Sampai di rumah, Gea langsung ditodong oleh mamanya terkait penerimaan barang-barang mewah yang diantar oleh kurir tadi siang. Semua barang branded yang membuat Mama Regina tercengang. Apakah benar putrinya akan dilamar oleh anak sultan yang pernah Gea katakan.
"Ge, jadi beneran kamu pacaran sama bosmu di kantor?"
Baru juga Gea masuk, mama Regina sudah mengikuti sembari mengajukan tanya.
"Mama ini, anaknya baru datang malah langsung dikasih pertanyaan," jawab Gea masih dengan nada acuh. Langsung menuju dapur, membuka lemari pendingin dan mengambil air putih.
"Jangan minum langsung dari botolnya!" pekik mama Gina, menghentikan kegiatan tangan Gea yang sudah memutar penutup botol air minumnya. Gadis itu nyengir, tanpa merasa bersalah akan kebiasaan buruknya.
"Ambil gelas sana! Heran. Anak perempuan kok nggak ada anggun-anggunnya," gerutu Mama Gina lantaran Gea memang suka keceplosan menenggak langsung air mineral dari botolnya langsung.
Gea membuka rak kabinet, mengambil gelas dan menuang air mineral ke dalamnya. Rasanya lega, dahaga yang sekian menit lalu dirasakannya, hilang sudah tersapu satu gelas air.
Setelahnya, Gea malah bersendawa dengan cukup keras membuat Mama Gina menggeplak lengan putrinya. "Kamu ini. Baru juga mama selesai bicara, ini sudah berulah lagi. Gea ... Gea. Pantesan ngejomlo mulu. Lha, wong tingkahnya absurd gitu."
"Ih, mama. Anak sendiri malah dinistakan. Gimana sih! Lagian ya, Ma. Anak mama yang cantik jelita ini, yang kata mama absurd, nanti malam mau dilamar," ucap Gea tanpa adanya ekspresi yang berlebihan.
Namun, tetap saja reaksi yang Mama Gina berikan cukup berlebihan. Kedua bola mata membulat sempurna disertai dengan pekikan lantaran terkejut mendengarnya. "Apa!" Wanita itu terkekeh sebentar. "Jangan bercanda kamu, Gea!"
"Lah siapa yang bercanda." Gea meninggalkan dapur, menuju ruang tengah yang dijadikan sebagai ruang keluarga sekaligus ruang untuk menonton televisi. Beberapa barang yang tadi dibelikan oleh Gery berjajar di atas sofa bed. Gea duduk di sana yang diikuti oleh mamanya.
"Gea!" teriak Mama Gina karena putrinya malah sibuk membuka paper bag lalu mengeluarkan isinya.
"Kenapa lagi, Ma. Ini bajunya bagus nggak, Ma?" Gea merentangkan dress mahal di hadapan sang mama.
"Jawab dulu pertanyaan mama. Kamu serius mengatakan tadi jika akan dilamar nanti malam?"
Gea kembali memasukkan baju tersebut ke dalam kantongnya. Lalu kepalanya mengangguk. "Iya."
"Astaghfirullah, Gea! Kenapa baru bilang ke mama. Kita tidak ada persiapan apapun. Gea ... Gea." Mama Gina beranjak berdiri, kebingungan sembari mondar mandir tidak tahu dengan apa yang harus dilakukannya.
"Ma! Kenapa mama malah heboh sendiri."
"Ya, kamu ini aneh. Nanti malam mau ada yang lamar tapi kamunya malah bisa santai begitu. Kita butuh persiapan Gea. Setidaknya membereskan rumah biar terlihat rapi dan kinclong. Lalu menyiapkan makanan enak untuk menjamu calon suamimu."
"Yaelah, Ma. Kayak mau didatengi presiden aja. Lagian yang mau dateng itu hanya Pak Gery sama papa dan mamanya. Kita juga nggak perlu menyiapkan apa-apa. Kan mereka nanti yang bawa hantaran ke sini. Mama cukup dandan yang cantik. Untuk makanan nggak usah bingung. Pesan aja sih ke restoran. Nanti kita tinggal hidangkan. Lagian acaranya juga sederhana saja. Hanya lamaran biasa sambil saling kenalan dengan masing-masing keluarga. Itu saja. Jadi ngapain mama harus kebingungan begitu."
"Sesimpel itu pikiran kamu. Tapi kita ini mau kedatangan tamu dengan maksud dan tujuan penting. Sebisa mungkin harus diusahakan menjamu dengan baik agar meniggalkan kesan yang baik pula. Ya, Tuhan! Gea ... Gea. Kamu ini bener-bener ngerjain mama. Kalau Gio tahu kamu mau dilamar, tapi kita tidak ngabarin dia, siap-siap saja kamu diamuk oleh kakakmu. Dikiranya kamu nggak nganggep kalau masih punya kakak lelaki."
"Urusan Kak Gio gampang. Nanti aku telepon. Syukur-syukur dia bisa ke sini ikutan kumpul bareng. Kalau enggak ya cukup mama dan papa aja. Mendingan sekarang mama telpon papa, deh. Minta agar papa pulang sekarang. Sekalian mampir ke resto buat beli makanan. Sama beli buah di lapak yang ada di pinggiran jalan. Yang penting ada yang kita sajikan."
Sengaja Gea juga tidak mau repot-repot untuk menyiapkan ini dan itu. Salah Gery sendiri yang punya rencana melamar dadakan begini.
"Ponsel mama mana? Duh pakai lupa segala di mana nyimpennya."
"Udah, pakai punya aku aja." Gea menyodorkan ponsel ke mamanya. Lalu dia sendiri beranjak dari duduk. Memungut barang-barang yang tadi dibelikan Gery untuk dia bawa ke dalam kamarnya. Ini sudah jam lima. Rencananya Gery dan keluarganya akan datang di pukul tujuh. Masih ada waktu sekitar dua jam untuk dia dan keluarganya siap-siap.
Sementara itu, Gama yang sepulang kerja langsung menuju rumah keluarga Ganesha, dibuat tercengang dengan banyaknya barang-barang yang berjejer di sofa dan meja ruang keluarga.
"Ma, Kak Gery jadi lamaran?" tanya Gama yang melihat sang mama sedang membereskan juga merapikan barang-barang yang akan mereka bawa ke rumah Gea.
"Ya jadilah, Gam. Ini semua buat hantaran yang akan kita bawa ke rumah calonnya Gery."
"Ini semua Kak Gery sendiri yang nyiapin?"
Gwen menganggukkan kepalanya. "Iya. Mama juga heran sejak siang tadi ada kurir yang berdatangan dengan membawa ini semua. Makanan-makanan ini juga Gery yang mengaturnya sendiri. Mama hanya tinggal merapikan siapa tahu saja ada yang kurang. Tapi mama rasa ini semua sudah cukup. Ada buah, kue basah, kue kering, sama ini loh yang bikin mama takjub. Bisa-bisanya kakak kamu yang rada songong itu beli satu set perhiasan untuk simbol lamarannya. Jika seperti ini mama rasa bohong sekali jika Gery tidak cinta sama calonnya yang ini. Mana Mama belum pernah ketemu lagi. Menurut kamu Gea ini orangnya gimana? Kalau dibandingkan dengan Gelia, jauh nggak bedanya?"
"Nanti mama bisa lihat sendiri seperti apa. Orangnya cantik sih tapi lebih sederhana. Cantiknya natural. Enggak seperti Gelia yang full dempulan. Lagipula Gea ini rada-rada tomboi. Jadi mama jangan kaget kalau nanti ketemu. Soalnya Gea ini kalau bicara juga suka asal dan tidak ada jaim-jaimnya."
"Masak sih!"
Gama mengangguk. "Gea kan sahabatnya Gendis. Kami juga sering pergi bareng. Jadi udah kenal lah sifatnya Gea seperti apa. Klop jika berjodoh dengan Kak Gery. Biar Kak Gery juga mengurangi sedikit sifat songongnya jika berhadapan dengan Gea yang bar-barnya begitu."
Gwen mengulum senyuman. "Mama jadi tidak sabar ingin ketemu calon mantu. Eh, by the way Gendis mana? Tidak kamu ajak, Gam?"
"Dianya nggak mau, Ma. Katanya belum resmi jadi keluarga Ganesha. Nggak enak kalau mau ikut dalam acara keluarga kita. Lagian Gendis sekarang mudah capek. Biar saja dia istirahat."
"Ya sudah. Kamu siap-siap sana. Mama juga mau siap-siap. Kita berangkat jam tujuh nanti sembari nunggu papa dan Gery."