Sampai di kantor Ganesha Group, yang pertama dicari oleh Gery adalah Gea. Pria itu memasuki lobi hendak menuju ruang kerja Gea yang selama dia menjabat, belum pernah sekalipun dia datangi.
Akan tetapi, sepertinya keberuntungan memang sedang berpihak kepadanya karena di depan lift khusus karyawan, Gery melihat keberadaan Gea yang sedang menunggu lift terbuka bersama para karyawan yang lainnya.
"Gea!"
Wanita yang dipanggil namanya pun menolehkan kepala. Ada rasa cemas kala Gery dengan langkah lebar menghampiri dia. Belum lagi tatapan penuh tanya dari rekan-rekan di sekelilingnya membuat Gea panik seketika.
"Ayo ikut saya!" Paksaan disertai dengan tangannya yang tiba-tiba ditarik Gery, Gea saja tidak sempat menolak.
"Saya mau dibawa ke mana?" tanyanya panik.
"Jangan banyak tanya. Ikut saja."
Mengikuti langkah lebar kaki Gery yang menuju pintu keluar lobi. Sungguh Gea malu sekali, sampai-sampai dia harus menutupi wajahnya dengan tas kerja yang dia bawa dengan satu tangannya yang bebas dari cekalan tangan pria itu. Gery menolehkan kepala, menatap sinis pada Gea.
"Kamu kenapa menutupi wajah seperti itu? Malu ketahuan jalan sama saya? Seharusnya kamu itu bangga karena seorang CEO seperti saya malah memilih mendekati kamu dan bahkan mau menikahi kamu."
Gea membuat ekspresi seperti ingin muntah. Jika saja situasi dan kondisi yang memungkinkan, Gea pasti sudah mencakar-cakar wajah Gery yang sok kegantengan itu. Siapa juga yang mau menikah dengan pria songong dan sombong seperti itu jika tidak karena dipaksa.
Gery tidak peduli jika beberapa karyawan yang berpapasan menatapnya dengan penuh penasaran. Hingga sampai di mobil yang dia parkir di depan lobi, Gery membuka pintunya dan mendorong Gea masuk ke dalamnya.
Tidak ada lagi penolakan dari Gadis itu. Gery menyunggingkan senyuman, memutari bagian belakang mobilnya sebelum dia ikut bergabung dengan Gea. Duduk di balik kemudi, lalu membawa mobil meninggalkan kantor Ganesha.
"Sebenarnya Pak Gery mau bawa saya ke mana?"
"Jangan berpikir jika saya mau culik kamu."
"Ya kalau caranya bapak seperti ini, wajar dong jika saya berpikir yang bukan-bukan."
"Ck, kamu lupa atau pura-pura lupa. Bukankah kemarin saya sudah katakan padamu jika malam ini keluarga saya akan datang ke rumahmu. Melamar kamu secara resmi untuk menjadi istri saya."
Lagi-lagi Gea harus dikejutkan dengan segala macam tingkah Gery yang menyebalkan. "Pak Gery serius mau lamar saya?"
"Sudah berapa kali saya katakan juga sama kamu jika saya tidak pernah bercanda." Gery menolehkan kepala ke samping. Pada perempuan yang wajahnya tampak memucat. Lucu sekali. Entah apa yang Gea pikirkan, Gery tidak peduli. Niatnya sudah bulat akan menjadikan gadis ini sebagai istrinya. "Saya jadi curiga. Jangan-jangan kamu belum kasih tahu mama dan papa kamu mengenai apa yang saya minta kemarin?" mata Gery memicing menatap pada Gea yang salah tingkah.
Gea menggaruk kepalanya. "Ya maaf. Habisnya saya kira bapak bercanda."
Gery kembali berdecak kesal. Mengabaikan Gea, pria itu mengambil ponsel lalu melakukan panggilan dengan menggunakan handsfree. Tidak lama ketika lawan bicaranya menyapa.
"Selamat pagi, Pak!"
"Pagi. Gavin, reschedule semua jadwalku hingga siang ini."
Gavin mana berani menolak atasannya. Dia pun memilih menjawab. "Iya, Pak. Saya akan atur ulang semua jadwal pertemuan Pak Gery dengan klien."
"Bagus. Satu lagi. Tolong kamu pesankan saya buket bunga, buah-buahan, dan juga pesankan dua puluh box kue untuk hantaran lamaran."
Gea yang duduk di sebelah Gery, membulatkan matanya mendengar semua pembicaraan Gery dengan asistennya. Menelan ludah kasar menyadari bahwa Gery tidak main-main dengan lamarannya.
•••
Pertama yang Gery datangi adalah sebuah butik yang sudah menjadi langganan keluarganya. Gery menghentikan mobilnya di area parkiran.
"Ayo turun!"
Gea seperti orang bodoh yang mengikuti saja ke mana Gery melangkah. Kalau pun dia bertanya, yang ada juga jawaban Gery yang ketus. Jadi Gea memilih menuruti saja dengan apa yang Gery mau. Toh, dia pun juga tak ada keinginan untuk menolak rencana lamaran itu karena Gery sudah jauh melangkah hingga di titik ini.
Di dalam butik, Gery menginstruksikan pada karyawan butik agar mencarikan baju dan semua aksesoris serta perlengkapannya, yang tentunya cocok dan sesuai dengan selera Gea.
Lagi-lagi Gea hanya menurut saja ketika para karyawan butik menyeretnya ke sana dan ke sini.
Baju, tas, sepatu semua sudah Gea dapatkan. Bahkan Gery sama sekali memberikan kebebasan bagi Gea untuk memilih mana yang sesuai seleranya. Tidak ada paksakan meski di awal-awal pastilah terjadi perdebatan.
Setelah beres dengan urusan kostum, Gery membawa Gea menuju toko perhiasan. Lagi-lagi Gea harus dibuat tercengang. Seumur-umur dia tidak pernah membeli perhiasan mahal. Tapi Gery malah menawarkan padanya satu set kalung berlian.
"Kamu pilih saja mana model yang sesuai dengan selera kamu. Asalkan jangan yang kampungan. Bisa-bisa mama akan memarahiku habis-habisan jika membeli barang asal-asalan."
"Pak Gery beneran meminta saya untuk memilih perhiasan mahal ini. Bapak nggak akan nyesel di kemudian hari, kan?"
"Gea! Berapa kali saya harus katakan padamu. Jika acara lamaran ini bukanlah sesuatu yang bisa dibuat bercanda. Saya serius akan melamar bahkan sampai kita menikah. Untuk apa saya harus menyesal membelikan perhiasan mahal. Toh, itu nanti juga akan saya gunakan sebagai simbol lamaran resmi saya untuk kamu."
"Tapi harganya pasti mahal sekali, Pak."
"Duit saya banyak. Jika hanya membeli perhiasan lima ratus juta saja tidak akan membuat saya miskin. Cepat buruan pilih. Jangan malah mengajak saya berdebat hal yang tidak penting begini." Dengan sombong Gery berucap yang malas ditanggapi oleh Gea.
Dan antara senang, takut dan juga khawatir, Gea pun menurut. Mendesah frustasi karena sebentar lagi akan memiliki suami yang tukang paksa begini.
Selesai dengan semua urusan untuk persiapan acara lamaran, Gery membawa Gea makan sebelum mereka balik ke kantor. Bahkan Gea baru saja duduk di salah satu kursi yang ada di dalam restoran mewah ini, ketika ponselnya di dalam tas berdering. Mama Gina yang meneleponnya. Tubuh Gea lemas seketika padahal dia saja belum menjawab telepon itu. Tapi Gea langsung tahu akan apa yang dipertanyakan oleh mamanya itu.
"Halo, Ma!"
"Gea! Kamu di mana? Ini kenapa ada beberapa kurir yang datang ke rumah mengantarkan banyak barang untuk kamu. Kamu habis belanja? Tapi ini banyak sekali Gea. Mana dari butik ternama pasti harganya mahal-mahal. Tumben sekali kamu menghabiskan banyak uang untuk shopping segala macam barang perempuan."
Iya, Gery memang tidak membawa langsung barang belanjaannya, tapi meminta kurir toko untuk langsung mengantarkan ke rumah Gea.
"Ma! Maksud mama apa barang perempuan. Ya kan anak mama ini memang perempuan." Gea kesal sebab mama malah menyindirnya.
"Tapi ini seperti bukan kamu saja. Astaga ini ada high heels juga. Kamu beneran mau memakainya?"
Gea tahu pasti mamanya sedang shock saat ini. Karena selama ini Gea hampir tidak pernah membeli barang-barang mewah apalagi seperti tas branded, high heels, juga dress mahal dari butik terkenal. Barang-barang seperti itu Gea punya jika mamanya yang membelikan. Kalau Gea sendiri akan lebih suka membeli barang-barang di mall dengan harga terjangkau kantong karyawan.
"Ma. Sebaiknya Mama tenang dulu. Nanti aku jelaskan. Tapi tidak sekarang. Nanti setelah sampai kantor aku akan telpon mama lagi. Okey!"
Gea menutup sepihak panggilan itu karena Gery sudah mendelik menatapnya. Namun, ketika akan menyimpan kembali ponsel ke dalam tas, Gea tertarik membuka pesan-pesan yang Gendis kirimkan. Sahabat sekaligus rekan kerjanya itu ternyata khawatir padanya yang belum sampai kantor hingga siang. Ya, Tuhan. Kenapa dia baru tersadar jika belum ijin ke atasan jika datang ke kantor terlambat. Tapi bodoh amat. Dia telat juga karena Gery dan biarlah CEO-nya ini yang akan bertanggung jawab. Gea mengetikkan balasan pesan untuk Gendis agar sahabatnya itu tidak khawatir lagi.
[Aku sedang diculik orang gilaa.]