15. Efek Jera

1065 Kata
Gea baru saja turun ke lantai satu rumahnya pagi ini dan langsung disambut dengan kehebohan mamanya di ruang makan. “Ge, ini nanti bawa ke kantor, ya? Semalam ternyata keluarganya Gery bawa banyak sekali makanan. Kalau dimakan sendiri nggak akan habis. Takutnya malah keburu kadaluwarsa.” Gea memperhatikan satu per sat box makanan yang sudah disiapkan oleh mamanya. “Bagiin ke tetangga saja lah Ma. Nggak usah aku bawa ke kantor.” Bukan tanpa sebab Gea menolak, pasalnya di kantor tidak ada yang tahu tentang dia yang dilamar, kecuali Gendis. Gina menanggapi tidak suka dengan penolakan Gea. “Kamu ini setidaknya berbagi kebahagiaan dengan teman-temanmu. Habis lamaran kok ke kantor nggak bawa sesuatu. Apa kamunya nggak malu?" “Nggak lah. Lagian nggak ada juga yang tahu jika Mas Gery ngelamar aku.” “Masak sih. Memangnya jika di kantor kamu dan Gery enggak pernah berduaan gitu?” “Ya enggak lah, Ma. Kantor itu untuk bekerja bukan untuk berduaan apalagi pacaran. Mau berencana nikah aja sembunyi-sembunyi jangan sampai mereka tahu.” "Lah kok begitu?” “Memangnya mama mau anaknya yang cantik jelita bak bidadari ini diamuk masa karena tahu idola mereka di kantor mau nikahin Gea?” Gina malah tertawa. “Ya ampun, Ge. kamu beruntung banget sih, Pelet kamu manjur juga ya. Gery yang ganteng dan kaya itu sampai ngebet mau nikahin kamu.” “Itulah kuatnya pelet jalur langit mama. Jangan remehkan siapa Gea,” sombong Gea. Gina malah memasukkan boks makanan yang bersi banyak camilan itu ke dalam tas. “Sudah pokoknya ini bawa saja ke kantor. Tetangga sudah ada jatahnya. Malah Tante Gilda juga udah bawa banyak semalam. Mama sungguh beruntung bisa mendapat calon besan yang baik hati dan royal.” “Disogok makanan saja udah kesenangan begitu.” “Ish kamu ini. Harus banyak-banyak bersyukur Gea. Mana semalam Gery juga kasih kamu set berlian. Pasti harganya puluhan juta.” Gea mencomot tempe goreng yang terhidang di atas meja makan. “Bukan hanya puluhan juta, tapi ratusan. Wong aku sendiri yang pilih," ucapnya sembari mengunyah tempe untuk lauk sarapan. “Beneran? Sweet banget sih Gery.” Gea malas menanggapi ocehan mamanya yang terus memuji Gery, dia pun memilih untuk sarapan saja. ••• Tas besar yang kesulitan untuk dia letakkan di motornya, membuat Gea berdecak kesal. Andai tidak karena mama yang memaksa, Gea pasti sudah meninggalkan tas itu di rumah. Malas sekali rasanya. Bukannya Gea pelit, tapi ketika dia membawa banyak makanan, lalu dibagikan pada teman-temannya di kantor, secara otomatis akan menimbulkan banyak pertanyaan yang sudah barang tentu susah untuk Gea jawab. Tin tin! Suara klakson dari luar pagar rumah, menolehkan kepala Gea. Kaca mobil sudah dibuka, menampakkan wajah tampan sepupunya. "Mau berangkat bareng nggak?" tawar pemuda itu. Gea berdecak. Untuk apa juga Gibran memberikan tumpangan jika arah dan tujuan mereka tidak sejalan. Belum juga Gea menjawab, Gibran sudah lebih dulu turun dari dalam mobilnya. Mendekati Gea dengan kernyitan di dahi. "Bawa apaan banyak banget? Itu mana muat sih dibawa pake motor." "Kalau enggak karena mama, aku juga malas bawa-bawa makanan sebanyak ini. Gimana coba bawanya? Ribet banget sih." "Kenapa nggak bawa mobil saja?" "Males nyetir. Mana kalau kena macet bikin ngantuk." "Ya udah. Ayo aku antar." Gea mencebikkan bibirnya. "Kita nggak sejalan." "Ya nggak pa-pa, sih. Aku antar kamu dulu, baru aku ke kantor." "Beneran nggak ngerepotin? Takutnya elu malah telat ke kantor nanti." Gea sungguh tidak enak hati meski Gibran adalah sepupunya sendiri. Dulu sebelum Gibran ke Kairo, dia dekat sekali dengan pria itu. Namun, semenjak Gibran balik ke Indonesia, lalu memutuskan ta'aruf dengan seorang wanita, seolah ada jarak di antara mereka. Senormalnya Gea bersikap, tetap saja rasanya tidak seakrab dulu. "Malah ngelamun. Buruan ayo!" Gea terkesiap. Dia lihat Gibran sudah mengambil tas berisi makanan dan membawanya ke dalam mobil. Mau tidak mau Gea pun mengikuti. ••• Gery sampai di kantor dengan wajah berseri. Dia yang jarang tersenyum, tiba-tiba saja melemparkan senyuman untuk staff bagian front office. Gatra yang sejak awal Gery menjabat sudah terpesona karena ketampanan Gery Ganesha, tentu saja kegirangan luar biasa. Sayangnya kesenangannya lenyap kala mengingat bahwa senyuman Gery itu bisa jadi lantaran akan bertemu dengan wanita pujaan hati yang sudah menunggu di lobi sejak beberapa menit yang lalu. "Pak Gery!" Panggilan Gatra menghentikan langkah kaki Gery. "Ya?" "Bapak sudah ditunggu oleh Nona Gelia." Mata Gery terbelalak. "Gelia?" tanyanya memastikan. Mata Gery mengarah pada telunjuk Gatra di mana tepat di sofa khusus menerima tamu, Gelia sedang duduk di sana dengan menumpukan satu kaki ke kakinya yang lain. Gery mendesah frustasi karena Gelia masih juga mengganggu ketenangan hidupnya. Tidak mau jika sampai Gandhi memergoki mantan kekasihnya itu ada di sini, Gery memilih untuk menghampiri wanita itu. "Gelia!" panggilan Gery yang tidak ada manis-manisnya tapi sanggup melebarkan senyuman Gelia. Wanita yang sedari tadi sibuk dengan ponsel hanya untuk sekedar melepas rasa bosan lantaran menunggu Gery itu pun beranjak berdiri. "Akhirnya kamu datang juga. Sejak tadi aku sudah nungguin kamu, loh!" Padahal jam masuk kantor belum dimulai karena saat ini masih pukul delapan kurang sepuluh menit. Tapi Gelia malah sudah nangkring duluan di sini. Mendului karyawan Ganesha saja. "Siapa juga yang nyuruh kamu nungguin aku. Sana pulang! Aku sibuk tidak bisa diganggu." Gelia tidak menyerah. "Ayolah, Ger. Temani aku sarapan. Kita ngopi sebentar, please!" Pintanya memelas membuat Gery merotasi dua bola matanya jengah. "Aku sibuk. Sebaiknya kamu segera pulang dan jangan bikin onar di kantor ini." Gelia malah tertawa. "Kenapa kamu jadi galak begini?" "Gelia! Aku sudah tidak lagi mau terlibat hal apapun dengan kamu. Jadi sebaiknya segera pergi dari sini." "Kenapa? Kamu sepertinya melindungi Gendis dengan sangat baik. Sampai-sampai kamu tampak khawatir sekali jika aku akan membuat masalah dengannya." "Omonganmu itu sudah ngelantur ke sana ke mari. Jelas saja aku melindungi Gendis. Dia calon adik iparku." "Hah! Apa? Aku nggak denger." Gery semakin geram saja dengan tingkah laku Gelia. Sudah diusir masih saja tetap keras kepala. "Baiklah jika kamu tidak mau pergi dari sini," ucap Gery lalu berjalan meninggalkan Gelia menuju pintu keluar. Menghampiri satpam di sana untuk meminta bantuan. Biar saja jika dia dinilai jahat pada mantan kekasihnya. Tapi Gery betulan sudah tidak mau lagi terlibat hubungan dengan Gelia. Gery merasa illfeel dengan wanita itu karena baru dia tahu jika Gelia adalah tipe-tipe wanita nekat yang rela mempermalukan dirinya sendiri untuk mendapatkan sesuatu. Jadi, Gery rasa tidak masalah juga jika sekarang dia akan menyeret Gelia keluar dari kantor untuk membuat efek jera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN