hanyalah menghilangkan jejak darah yang tertinggal di lubang hidungnya bagian luar. "Be!" Diva tersentak kaget. Kepalanya mendongak, menatap cermin. Mungkin saja ada bayangan yang muncul di cerminnya. Kedengarannya memang sedikit menakutkan, tapi jujur saja dia justru mengharapkannya. Dia sangat ingin tahu wujud pria yang selalu memanggilnya dengan sebutan 'Be' itu. Suaranya terdengar familiar, tak asing, seolah dia sudah sering mendengarnya. Sebagaimana halnya nama panggilan yang selalu keluar dari mulut pria itu. 'Be', bukankah itu terdengar manis? Sekali lagi Diva menggelengkan kepalanya. Kali ini sedikit lebih keras. Dia sekalian mengusir pusing yang tiba-tiba mendera. Pelipisnya terasa berdenyut, pasti karena suara itu muncul lagi. Beberapa hari ini, dia selalu dikejutkan oleh seseorang yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Jika saat dia berada di Amerika, dia hanya mendengarnya saat tidur saja –mimpi, sekarang dia sudah sangat sering mendengarnya. Tidak hanya saat tidur, saat terjaga pun dia masih sering mendengarnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dia takut mendengar suara itu, maka dengan lantang dia akan menjawabnya bahwa dia tak lagi merasakan ketakutan malah sebaliknya. Dia merasa aman bila mendengar suara itu. Rasanya juga nyaman. Kedua perasaan itu yang selalu dirasakannya setiap kali dia mendengar suara di dalam mimpinya yang memanggilnya dengan panggilan kesayangan itu. Eh, panggilan kesayangan? Sepasang alis Diva berkerut. Dari mana dia mendapatkan kesimpulan jika panggilan itu adalah panggilan kesayangan? Ada-ada saja. Diva menggelengkan kepalanya lagi, meringis menyadari dirinya yang terlalu mengada-ada. "Wake up, Va! Kamu bukan anak kecil lagi yang harus percaya pada dongeng sebelum tidur ataupun mikir semua akan indah kayak drama Korea yang selalu ditonton Mama." Diva menggeleng lagi. Kali ini untuk mengembalikan kinerja otaknya seperti sediakala. Diva menegakkan tubuh, mengambil handuk kecil di gantungan yang terletak di bagian kiri wastafel, mengusap wajah menggunakan handuk dengan lembut. Sudah tidak ada lagi jejak darah di sekitar hidung yang tersisa. Denyutan di pelipisnya juga sudah berhenti. Semoga tidak ada lagi kesusahan yang dialaminya hari ini. Dia ingin tenang setidaknya sampai esok hari. Dia berencana untuk melamar pekerjaan. Percayalah, bagi seorang wanita yang tidak terbiasa berdiam diri di rumah sepertinya, yang dilakukannya dua bulan terakhir ini merupakan sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu, jika Papa mengizinkan dia akan bekerja. Tidak jauh-jauh, dia akan memulainya dari perusahaan pria yang mengaku sebagai sepupunya, Arkan Wijaya. Malam ini rencananya jika Papa menyetujui, dia akan mulai mempersiapkan persyaratan yang diperlukan untuk melamar pekerjaan. Meskipun memilih bekerja di perusahaan Arkan, Diva berniat untuk menjalankan semuanya sesuai prosedur. Dia tak ingin mendapatkan semuanya secara cuma-cuma. Sesuatu yang didapatkan dengan cara berjuang pasti akan lebih terasa nikmatnya dan lebih membanggakan. Diva menepuk pipinya beberapa kali agar ada sedikit warna merah. Pipinya tampak pucat di dalam cermin. Dia tak ingin ketahuan jika tadi sempat pingsan. Papa pasti akan melarikannya ke rumah sakit, dan Mama akan menceramahinya dengan rumus pythagoras panjang kali lebar. Dia tak ingin mendengarnya, kepalanya akan semakin pusing mendengar ocehan Mama. Belum lagi dengan serangkaian tes yang akan dijalaninya. Dia sudah bosan dengan semua mesin-mesin yang terdengar berdengung di telinganya, seperti suara sekumpulan lebah yang sedang mencari pasangan saja. "Diva!" Suara Mama! Cepat-cepat Diva menyelesaikan mengeringkan wajahnya. Menepuk-nepuk pipinya beberapa kaki lagi sebelum menyahut seruan Mama. "Iya, Mama. Diva di kamar mandi lagi cuci muka!" Dua menit kemudian Diva keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil menggantung di lehernya. Della menatapnya curiga, matanya memicing menatap putrinya, mencari kekurangan dari tubuh Sang Putri. "Mama kenapa ngeliatin Diva kayak gitu?" tanya Diva was-was. Semoga Mama nggak tau, semoga Mama nggak tau. Kata-kata itu selalu diulanginya berkali-kali di dalam hati. Jangan sampai Mama tahu, dia tak ingin berurusan dengan rumah sakit lagi. "Nggak apa-apa," jawab Della tersenyum. "Mama cuman ngeliatin anak Mama aja." Diva tahu itu cuma alasan Mama. Mungkin Mama curiga dengan wajahnya yang pucat. Diva berdecak, Mama masih saja membohonginya, seolah dia anak kecil saja. "Diva nggak apa-apa, Ma. Muka pucat plus kumal gini cuman gara-gara bangun tidur aja. Tadi Diva tidur siangnya lamaan dikit dari kemaren." Diva menggigit lidahnya. Ini sudah kebohongannya yang kesekian kali pada Mama. Dia terpaksa melakukannya –semua kebohongan itu. Dia tidak ingin Mama khawatir padanya. Satu lagi, dia tak ingin kembali ke Amerika. Sudah cukup selama sepuluh tahun berpisah dari keluarga dan tinggal jauh di negeri orang. Seburuk apa pun negeri sendiri, masih tetap lebih indah dari negeri orang yang makmur sekalipun. Dia ingin berkumpul bersama keluarganya,.ingin ingatannya kembali agar tidak pernah lagi meragukan mereka. Selama ini, meskipun yakin mereka adalah keluarganya, tapi terkadang dia meragukan perkataan mereka. Sampai sekarang dia masih curiga kenapa kedua orang tuanya melarangnya pulang ke tanah air. Alasan mereka tidak masuk akal baginya, seolah ada yang disembunyikan. "Beneran, 'kan? Kamu nggak bohong sama Mama, 'kan?" Akhirnya Della menunjukkan perasaannya. Wajar, jika dia mencurigai setiap tindak-tanduk Diva. Ketakutannya akan kehilangan putri satu-satunya tidak bisa ditoleransi. Diva meringis. Kata pepatah tentang naluri seorang Ibu yang lebih tajam daripada pedang, ternyata benar adanya. Diva semakin yakin jika Mama Della memanglah benar Ibu kandungnya. Bukannya selama ini meragukan Mama, hanya saja terkadang ada kata-kata Mama yang membuat kepercayaannya goyah. "Beneran, Ma, Diva nggak apa-apa, kok." Dia tersenyum, melangkah menghampiri Mama dan memeluknya. "Mama jadi pergi?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Mama mengangguk. "Kamu nggak apa-apa makan malam sendirian, 'kan?" tanyanya menatap Diva yang berdiri tepat di sampingnya, bergelayut di lengannya. Persis seperti yang biasa dia lakukan setiap kali ingin bermanja. "Papa katanya juga pulang telat malam ini." Diva mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Diva udah biasa makan sendirian." Dia tertawa. Makan sendirian merupakan hal yang lumrah baginya. Benar jika dia sudah terbiasa. Sepuluh tahun di negeri orang tanpa ada satu pun keluarga yang tinggal bersamanya membuatnya harus makan sendirian setiap hari. "Diva bisa makan di mana aja, Ma, yang penting makan." Della merasa tidak enak. Dia merasa bersalah karena sudah membiarkan putrinya sendirian selama lebih dari sepuluh tahun. Memang tidak selama itu karena mereka juga mengunjunginya, tapi tidak bisa sering bertemu sama seperti tinggal di negara yang sama, kota yang sama, di satu atap yang sama. "Maafin Mama, ya, Nak." Della mengusap pipi Diva yang terasa dingin di telapak tangannya. "Mama udah ngebiarin kamu tinggal sendirian...." "Nggak apa-apa, Ma." Diva menyandarkan kepala di bahu Mama. Meskipun dia harus menekuk lututnya untuk bisa melakukan itu. Dia lebih tinggi dari Mama. "Yang penting sekarang kita udah ngumpul lagi." Dia melingkarkan tangan merangkul bahu Mama. "Diva senang banget bisa ngumpul bareng lagi." Della memutar tubuh, balas memeluk Diva erat. Dia harus berusaha keras agar air matanya tidak tumpah. Rasa bersalah semakin membuncah di dadanya. Namun, dia melakukan semua itu juga karena Diva. Dia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya. Diva tidak boleh kenapa-kenapa lagi. "Mama jangan nangis, dong. Ntar makeupnya luntur, lho, udah capek-capek dandan." Diva tertawa geli. "Ntar jadi keliatan keriputnya." Dia menyentuh sudut mata Mama, mengusap air yang menggenangi mata Mama, kemudian mengecup pipinya. Mau tak mau Della tersenyum diantara tangisnya. Meskipun amnesia, tapi sifat-sifat dasar Diva masih sama, tak berubah meskipun diantak mengingat siapa-siapa termasuk dirinya. "Kamu tuh, ya, emang paling bisa bikin hati mama jungkir balik. Perasaan tadi Mama nangis, lho, masih sedih-sedih gitu. Sekarang Mama dibikin ketawa." Diva tersenyum lebar. "Pokoknya Diva sayang Mama," bisiknya mencium pipi Mama lagi. "Udah, deh, mending sekarang Mama pergi, ntar telat ditinggalin teman-temannya." "Astaga, mama lupa!" Tawa Diva lepas begitu saja melihat ekspresi Mama saat menepuk dahinya. Sejenak dia lupa pada aa yang sudah terjadi padanya. Dia lupa pada suara seorang pria yang kembali memanggil namanya. *** "Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen." Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya pada Diva. Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva. "Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan diri hanya untuk melupakan bayangan Diva. Sebenarnya, dia merasa kasihan padanya. Sudah sepuluh tahun, dan Juna masih terperangkap dalam kenangan masa lalunya. Lalu, untuk putrinya, Juna terlihat berbeda jika bersama Roma, seolah lebih hidup dan bersemangat. Sosok Juna yang dulu. Oleh sebab itu, dia membiarkan putrinya bermanja-manja dengan om kesayangannya. "Nggak usah manja!" Juna menaikkan sepasang alis tebalnya melihat Helen yang menggerutu. Tingkahnya seperti seseorang yang sedang mengalami masa pms. "Mama kamu kenapa?" tanya Juna berbisik pada Roma. Tak ingin Helen mendengar pertanyaannya yang hanya akan menambah kekesalannya saja. Semakin bertambah usia, sifat Helen semakin mirip dengan Bunda Cana. Galak dan cerewet. Roma yang berada di gendongan Juna mengedikkan bahu. "Nggak tau. Mama marah-marah sejak tadi pagi pas Papa mau kerja," lapornya semakin mengeratkan pelukannya di leher Juna. Juna mengembuskan napas pelan melalui mulut. Langkah kakinya menghampiri Helen yang sedang duduk di salah satu sofa di ruang tamunya. Juna mengempaskan bokongnya pada kursi di sebelah Helen, dengan Roma yang masih berada di gendongannya. Sekarang gadis kecil itu duduk di atas pangkuannya. "Ada masalah lu?" tanya Juna langsung ke intinya tanpa berbelit-belit. Sejak dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah pada dirinya. "Nggak ada!" sahut Helen ketus. Dia melipat tangan di depan d**a dan membuang muka. "Arsyi tadi pergi sama gue, Len. Kita ada pertemuan sama rekan bisnis." "Rekan bisnis cewek?" tanya Helen dengan tatapan menyelidik. Sekarang Juna tahu masalahnya, Helen cemburu. Tawa lepas dari mulutnya, ia tak dapat menahannya lagi. Ternyata, meskipun sudah berumah tangga hampir sepuluh tahun bersama Arsyi, Helen masih saja bersikap seperti anak kecil. "Ya, cowok lah!" sahut Juna setelah tawanya reda. "Sama cewek juga, sekretarisnya." Ia tertawa lagi melihat Helen mengembungkan pipinya. "Sekarang Arsyi-nya mana?" tanya Helen lagi. Dia memanjangkan lehernya, melongok ke arah pintu yang terletak sedikit menjorok ke depan. "Kok. nggak ikut pulang sama kamu?" "Gue pulang duluan, Helen!" Gemas, Juna mengusap wajah cantik berkulit seputih porselen itu. Semakin dewasa Helen terlihat semakin cantik. Tidak akan ada yang percaya jika dia sudah memiliki seorang anak gadis berusia sembilan tahun. "Gue malas lama-lama berduaan sama Kevin, ntar dikira gue nggak normal lagi." Sekarang Helen yang tertawa. Rasa kesalnya pada suaminya langsung menguap begitu saja mendengar perkataan Juna. "Jangan ketawa!" Juna membelalak. "Nggak ada lucu!" "Kata siapa nggak ada yang lucu." Helen tersenyum menggoda. "Lucu banget tau, Juna!" "Awas aja lu ngebayangin yang nggak-nggak!" ancam Juna sengit. "Sama cewek yang punya lubang aja gue nggk tertarik, apalagi sama Kevin yang juga punya pedang." "Juna!" Helen memukul bahunya kuat. "Kamu ngomongnya dijaga, ya. Nggak ingat apa ada anak kecil yang masih duduk di pangkuan?" "Astaga!" Juna menepuk dahinya pelan. Ia lupa jika Roma masih bersama mereka. Gadis kecil itu yang diam saja membuatnya tak menyadari kehadirannya. "Roma nggak denger, 'kan, apa yang om sama Mama obrolin tadi?" tanyanya cemas. Bagaimanapun, ia tak ingin mengotori otak anak sekecil Roma. "Nggak denger, kok, Om." Roma menggeleng polos. Juna tersenyum lega melihatnya. Namun, hanya sedetik. Di detik kemudian ia harus menahan napasnya mendengar pertanyaan gadis kecilnya. "Cewek punya lubang itu apa?" Sialan! Juna meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal melihat pelototan mata sipit Helen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN