Sore yang cerah. Cuaca pun juga mendukung untuk beraktifitas di luar rumah. Meme, gadis kecil berusia tiga tahun yang sudah fasih berbicara mengajakku pergi keluar untuk bermain di taman yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Setelah meminta izin pada Bu Cindy karena aku ingin membawa Meme pergi keluar, aku dengan menggendong Meme menuju taman yang tak seberapa jauh lokasinya. Hanya perlu berjalan kaki dan kami berdua pun sampai. Banyak anak-anak kecil yang berada di taman ini. Selain sebagai taman bermain anak, tempat ini juga digunakan sebagai tempat olah raga seperti jogging misalnya.
Tempat ini sangat nyaman sekali. Dengan menunggu Meme yang sedang bermain aku memilih duduk di salah satu bangku panjang tak jauh dari trotoar, tempat para pejalan kaki berlalu lalang. Dengan tetap mengawasi Meme yang sedang berlarian ke sana kemari yang kadang membuatku tertawa melihat tingkah lucunya. Selalu menghiburku setiap hari. Membuatku betah saja bekerja di sini. Sedih karena tak lama lagi aku harus berpisah dari Meme. Namun, tak ada lagi yang bisa aku perbuat. Bagiku, doa restu bapak adalah yang utama. Jika bapak tetap merasa khawatir maka hatiku pun tidak akan tenang. Berdoa dalam hati semoga ketika aku tak lagi dapat bekerja di sini, Meme akan mendapat pengasuh penggantiku yang baik dan juga sayang pada Meme.
"Meme!"
Panggilan yang ditujukan untuk Meme membuatku refleks menoleh ke belakang. Pun demikian dengan balita itu yang langsung memperlihatkan binar bahagia sembari berteriak, "Uncle!"
Tangan mungil milik Meme bahkan sudah melambai-lambai yang artinya meminta pada seseorang yang ada di sana agar mendekat.
Netraku masih terfokus pada seorang pria yang menyunggingkan sebuah senyuman. Bukan untukku melainkan untuk Meme. Namun, ketika pria itu menyadari keberadaanku, senyumnya sedikit memudar berganti dengan anggukan kepala sebagai sapaan yang ditujukan untukku. Tidak mungkin jika aku tak membalas karena akan terkesan tidak sopan. Jadi, aku pun tersenyum juga dengan menganggukkan kepala.
Siapa sangka jika pria yang merupakan atasan Mister Sam itu justru berjalan mendekat. Dan lihatlah bagaimana Meme yang berjingkrak kegirangan karena Tuan Bumi menghampirinya. Berjongkok demi bisa mensejajarkan diri dengan tubuh kecil Meme.
"Hai sayang ... sedang apa di sini?"
Aku memperhatikan juga mendengarkan saja dengan apa yang mereka obrolkan hingga ketika Tuan Bumi yang kemudian menggendong tubuh kecil Meme. Aku beranjak berdiri sementara Tuan Bumi mendekatiku dengan Meme berada dalam gendongan.
"Ayo, aku antar kalian pulang. Kebetulan aku ingin bertemu dengan Sam," ucapnya.
Lagi-lagi aku menganggukkan kepala dan menjawab, "Baik, Tuan."
"Biarkan Meme aku yang menggendong." Tuan Bumi berucap demikian karena tahu aku yang mengulurkan tangan ingin meminta Meme agar aku gendong saja.
Mana berani aku membantah meski seharusnya tidak boleh membiarkan Meme berada dalam gendongan orang seperti Tuan Bumi. Bagaimana nanti jika Bu Cindy atau Mister Sam tahu aku membiarkan atasannya menggendong Meme seperti itu. Namun, melihat betapa Meme yang terlihat nyaman berada di dalam gendongan Tuan Bumi. Bahkan kedua lengan mungil itu sudah melingkar begitu saja di leher pria berkarisma yang membuat jantung ini mendadak kencang detakannya. Oh, Tuhan. Mimpi apa aku semalam bisa berjalan bersisihan dengan pria tampan juga mempesona seperti Tuan Bumi ini. Aku tidak tahu berapa usia pria yang sedang bersamaku ini. Yang jelas beliau bukan lagi pria muda seusia Mister Sam. Dari gestur tubuhnya juga nada bicaranya sangat berkharisma sekali.
Kami berjalan dalam diam, tak ada yang dibicarakan karena aku sendiri juga tidak berani bersuara. Terlebih Meme sepertinya mulai memejamkan mata, tertidur dalam gendongan Tuan Bumi. Senyaman itukah bahu Tuan Bumi untuk bersandar sampai-sampai membuat Meme lelap dalam dekapannya. Membayangkan andai suatu saat nanti aku menemukan pria yang tepat untuk aku jadikan suami, apakah pria itu juga memiliki dadaa bidang seperti milik Tuan Bumi sehingga aku juga anak-anakku kelak menemukan sebuah kenyamanan berada dalam pelukannya. Kugelengkan kepala segera demi mengingat betapa aku sudah gilaa karena berandai-andai sedemikian rupa.
Tiba-tiba saja Tuan Bumi berhenti melangkah. Aku mengernyit mendongak menatap dari samping. Langkahku ikut terhenti juga. Kuperhatikan sekali lagi dengan apa yang sedang Tuan Bumi lihat. Tubuh pria itu menegang dengan tatapan lurus ke depan. Ada seorang wanita cantik yang juga sama-sama saling tatap dengan Tuan Bumi. Dalam hati aku bertanya, siapa gerangan wanita itu. Apakah Tuan Bumi mengenalnya. Kenapa mereka saling diam dan hanya saling pandang. Aku yang kebingungan, memperhatikan keduanya bergantian. Masih bingung tapi karena penasaran aku tetap saja memperhatikan dari Tuan Bumi lalu beralih pada wanita itu.
"Clara," ucap Tuan Bumi lirih.
"Mas Bumi." Wanita itu pun menggumamkan nama pria ini.
Pandangan mata Tuan Bumi tak lepas menatap wanita yang dia sebut bernama Clara. Ada sinar kerinduan di mata beliau. Entahlah kenapa aku bisa berpikir demikian.
"Apa kabar, Mas." tanya Clara.
"Aku baik. Kamu sendiri?"
Wanita itu tersenyum. "Aku juga baik, Mas. Apa kabar Danu?"
"Danu? Dia juga baik. Ada di London sekarang."
"Kuliah di sanakah dia?"
Aku memperhatikan interaksi keduanya pun demikian kulihat Tuan Bumi mengangguk menjawab apa yang wanita itu tanyakan. Sampai di sini aku masih belum mengerti dengan hubungan apa yang mereka miliki. Namun, aku masih berusaha menajamkan pendengaran demi bisa mengetahui sebuah kebenaran. Kepalang tanggung juga jika aku pergi dari sini. Lagipula tidak etis jika aku menyela pembicaraan keduanya hanya untuk berpamitan. Dan melihat Meme yang tertidur pulas juga tidak mungkin membuatku meninggalkannya bersama Tuan Bumi saja.
Hening sejenak. Kecanggungan melanda keduanya baru setelahnya Tuan Bumi kembali mengajukan sebuah pertanyaan.
"Sedang apa kau di sini Clara?"
"Aku ... Aku menemani suamiku, Mas. Eum ... kebetulan sedang ada tugas di sini." Wanita itu menjawab lalu tersenyum kecil. Sekilas pandangannya terarah kepadaku. Tentu aku sedikit gelagapan karena rupanya wanita bernama Clara baru menyadari keberadaanku.
"Mas Bumi sendiri sedang apa di sini?"
"Aku ada proyek."
"Oh ...." Dengan kepala manggut-manggut lalu membuka mulutnya sebelum mengatupkannya kembali. Seolah ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Apalagi sekarang wanita itu juga memperhatikan Meme yang berada dalam gendongan Tuan Bumi.
"Dia siapa, Mas. Anak Mas Bumi, kah?"
"Menurutmu?" jawab Tuan Bumi menaikkan sebelah alisnya.
Clara tersenyum. "Kuharap memang begitu, Mas. Eum ... Mas Bumi tidak ingin mengenalkanku pada istri Mas?" Wanita itu melirik padaku. Aku sendiri terkejut. Kenapa bisa wanita secantik itu bisa menganggap jika aku ini istri Tuan Bumi. Yang benar saja. Bahkan dengan mata telanjangg pun sangat kentara perbedaan diantara kami. Lebih pantas jika aku ini disebut dan dikira babysitter karena memang kenyataannya begitu.
"Kenalkan, dia Alisha." Tuan Bumi menoleh sekilas padaku dan aku tidak dapat memahami apa arti dari tatapannya itu. Bersyukur karena Tuan Bumi tidak mengenalkanku sebagai istrinya. Hanya saja, beliau tidak menyanggah apa yang wanita bernama Clara itu sangka tentangku.
"Sha ... kenalkan, dialah Clara. Mantan istriku. Dia mamanya Danu."
Jeder!
Wow! Aku terkejut mendengarnya. Jadi ... wanita cantik ini mantan istri Tuan Bumi. Aku mencoba menormalkan ekspresi wajahku dengan memberikan senyuman yang terbaik.
Bu Clara ... yah, begitu sebaiknya aku menyebut agar terkesan lebih sopan karena tadi sempat mengira jika wanita itu adalah teman atau mungkin saja rekan bisnis. Siapa sangka jika ternyata adalah mantan istri Tuan Bumi.
"Senang dapat berkenalan denganmu, Alisha." Bu Clara berucap sembari mengulurkan tangan berkenalan.
Aku pun menyambutnya tanpa berani meluruskan akan prasangka yang tidak benar tentangku.
"Anakmu cantik, Mas. Pasti Danu senang sekali mendapat adik perempuan yang cantik dan lucu."
"Sudah pasti Danu senang. Dia sangat menyayangi adiknya," ucap Tuan Bumi yang lagi-lagi membuatku berpikir. Beberapa kali menyebut nama Danu. Ah iya, tadi beliau sempat mengatakan jika Bu Clara adalah mamanya Danu. Berarti Danu adalah anak mereka.
Kenapa juga aku harus terlibat hal rumit diantara mantan pasangan suami istri ini. Benar-benar situasi yang tidak tepat akan keberadaanku di sini saat ini.
"Salam untuk Danu, Mas. Eum ... aku harus pergi. Senang bertemu denganmu lagi Mas Bumi ... Alisha."
Setelah Bu Clara meninggalkan kami, suasana menjadi canggung. Ditambah Meme yang ternyata masih lelap tertidur di gendongan Tuan Bumi.
"Sebaiknya kita bawa meme pulang. Dia tertidur."
"Biar saya saja yang menggendongnya, Tuan."
"Biarkan saja dia tidur. Aku akan menggendongnya."
Pria itu kembali berjalan masih dengan menggendong Meme. Dan aku mengikutinya dari belakang tanpa berani banyak bertanya akan apa yang baru saja terjadi, termasuk di dalamnya mengenai kesalahpahaman mantan istri Tuan Bumi yang mengira aku adalah istrinya.