5. Perasaan Yang Gibran Sembunyikan

1066 Kata
"Jangan nyengir-nyengir. Buruan turun!" "Habisnya lo wangi, gue jadi betah nduselin elu." Gibran berdecak. Selain geli akan ulah Gea, jantung Gibran sudah belingsatan tidak karuan. Wajar kan dalam posisi seintim ini jika dia tiba-tiba kepanasan sendiri. Namun, Gibran juga sadar diri jika Gea adalah sepupunya sendiri yang bahkan mereka gede bareng jadi tidak boleh punya rasa yang macem-macem. Gea meloncat turun dari gendongan Gibran. Merasa tidak berdosa sama sekali, malah memungut durian hasil jarahan dan membawanya ke meja makan. "Bran! Bantuin buka." "Bisa panjat pohonnya, masak buka buahnya aja enggak bisa?" "Susah, ih. Ntar tangan gue ketusuk durinya." "Idih, sejak kapan seorang Gea jadi manja." "Sejak ada elu!" Lagi-lagi Gea memberikan ekspresi menyebalkan. Gibran hanya berdecak. Tak ayal dia bantuin juga membuka buah kesukaan sang sepupu. Dengan mata berbinar, Gea mulai mengambil dan menikmati buah musiman itu. Tak peduli jika makannya terlalu lasak sampai belepotan di sekitar bibir dan pipi. Lagi dan lagi Gibran harus disuguhi penampakan Gea yang bahkan tidak ada jaim-jaimnya sama sekali padahal biasanya seorang wanita, image itu yang utama untuk dijaga. Apalagi di depan seorang pria. Gibran jadi penasaran, bagaimana ceritanya bosnya Gea bisa tertarik sama sepupunya ini. Lelaki yang Gibran pernah lihat sekali memiliki wajah yang tampan. Serasi sih sama sepupunya. Gea sebenarnya cantik, tapi agak-agak bar-bar. Dan mungkin justru sikapnya yang apa adanya inilah membuat lelaki jadi tertarik dengan Gea. Sama seperti dia. Eh, Gibran gelagapan sendiri karena malu pada diri sendiri telah mengakui hal jujur meski itu hanya dalam hatinya. Sungguh, Gibran takut andai Gea atau keluarganya tahu bahwa entah sejak kapan dia tertarik pada Gea. Bahkan saat kedua orangtuanya memaksa agar dia menempuh study di Kairo, Gibran berat sekali untuk bisa menerima. Alasannya juga sebab Gea. Pun halnya saat mama dan papa memaksa agar dia melakukan taaruf dengan seorang wanita. Itu semua juga Gibran lakukan tidak dengan ketulusan hatinya. Namun, demi nama baik keluarga, Gibran harus menerima Hiba sebagai calon istrinya. "Elu nggak mau?" tawar Gea sembari menyomot dua biji durian yang baunya begitu menyengat. Gibran sudah eneg hanya dengan mencium bau yang menguar dari pohonnya. Demi Gea, Gibran rela menanam pohon itu beberapa tahun yang lalu. Gibran menggelengkan kepalanya. "Habiskan saja semua." "Yakin nih kagak apa-apa jika gue habisin semua?" Gibran mengangguk. Gea makin kesenangan dibuatnya. Namun, baru habis satu buah yang Gea makan, dan baru akan membuka buah kedua, ponsel yang ada di dalam tas kerjanya berdering. Gea berdecak tidak suka karena kesenangannya harus tertunda. "Siapa sih nelpon," gerutu gadis itu. "Palingan juga Tante Gina nyariin anaknya yang belum pulang di hampir petang." Tebakan Gibran mengingatkan Gea bahwa tadi dari kantor dia langsung ke sini tanpa memberikan kabar pada mamanya. Lekas beranjak berdiri. Menuju wastafel untuk mencuci tangannya yang belepotan. Dering ponsel yang sempat terhenti, kini kembali berbunyi. Buru-buru Gea menyambar tasnya lalu merogoh ke dalam meraih ponsel yang bergetar-getar. Mata Gea membulat mengetahui bahwa bukan sang mama yang menelepon. Tapi Gery wafer Chocolatos. Sebutan baru yang terlintas dalam benak Gea. Decakan disertai dengan tatapan malas Gea, menarik perhatian Gibran. Apalagi ketika Gea malah memilih menjauh darinya saat menerima panggilan telepon tersebut. "Halo, Mas! Ada apa?" Sengaja Gea memanggil dengan sebutan Mas pada Gery sebagai lawan bicaranya agar atasannya itu tidak mencari ribut terus dengannya. "Tumben panggil Mas. Biasanya bapak," jawab Gery menyulut api emosi. "Astagfirullah. Tidak usah telepon jika hanya ngajakin ribut." "Di mana?" "Rumah lah." "Pantes saya cari di kantor sudah nggak ada." "Ya iyalah. Ini kan sudah jamnya pulang kerja. Ngapain cari saya di kantor." "Saya pikir kamu karyawan teladan yang suka lembur setiap hari." Gea memutar bola matanya jengah. Untuk apa lembur jika kerjaannya saja sudah beres semua. "Buruan katakan ada apa? Saya sibuk mau mandi," bohong Gea karena malas harus bicara ngalor ngidul tidak jelas begitu. "Mumpung kamu di rumah, jangan lupa kasih tahu papa dan mama kamu jika besok malam, saya sekeluarga akan datang melamar." "Apa?!" "Saya serius, Gea! Awas saja jika kamu berani kabur dari saya." "Tapi ...." tut ... tut ..... Belum selesai Gea membantah, panggilan telepon diputus sepihak oleh Gery. Gea yang kesal menghentakkan kaki. Berbalik badan dan kembali ke ruang makan di mana masih ada Gibran di sana yang bahkan sudah membuka buah kedua untuknya. Tanpa menolehkan kepala, Gibran bertanya. "Siapa? Bosmu kekasihmu?" Gea mencibir, mendudukkan kasar tubuhnya pada kursi makan. "Dih, mirip judul n****+ nggak sih!" Gibran hanya tersenyum. "Ya kan kata kamu begitu. Mas bos calon suami." Ya, sengaja Gibran menyindir karena dia mendengar samar Gea memanggil Mas pada si penelpon tadi. Ada rasa cemburu yang berusaha Gibran sembunyikan. "Dia mau lamar gue besok malam," ucap Gea sengaja memancing reaksi Gibran Uhuk! Gibran terbatuk air liurnya sendiri. Sungguh terkejut mendengarnya. "Kaget, kan?" tebak Gea. Gibran menganggukkan kepala. "Kenapa dadakan lamarannya? Tante tau?" Kepala Gea menggeleng. "Belum gue kasih tau. Nanti saja lah habis pulang dari sini gue bicara sama mama." Suasana hening untuk sesaat. Gibran memperhatikan Gea sejenak. "Ge!" Wanita yang masih sibuk dengan duriannya, hanya bergumam menjawab tanpa repot-repot melihat wajah Gibran. "Hem." "Kamu serius mau nikah?" "Ya gimana. Udah segini juga usia. Lagian elu juga mau nikah kan sama kekasih lu yang kapan hari jadi ta'arufan." Gibran mengembuskan napas kasar. Tidak tahu apakah dia harus bahagia melihat Gea pada akhirnya nikah juga. Diamnya Gibran, Gea jadi penasaran. Wanita itu mendongak melihat Gibran yang diam sembari menundukkan kepalanya. "Lu kenapa sih!" Gibran mengangkat kepalanya. Saling pandang dengan Gea. Ada rasa tidak rela ketika wanita yang selama ini selalu ada di dalam hatinya sudah menemukan sosok pria lain yang akan menggantikannya. "Nggak apa-apa. Sedih aja sih kenapa kita cepet banget dewasanya. Jadi nggak bisa sama-sama lagi kayak dulu kala. Kamu juga bakalan bersama lelaki yang akan nikahin kamu." "Jangan sedih gitu. Elu juga bakalan nikah sama wanita baik, Sholehah, pilihan hati elu. Meski kita nanti sama-sama nikah, tapi kita tetep sodaraan." Gibran tersenyum masam. "Ge!" "Apalagi?" "Eum ... apa kamu mencintai calon suami kamu?" Oh My God. Pertanyaan macam apa itu. Gea meringis, harus menjawab apa. Apa iya dia jujur saja kalau nikahnya atas dasar karena terpaksa. Tapi dia pasti akan malu. Lebih baik tidak perlu terlalu jujur pada Gibran jika itu demi kebaikan hatinya. "Ya cinta lah. Kalau nggak cinta mana mungkin gue sama dia mau nikah." Gibran tersenyum getir. "Aku ikut bahagia mendengarnya." "Elu kenapa sih kayak yang sedih gitu?" Kepala Gibran menggeleng. "Nggak papa. Kapan kamu lamaran? Kalau butuh bantuan, kasih tahu aja. Aku siap kamu repoti kapan pun juga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN