Hari yang tak dinantipun tiba, sebagian pasangan dibelahan bumi manapun, semuanya menanti hari ini, tapi tidak untuk keduanya. Abhygael memasang wajah geramnya tatkala diminta segera ke Rumah Sakit karena akad nikah akan segera dilangsungkan.
Perias pengantin wanita dibuat kerepotan dengan penolakan Leona saat hendak merias wajahnya. "Aku akan dandan sendiri, tolong tinggalkan aku."
Kini Leona sendirian di dalam kamar, dengan telaten dia merias wajahnya dengan makeup cokelat seperti biasa, tak lupa totol hitam kecil di seluruh wajah. Sekali lagi dia mentap riasannya dengan cermat di cermin, dari pantulan cermin jika ditatap dengan lekat maka gadis ini masih tetap terlihat cantik, namun jika ditatap sekilas maka dia terlihat sangat buruk. Sebelum menutup wajahnya dengan sebuah cadar, sekali lagi dia menatap hasil karyanya dengan senyum sumringah.
Kedua orang tuanya telah menunggunya dengan tidak sabar, nampak pula Adelia dengan dandanan menornya, gaun bernuansa pesta yang elegan sangat kontras dengan tubuhnya yang ramping. Sangat menonjolkan sensualitas untuk kenyamanan dirinya sendiri tentunya. Tak ada yang menyadari riasan Leona, karena tertutup cadar. Dengan tergesa-gesa mereka segera naik mobil yang telah disiapkan mempelai pria untuk mereka tumpangi menuju Rumah Sakit.
Ruang Paviliun Edelweis tempat Nenek Melinda dirawat nampak lengang, tak ada aktivitas yang berarti. Mobil berhenti langsung depan ruang Paviliun. Keluarga Hendrinata turun dari mobil, disusul sang mempelai wanita yang kelihatan enggan untuk turun. Bukan karena wajah mempelai pria yang membuatnya tak ingin menikah melainkan dia masih ingin menghabiskan masa remajanya bersama teman-teman sebayanya. Walau wajah Abhygael setampan pangeran dari negeri antah berantah sekalipun, dia tetap akan menolak untuk menikah. Jika bukan karena rasa sayangnya terhadap ibunya mungkin saja hari dimana dia dilamar, dia sudah pasti melarikan diri ketempat dimana tak akan ada yang menemukannya.
Sebuah ranjang pasien dengan berbagai selang terpasang dilengkapi dengan layar monitor terpampang tepat dekat jendela ruang Paviliun. Di depan ranjang pasien duduk bersila dilantai yang beralaskan karpet Abhygael didampingi penghulu, disebelahnya paman Julit dan tante Yolan, Regan berada di sudut ruangan siap mengabadikan moment sakral itu dengan kamera tergantung di lehernya.
Abhygael menatap Adelia yang datang dengan anggunnya, dia sama sekali tak melirik Leona yang melangkah pelan dengan gaun pengantin berwarna putih. Abhygael yang semula mengagumi Adelia, kini malah mencibir saat melihat Adelia mendekati mereka dengan angkuhnya. huh...! jika bukan karena terpikat dengan kecantikan Adelia, mungkin saja Regan yang sekarang berada disamping Leona. Abhygael tak lagi memperhatikan Adelia, hatinya benar-benar bergemuruh. Ada kilatan kemarahan terpampang dibalik wajahnya yang terbalut topeng tipis. Regan menggelengkan kepala seakan memberi kode padanya untuk tidak melakukan gerakan tambahan.
Detik demi detikpun berlalu, seakan telah dipesan sebelumnya, tak ada yang lalu lalang di area Paviliun, sehingga proses ijab kabul berlangsung hikmad. Kini tibalah saatnya Abhygael memasangkan cincin di jari manis Leona, dengan ragu gadis itu menyodorkan tangan kanannya. Begitupula sebaliknya, Leona memasangkan cincin di jari manis Abhygael yang kini telah resmi menjadi suaminya. Tak ada yang meminta, Leona dengan patuh mencium punggung tangan kanan Abhygael walau hatinya mendongkol.
Abhygael menatap isterinya dengan lekat, dibukanya penutup wajah isterinya dan dia sempat mendaratkan sebuah kecupan ringan di dahi istrinya dengan mata terpejam. Bukan hendak menikmati namun enggan menatap wajah buruk Leona. Tak ada yang memperhatikan wajah Leona kecuali ibunya. Renata sempat tertegun, ia tak mengerti dengan tujuan anaknya menutupi wajah aslinya dengan riasan itu.
Kini tibalah saatnya keduanya meminta restu kedua orang tua, Leona menangis sesenggukan dipelukan ibunya. Ibunya membisikkan kata-kata yang menenangkan, "Terima kasih sudah menutupi rasa malu ibumu ini, jadilah isteri yang taat, jangan pernah berkeluh kesah, jika sedang sedih dekatkanlah dirimu kepada sang Maha Pencipta, percayalah kamu pasti akan bisa melalui semua ini. Ibu yakin kamu gadis yang sangat patuh. Tolong jaga kepercayaan kami semua."
Leona kini mendekati ranjang sang nenek, digenggamnya tangan nenek Melinda dan dikecupnya dengan lembut. Airmatanya jatuh dipunggung tangan Melinda, grafik pada layar monitor tiba-tiba bergerak cepat, Leona panik. Abhygael segera menekan bel, tak lama berselang dokter Adib bergegas datang memeriksa pasien. Dibukanya mata sang nenek pelan. Tangan Melinda mulai bergerak. Dia telah melalui masa kritisnya.
"Sebentar lagi nyonya Melinda akan segera siuman, harap pengunjung yang lain menunggu diluar."
Tanpa dikomando semua segera bergegas keluar kecuali Abhygael, saat Leona melewatinya, Abhygael segera menahan tangannya. "Kau tetaplah disini, kehadiranmu sangat dibutuhkan," Saat Leona mencium punggung tangan nenek Melinda, terjadi perubahan pada pergerakan layar monitor, hal ini tak luput dari perhatian Abhygael.
Leona melepaskan tangannya dari cengkeraman Abhygael, Abhygael terkejut. Mungkin cekalan tangannya sangat kuat sehingga Leona meringis dan berusaha melepaskan tangannya dengan kasar. Abhygael membatin, gadis ini keras kepala juga, tunggu saja bagaimana caranya aku memperlakukanmu sehingga kau sadar bagaimana harusnya bersikap" Rutuk Abhygael dalam hati. Rahangnya dikatupkan dengan kuat saking marahnya dengan sikap kasar gadis yang baru beberapa menit yang lalu dinikahinya.
Atas arahan dokter, Leona dan Abhygael mendekati nenek Melinda dan mengajaknya bicara.
"Nenek bangunlah, tolong restui kami. Bukankah ini yang nenek inginkan ?" Abhygael terus menatap neneknya dengan sendu.
Leona walau dengan enggan, namun melihat wajah pucat sang nenek berusaha untuk melakukan yang terbaik. "Nenek, ini aku Leona, izinkan aku berbakti padamu, jadi kumohon bangunlah, peluk aku nek, aku membutuhkanmu," Leona mengucapkannya dengan tulus.
Abhygael untuk pertama kalinya mendengar suara isterinya terpana, walau buruk rupa ternyata suara isterinya enak di dengar, suaranya merdu dan serak-serak basah. Sangat menggairahkan, tak sadar jantungnya berdesir, hanya dengan mendengar suaranya Abhygael merasa sangat gerah, bagaimana nantinya dengan desahannya. Ah....Abhygael membuang jauh pikiran kotornya, dia sudah bertekad di dalam hati tidak akan pernah menyentuh isterinya itu sekalipun dijebak dengan obat perangsang, dia akan mencari cara yang terbaik untuk tidak menyentuh Leona.
Kata-kata Leona ternyata berpengaruh, perlahan mata nenek terbuka.
"Nenek !" Abhygael dan Leona berteriak bersamaan.
Dokter yang sedari tadi berdiri memantau perkembangan pasien segera mendekat. "Syukurlah Ibu Melinda sudah sadar, ini sebuah anugerah setelah beberapa hari dinyatakan kritis."
Leona tak henti-hentinya mengucap syukur, Abhygael sempat menatap heran namun karena rasa syukurnya, dia mengabaikannya. Nenek Melinda berusaha ingin melihat wajah Leona yang masih tertutup cadar, namun Abhygael mencegahnya."Nanti saja nek, saat nenek kembali ke rumah, nenek akan selalu melihat cucu mantu kesayangan nenek ini,"
Bukan tanpa alasan, Abhygael takut jika melihat wajah buruk Leona neneknya akan jantungan dan tak akan bangun lagi. Akhirnya Melinda hanya menggenggam kedua tangan Abhygael dan Leona dengan berpesan "Kalian harus akur, jangan bertengkar untuk sesuatu yang tidak penting. Nenek harap kalian akan segera memberikan nenek cicit yang banyak, empat saja sudah cukup, semoga kalian langgeng sampe kakek nenek."
Leona menatap Abhygael dari balik cadarnya, pandangan keduanya saling mengunci sesaat. Sekarang bukan waktunya untuk berdebat, membayangkan hidup selamanya dengan wajah buruk isterinya membuat Abhygael bergidik. Yang penting saat ini neneknya sembuh, akan ada waktu terbaik untuk memikirkan cara terhindar dari pernikahan gila ini. Dalam benaknya dia akan menikahi Selena dan akan menunjukkan wajah aslinya saat malam pertama nanti. Entah kapan hal itu terwujud.