Kelakuan Buruk Ernest

1027 Kata
Sebuah tamparan mendarat di pipi Ernest hingga pipinya memerah karena tamparan yang Axel berikan ditambah rasa malu karena Axel melakukan di tengah rapat dewan komisaris perusahaannya. "Papa berikan jabatan ini padamu bukan untuk kamu pakai semena-mena, Ernest!" Ruangan rapat itu menggema suara bariton Axel. Tidak ada yang berani bersuara di kala singa sedang mengaum, murka. Karena kelakuan anaknya sendiri. Pagi ini rapat bulanan perusahaan milik Axel yang di pimpin oleh Ernest, sebagai seorang pimpinan seharusnya dia memberi contoh yang baik dengan datang lebih pagi terlebih ada rapat yang sudah terjadwal sejah jauh-jauh hari. Tapi hari ini pria itu bangun kesiangan karena aktifitasnya bersama sang selingkuhan. Ernest datang di kala rapat komisaris sudah selesai karena Axel yang memimpin rapat itu menggantikan putranya yang sudah diberi tanggung jawab. Axel meminta maaf pada semua komisaris dan membubarkan rapat itu karena memang sudah selesai. Tinggalah dia berdua saja dengan sang putra. "Papa tidak menyangka punya anak sepertimu, Ernest!" "Perusahaan yang kamu pimpin berantakan, bahkan rumah tangga yang kamu nahkodai pun hancur." Ernest tersentak, tidak menyangka ternyata papanya tahu semuanya. "Apa papa bertemu Rhea? Rhea dimana, Pa?" selidik Ernest. "Suami macam apa kamu tidak tahu keberadaan istri kamu sendiri!" bentak Axel. "Dengar papa, Ernest. Papa mendukung Rhea pisah dari kamu. Dan mulai hari ini kamu bukan lagi CEO di perusahaan ini." "Ta-tapi, Pa. Aku kan putra papa." "Kamu akan papa coret dari alih waris, silahkan pimpin perusahaan kamu sendiri." Axel langsung meninggalkan ruang rapat itu, Ernest terpaku. Brakkk! Pria itu memukul meja rapat sekuat tenaganya karena dia kesal dengan keputusan sang papa, terlebih Axel mendukung Rhea. Ernest tidak habis pikir padahal dia yang anak kandung Axel tapi kenapa Rhea yang di bela oleh papanya. *** Di sebuah rumah sakit besar yang ada di tengah Ibu Kota Rhea sedang menangani pasien yang sedang konsultasi tentang penyakitnya. Sebagai seorang dokter dia harus mendengarkan keluhan pasiennya karena dari sana dia bisa menganalisa dan memberikan pengobatan yang tepat setelah pemeriksaan tentunya. "Bu, Penyakit Kanker bukan akhir dari segalanya, bisa operasi dan kemoterapi untuk mematikan semua sel Kanker yang ada di ovarium Ibu sekarang. Gak usah takut. Malah justru Ibu harus semangat." Dengan sabar Rhea memberikan penjelasan pada pasiennya yang baru saja terdiagnosa Kanker Ovarium stadium tiga. Ibu itu sudah menangis sejak awal Rhea membacakan hasil pemeriksaannya. "Suami Ibu kemana? Karena kami butuh tandatangan Bapak untuk persetujuan tindakan operasi," tanya Rhea. "Suami saya sudah pergi, dok. Dia pergi meninggalkan saya yang tidak bisa memberinya keturunan dan menikah lagi dengan wanita lain," jawab pasien itu. Bukan hanya keluhan soal medis yang Rhea harus dengar tapi keluhan hidup pasiennya pun harus dia dengar juga. Kehidupan rumah tangga Rhea saja saat ini sedang di ujung tanduk tapi dia harus menghadapi banyak keluhan pasien yang beraneka ragam cerita. "Sabar ya, Bu. Kalau begitu apa ada sanak saudara?" "Saya sebatang kara, dok." "Ya sudah kalau begitu, kalau boleh biar saya yang tanda tangan." ucap Rhea. "Tapi, dok." Suster pendamping Rhea mencoba mencegah Rhea. Tapi wanita itu memberi kode pada sang Suster agar tidak mempermasalahkan hal itu. Rhea tahu pasiennya kurang mampu dan sebatang kara maka itu dia siap membantu sampai pasiennya dapat tindakan yang terbaik dan sembuh. Ditengah sedang memeriksa pasiennya, suster pendamping Rhea berbisik. "Di luar ada suami Dokter," bisiknya. "Minta dia tunggu di ruangan saya, Sus." balas Rhea pelan. Suster Ira mengangguk paham. Kemudian dia keluar. *** "Kenapa lama? Kamu sengaja membiarkan aku menunggu kamu berjam-jam di sini?" ucap Ernest saat Rhea masuk kedalam ruang kerjanya. "Pasien-pasien aku lebih penting, mereka membutuhkan aku," sindir Rhea. Ernest menghela napas panjang. "Kamu kelewatan, Rhe! Lebih penting pasien dari pada suami sendiri? HEBAT!" "Kalau ke sini hanya untuk marah, kamu salah tempat, Mas." Rhea kembali hendak pergi meninggalkan ruangannya. "Rhe, tunggu." Kaki Rhea terhenti di ambang pintu dan berbalik menghadap Ernest. "Apa lagi, Mas?" Tanyanya. "Aku mau minta maaf sama kamu atas semua yang aku lakukan, bisa kah kita seperti dulu lagi? Aku janji akan setia," pinta Ernest dengan janji manisnya. Seenak jidatnya dia meminta Rhea kembali padanya dan dengan gampangnya dia ngomong akan setia. Rhea tidak sebodoh itu. "Aku juga mau minta maaf, Mas. Keputusan aku sudah bulat, kita cerai!" "Ta-tapi, Rhe. Aku masih cinta sama kamu." Rhea menggeleng dengan tawa kecil, menertawakan ucapan Ernest yang katanya dia masih cinta sama Rhea tapi terus selingkuh di belakang sang istri. Itu kah namanya cinta? "Sampai bertemu di pengadilan." Rhea melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Ernest melampias kekesalannya dengan memukul sofa yang ada didekatnya. *** "Dokter Rhea, Anda di butuhkan di ruang operasi. Dokter Charles meminta Anda mendampinginya di sana," ucap salah satu seorang suster yang datang mengejar Rhea. Rhea memutar bola matanya malas, baru saja dia ingin pulang dan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Tapi rasanya hal itu mustahil. Kalau saja tidak terikat dengan sumpah dokternya dia akan masa bodoh, pulang dan tidur nyenyak. Tapi dia harus menyampingkan kehidupan pribadinya dan mengutamakan keselamatan pasiennya. "Bilang sama beliau kalau saya akan ke sana, saya bersiap dulu," sahut Rhea. Suster itu tersenyum lega dan pergi meninggalkan Rhea untuk melapor pada dokter senior yang sedang di dalam ruang operasi. *** Rhea bersiap dengan pakaian khusus operasi berwarna hijau dan kini dia sudah steril. Dokter cantik itu masuk dengan mengangkat kedua tangannya di depan dadanya karena dirinya sudah steril. Charles menoleh dan tersenyum saat Rhea datang, dia kira wanita itu akan menolak permintaannya. "Apakah Anda tidak bisa melakukan ini tanpa saya, dokter senior?" sindir Rhea pada teman sejawatnya yang sudah dia anggap seperti abangnya sendiri. Charles terkekeh mendengar gurauan adik kelasnya semasa kuliah kedokteran dulu yang kini menjadi teman sejawatnya. "Gak ada loe gak ramai, Rhe," jawab Charles asal. "Loe mau pesta atau operasi," cibir Rhea lagi. Charles mengulum senyumnya, dia tahu saat ini wanita itu sedang lelah karena sudah seharian praktek tapi malam ini dia harus menggantikan teman sejawatnya yang mendadak tidak bisa hadir karena sedang berduka. "Bisa kita mulai operasinya?" tanya Charles, pria itu memperhatikan sekelilingnya. Kepala dokter muda, suster yang ada di sana mengangguk memberi tanda kalau semua siap. "Rhe?" Charles mendekatkan wajahnya menatap Rhea yang sedari tadi menunduk. "Apa ada pilihan lain?" tanya Rhea setelah dia mendongak. Wanita itu baru saja menyelesaikan doa-nya. Kebiasaan yang selalu dia lakukan sebelum melakukan tindakan operasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN