Selama di kantor dan bertemu dengan Gendis, Gea bisa lupa begitu saja dengan masalahnya yang ditimbulkan oleh Gery. Namun, ketika kembali pulang, bahkan salama dalam perjalanan Gea kembali terngiang-ngiang akan ucapan Gery yang sudah dua kali berkata ingin melamarnya. Yang benar saja. Haruskah dia mengatakan pada mamanya bahwa dia akan dilamar. Iya kalau Gery memang serius dengan itu semua. Jika tidak? Apa mau dia dicincang oleh mama Gina.
Tak mau terus menerus memikirkan Gery yang jujur Gea akui mulai berhasil mengusik ketenangan hidupnya, Gea memilih mengabaikan saja dengan semua sikap dan juga omongan Gery yang dianggapnya jauh dari kata serius. Mana ada orang mau melamar dengan cara paksa dan dadakan. Dipikirnya melamar seorang wanita itu bisa dibuat mainan apalagi jika sampai menikah. Berumah tangga itu untuk seumur hidup, jadi sebisa mungkin sejak awal harus dibuat serius.
Motor yang Gea kendarai mulai memasuki gerbang komplek perumahan yang dia tinggali. Ingatan Gea tertuju pada Gibran yang tadi pagi mengiming-imingi dia durian. Tanpa pikir panjang Gea langsung mengarahkan kendaraan roda duanya ke rumah sepupunya itu. Sebenarnya mereka bukan sepupu dekat, akan tetapi nenek Gea dan Gibran adalah adik kakak. Jadilah mereka berdua bersaudara. Seharusnya lagi tidak ada masalah jika dia dan Gibran menikah. Sayangnya hanya dia sendiri yang menyukai sepupunya itu. Tidak dengan Gibran yang malah sudah mengenalkan calon istri pada keluarga besar mereka.
Ghashia Hiba, perempuan berkerudung lebar yang menjadi pilihan hati Gibran. Mereka berdua sudah memutusakan untuk bertaaruf setelah keduanya sama-sama selesai belajar di Kairo. Gea yang patah hati memilih memendamnya sendirian. Bahkan Gibran saja tidak pernah tahu jika dia menyukai pria itu. Gea kembali dibuat dilema. Demi menuntaskan rasa patah hati, dan juga mengobati luka yang dia buat sendiri, mungkin ada baiknya dia terima saja pernikahan yang Gery tawarkan. Begitu kira-kira sebuah pemikiran sempat terlintas dalam benak Gea. Itupun andai Gery memang serius mau melamarnya. Sebodoh amatlah jika dia dan Gery kelak menikah tanpa rasa saling cinta. Karena masing-masing di antara keduanya sedang membutuhkan pelampiasan untuk mengalihkan kekecewaan.
Motor berhenti di depan rumah dua lantai yang merupakan tempat tinggal Gibran. Sepupunya itu sebenarnya tidak sendiri tinggal di rumah sebesar ini. Tapi juga bersama kedua orangtuanya.
Baru juga Gea melepas helm, lemparan kacang yang mengenai kepalanya, membuat wanita itu mendongak. Pelakunya malah tertawa-tawa melihat kekesalannya. Gibran berdiri di balkon kamarnya hanya dengan celana pendek dan juga kaos singlet. Menampakkan bentuk tubuh berisi yang Gea harus beristighfar karenanya. Gea tidak tahu sedang apa Gibran di sana. Mungkin sedang nyemil sembari bersantai jika mengingat kacang yang tadi Gibran lempar untuknya.
"Buruan buka pintunya!" titah Gea dengan nada menyebalkan seperti biasanya.
Gibran berdecak, "Tunggu sebentar."
Gea harus bersabar sampai pintu depan dibuka. Pasalnya yang Gea tahu, kedua orangtua Gibran sedang tidak di rumah. Oleh sebab itulah kenapa pagi tadi sepupunya itu numpang makan di rumahnya.
Suara handel pintu yang diputar, lalu disertai dengan pintu yang berbuka, Gea begitu saja nyelonong masuk tanpa diminta. Sampai-sampai menabrak sebelah bahu Gibran.
"Salam kek! Ini main nyelonong aja masuk."
"Assalamualaikum. Durennya mana?"
"Di pohon. Ambil sendiri kalau mau makan.".
Gea terima saja tantangan Gibran. Tidak peduli jika yang akan dia panjat adalah pohon duren, bukan pohon jambu.
Gea letakkan begitu saja tasnya di atas sofa. Perempuan itu langsung menuju ke belakang. Menggulung lengan kemejanya dan juga celana bahan yang masih melekat di badan lantaran tadi dia tidak sempat pulang.
Gibran geleng-gelengkan kepalanya melihat sepupunya yang bahkan sama sekali tidak meminta bantuan padanya. Padahal jika Gea memohon, Gibran akan dengan senang hati mengambilkan buah itu untuk sepupunya.
Dengan mata berbinar, Gea mengendus aroma buah durian yang bergelantungan. Memilih mana yang sudah matang. Kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil gunting yang tersimpan di laci meja pantry.
"Ambil sepuasmu, Gea!" sindir Gibran yang melihat Gea melewatinya.
"Tenang saja. Gue bakalan rontokin semua buahnya." Sesuka itu Gea dengan buah berduri dan memiliki harum yang menyengat itu.
Dengan semangat Gea menggunting tangkai buah yang bergelantungan. Tidak puas sampai di sana. Ketika kepalanya mendongak, dia memindai buah yang terlihat matang. Hanya saja tinggi Gea tidak mencapai untuk dapat menggapai buah tersebut. Begitu lincah Gea menaiki pohon yang tidak seberapa tinggi itu. Mengendus-endus buah yang berhasil dia jangkau.
Gibran hanya memperhatikan sembari berdecak, "Masih gesit saja itu bocah!"
Satu, dua, tiga, buah durian sudah berhasil ditaklukkan oleh Gea. Dan ketika mendapat lima buah, Gea rasa sudah cukup karena beberapa buah memang belum matang dengan sempurna.
Melirik sekilas ke arah Gibran yang berada di bawah pohon sedang memperhatikannya, setelah sebelumnya pria itu mengumpulkan hasil jarahannya.
Tiba-tiba Gea teringat Gery. Apa iya dia harus merelakan hidup dan masa depannya pada sosok atasannya yang songong itu. Tapi jika tidak begitu, Gea akan merasa malu jika sampai Gibran tahu bahwa selama ini dia menyukai sepupunya yang tampan itu. Mau ditaruh di mana wajahnya andai Gibran menyadari bahwa dia yang selama ini memilih jomlo lantaran pria itu.
Tidak fokus dalam menuruni pohon durian, kaki Gea terpeleset. Terkejut ketika menyadari dia akan jatuh. Namun, Gibran yang memang berada di bawah pohon, begitu sigap menolong. Menangkap tubuh Gea dengan mempertahankan keseimbangan agar jangan sampai dia ikutan jatuh tertimpa tubuh Gea.
"Aakkk!" teriakan disertai dengan mata yang terpejam.
Yang Gea rasakan bukan tubuhnya yang menghantam tanah, melainkan indera penciuman yang mengendus aroma parfum yang Gibran gunakan.
Harum dan Gea malah sibuk mengendus aroma parfum yang sangat memabukkannya.
Deg
Untuk sesaat keduanya saling diam.
Gibran. Pria itu masih shock karena Gea hampir saja terjatuh tadi. Untung saja dia sigap menangkap. Bahkan perempuan itu masih berada dalam gendongannya. Ada rasa tak biasa yang mencoba Gibran enyahkan dari sudut hati yang terdalam. Gibran berpikir, mungkinkah karena dia tumbuh besar bersama-sama dengan Gea, membuat keduanya memiliki ikatan batin yang entah Gibran tak tahu harus menyebutnya apa. Tapi jujur Gibran akui, bersama Gea, dia tidak pernah merasa sepi. Ada saja kelakuan Gea yang sangat menghiburnya. Bahkan saat dia harus berada di Kairo, hal yang paling Gibran rindukan adalah bersama dengan Gea. Gibran rindu ocehan serta tingkah laku Gea yang bahkan tidak ada jaim-jaimnya sama sekali.
"Sampai kapan kamu mau ngendus-endus ketekku," goda Gibran diakhiri dengan kekehan geli dengan tingkah laku sepupunya ini.