"Ada apa dengan lehermu?"
Freysia mengerutkan alisnya menatap Tita yang tadi bertanya. Dia tidak mengerti apa maksud temannya itu. Tidak ada apa-apa dengan lehernya, tidak sakit atau apa pun. Namun, kenapa Tita bertanya seperti itu? Seolah ada sesuatu yang salah dengan lehernya.
"Ada apa dengan leherku?" ulang Freysia heran.
Tita mengangguk. "Lehermu merah." Telunjuknya menyentuh beberapa ruam merah di leher Freysia. "Kalian juga melihatnya, bukan?" tanyanya pada dua gadis yang lain.
Thea masih berada di kamarnya, belum diperbolehkan keluar kamar oleh Emilia. Thea harus beristirahat sampai sembuh total, dalam pandangan Emilia.
"Benar!" seru Lucia. "Sepertinya kau sudah digigit serangga, Fre!"
Freysia mengusap lehernya, di mana tadi Tita menyentuhnya. Kerutan alisnya semakin tajam saat melihat beberapa ruam kemerahan di kulit lehernya. Lucia benar, ada serangga yang sudah menggigitnya. Namun, serangga seperti apa yang sudah menggigit sebanyak ini? Di mana? Apakah di tempat penampungan? Berbicara mengenai tempat penampungan, apakah teman-temannya tahu mengenai tempat itu? Kalau tidak, bolehkah dia memberitahu mereka? Tidak terlalu penting, yang penting adalah bagaimana dia bisa sampai digigit serangga? Sangat menyebalkan!
"Mungkin aku digigit nyamuk," ucap Freysia. Ruam-ruam itu tidak bisa dihilangkan. Dia sudah menggosoknya beberapa kali, tanda kemerahan itu masih tetap melekat di lehernya. "Tadi malam aku tidak bisa tidur dan keluar mencari udara segar. Kurasa saat itulah nyamuk-nyamuk itu menggigitku." Sekali lagi Freysia mencoba menggosoknya, tapi ruam itu masih melekat di sana.
"Jangan digosok lagi!" Anne melarang. "Nanti lehermu berdarah."
"Anne benar!" Tita menggeliat ngeri. Dia paling tidak suka pada sesuatu yang berhubungan dengan darah. Oleh sebab itu, ketika pertempuran terakhir mereka melawan Ades Hyperion kemudian Putri Emery, dia selalu memejamkan mata, tak ingin melihat darah mereka. Ketika membuka mata, dia sudah berada di perpustakaan tempat diadakannya lomba cerdas cermat yang diikuti sekolahnya. Dia sedang tertidur bersama dengan empat temannya yang bertempur bersama.
"Tapi, ruamnya tidak mau hilang!" Tak menghiraukan perkataan teman-temannya, Freysia tetap menggosok lehernya. Namun, kali ini tak sekuat tadi, dia hanya mengusapnya pelan saja. Kulit lehernya mulai terasa perih.
"Mungkin nanti kau bisa minta bantuan Emilia atau Carora untuk menghilangkannya," usul Anne. "Sudah, berhentilah menggosoknya."
Freysia menarik napas kemudian mengangguk. Dia akan meminta bantuan pada Emilia untuk mengobati ruam di lehernya agar tidak terlihat lagi. Rasanya sedikit memalukan dengan beberapa ruam itu di lehernya. Jujur saja, ini mengganggu. Rasanya dia tidak bisa bergerak bebas, dia tak ingin ruam di lehernya terlihat.
"Bagaimana keadaan Thea?" tanya Freysia sambil membuka pintu kamarnya. Mereka akan ke ruangakan sekarang. Tuan Callisto sudah memanggil melalui pikiran mereka masing-masing. "Aku belum melihatnya setelah kemarin. Apa dia sudah baikan?"
Anne mengangguk. "Thea hanya butuh istirahat seharian penuh. Emilia melarangnya keluar kamar hari ini."
"Iya!" sambung Lucia gembira. "Kita akan mengunjungi Thea setelah ini."
Freysia mengangguk. Dia setuju usul Lucia. Dia sangat khawatir dengan keadaan sepupunya. Seharusnya tadi malam dia tidur di kamar Thea menemaninya, bukan bersama Antares di kamar pria itu. Mengingatnya, Freysia merasakan pipinya memanas. Tak seharusnya dia menuruti keinginan Antares, tapi siapa yang dapat menolaknya. Tatapan mata onyx pria itu menghipnotis siapa pun yang menatapnya. Apalagi Antares ternyata adalah Ares, pria yang dicintainya. Pria yang baru diingatnya setelah lebih dari setahun lamanya ingatan tentang pria itu direnggut paksa. Ingatan yang menyakitkan, juga membuatnya bahagia meski dibalut ketakutan.
Semua sudah lengkap di meja makan, termasuk Antares. Freysia menatapnya sekilas, meringis melihat pria itu yang bersikap dingin seperti biasa. Bukan dirinya yang bersikap seperti orang tak saling mengenal, melainkan pria itu sendiri. Kalau sudah seperti ini, dia hanya akan mengikuti alur saja.
"Selalu terlambat seperti biasa." Carora menggeleng pelan beberapa kali seiring decakan yang luar dari mulutnya. "Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan, Nona-nona, tapi, berhentilah bergosip saat di depan cermin."
Freysia meringis menyadari kalau apa yang dikatakan Carora itu benar.
"Maaf, Carora," ucap Freysia merasa bersalah. "Aku yang menyebabkan terlambat pagi ini. Ada sesuatu yang sedikit mengganggu, yang nanti akan aku bicarakan denganmu. Kalau kau tidak keberatan." Freysia mengangkat bahu.
Carora mengangkat sebelah alisnya menatap Freysia. Tidak biasanya gadis berambut pirang ini yang mengaku penyebab keterlambatan mereka. Biasanya Freysia hanya diam saja, Tita dan Thea yang lebih banyak berbicara.
"Tentu aku tidak keberatan," sahut Carora tersenyum lebar. "Apa yang bisa kubantu? Katakan saja."
"Nanti setelah sarapan aku akan meminta bantuanmu," ucap Freysia sambil duduk di sebelah Emilia.
Carora tidak menjawab lagi. Mereka sarapan dalam diam, tak ada yang berbicara sedikit pun. Hanya suara peralatan makan yang saling beradu saja menjadi teman mereka.
"Baiklah, Fre, apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Carora.
Seperti biasa, selesai sarapan mereka akan berkumpul di aula. Bukannya mereka tidak ingin mengerjakan pekerjaan lain, tetapi memang tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak bisa keluar, keadaan tidak mendukung. Setiap saat monster bisa saja menyerang mereka kalau mereka keluar sana. Hanya aula yang bisa mereka gunakan sebagai tempat untuk berkumpul. Bukan hanya itu, di tempat ini mereka melakukan semuanya. Membahas dan menyusun rencana bertahan mereka, juga rencana mereka untuk menyerang musuh. Di aula juga terdapat sebuah bola besar yang biasa.diginakan Tuan Callisto untuk memantau keadaan Ameris.
Sebenarnya Freysia tidak enak mengatakannya di depan orang banyak seperti ini, tapi sepertinya Carora tidak berniat untuk berbicara berdua saja di tempat lain. Meski terpaksa, dia harus mengatakannya di sini.
Freysia mendekati Carora, berdiri di depan perempuan itu dan menyingkap rambut yang menutupi lehernya. Freysia menunjukkan lehernya yang terdapat beberapa ruam kemerahan pada Carora.
"Leherku digigit serangga tadi malam, dan ini tidak bisa hilang," adu Freysia polos. "Aku sudah menggosok dan mengusapnya, tapi tetap saja memerah. Apa kau bisa menghilangkannya? Ini sedikit mengganggu."
Carora memicing mengamati ruam-ruam itu. "Apakah itu gatal, atau mungkin sakit?" tanyanya.
Freysia menggeleng. "Tidak menimbulkan apa-apa," jawabnya. "Tidak ada yang aku rasakan."
"Benarkah?"
Freysia mengangguk.
Carora mengangkat bahu, sepasang alisnya mengernyit. "Kurasa serangga yang menggigit lehermu adalah serangga yang besar, mungkin seukuran dengan kita."
Mengatakan itu, Carora melirik Antares yang terbatuk. Sepertinya ada yang aneh pada pria itu. Apakah wajar kalau dia mencurigainya telah melakukan sesuatu? Sesuatu yang berhubungan dengan ruam di leher Freysia.
"Benarkah?" Freysia membelalak horor. Serangga kecil saja sungguh membuat geli, apalagi kalau benar-benar ada yang berukuran sebesar mereka. Astaga,.itu sangat mengerikan! Freysia bergidik tanpa sadar. "Kau hanya bercanda, 'kan, Carora?"
Carora lagi-lagi mengangkat bahu. "Tidak mungkin nyamuk dapat menyebabkan ruam sebanyak itu." Dia menunjuk arah leher Freysia. "Pastilah serangga yang berukuran lebih besar lagi."
Alis pirang Freysia berkerut. Dia masih belum mengerti apa yang dikatakan Carora. Sungguh, pasti sangat mengerikan sekali kalau benar-benar ada serangga besar.
"Sebaiknya kau meminta bantuan Antares saja." Carora menatap Antares terang-terangan. "Ia pasti bisa menghilangkannya."
Freysia menatap Antares dan Carora dengan tatapan bertanya. Apakah Antares ada hubungannya dengan ruam di lehernya?
Antares berdecak. "Lakukan saja apa yang bisa kau lakukan, Carora. Asal kau tahu, tingkahmu itu membuatku merasa jijik," ucap Antares dingin dan tanpa perasaan.
Carora memutar bola mata. Dia tidak pernah merasa tersinggung meski setajam atau sepedas apa pun kata-kata Antares. Dia sudah terbiasa. Sejak kecil Antares memang sudah seperti itu. Ia sangat menyebalkan. Mereka sudah berteman sejak sama-sama usia balita, bisa dibilang mereka bersahabat. Sayangnya, sikap pendiam dan dingin Antares sangat bertolak belakang dengannya yang sangat suka berbicara, sehingga lama kelamaan hubungan persahabatan mereka menjadi renggang. Sampai akhirnya Antares memutuskan untuk menetap di Ganmate, entah karena masalah apa. Oleh sebab itu, sedikit banyak dia sudah mengenal sifat Antares dan tidak pernah tersinggung. Antares tidak pernah serius dengan kata-kata pedasnya itu. Ia hanya asal ucap.
"Cara bicaramu ternyata tidak berubah, Antares." Zidane akhirnya ikut bicara. "Kau tetap sama seperti dulu. Menyebalkan. Setidaknya kau bisa lebih menghormati perempuan."
Tak ada senyum atau apa pun di wajah Antares. Ia tetap seperti biasanya. Datar dan sedingin es.
"Memangnya Carora perempuan?" Antares menatap Carora dengan tatapan mengejek. Ia masih ingat betapa bar-bar pere.kuan di depannya ini. "Aku tidak ingat seorang perempuan bisa bersikap semanis dia."
Antares melangkah ke luar aula setelah mengatakan itu. Ia tidak ingin menjadi terlalu banyak bicara. Selain itu ia juga tak ingin terus menahan diri untuk tidak berbicara pada Freysia. Sesuatu yang paling sulit dilakukannya.
"Jangan hiraukan Antares, ia memang seperti itu." Carora menghampiri Freysia, memeriksa ruamnya dan dia semakin yakin kalau ruam itu bukanlah karena serangga, melainkan hasil perbuatan manusia. Carora mengembuskan napas kasar. Dia yakin ini ada hubungannya dengan Antares. Entah apa yang diinginkan pria itu pada Freysia, tapi dia akan lebih mengawasinya lagi mulai dari sekarang. "Kau ingin aku menghilangkan ruam ini?" tanyanya sekali lagi.
Freysia mengangguk..
"Apakah tidak apa-apa?" tanya Carora lagi.
"Apa maksudmu?" Freysia balas bertanya. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang ditanyakan Carora.
"Maksudku, apakah kau akan baik-baik saja kalau aku menghilangkannya? Asal kau tahu saja, ruam itu akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari."
"Benarkah?"
Carora mengangguk. "Kalau tidak percaya kau bisa bertanya pada Emilia dan yang lainnya."
Freysia berbalik, menatap bergantian semua yang berada di ruangan itu. Namun, dia tidka mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pembicaraan sendiri-sendiri. Freysia kembali memutar tubuh menghadap Carora, sepasang alisnya berkerut.
"Sudahlah, Fre, biarkan saja." Carora mundur selangkah. "Besok atau lusa ruam itu sudah tidak akan menghiasi lehermu lagi." Dia tertawa kecil, menutupi mulutnya menggunakan tangan kanan.
Freysia berdecak kesal. Ternyata sia-sia meminta bantuan Carora, perempuan itu tidak ingin membantunya.
***
"Sampai kapan Emilia akan menahanku di atas tempat tidur seperti ini?"
Thea lagi-lagi mengeluh. Kali ini dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya, membuat yang mendengar menutup telinga mereka. Thea memang tidak berteriak, tidak juga memekik, tapi tetap saja keempat gadis lainnya menutup telinga mereka masing-masing. Mereka bosan mendengarnya. Pagi ini sudah beberapa kali Thea mengeluh, dengan keluhan yang sama.
"Aku bosan!"
Sekarang Thea memekik. Tita membelalakkan matanya, Lucia dan Anne kembali menutup telinga dengan cepat, Freysia berdecak kesal, melemparkan bantal ke arah Thea, dan mengenai wajah gadis itu.
"Maafkan aku, Thea. Aku sengaja!" ucap Freysia tanpa rasa bersalah.
Thea mendelik. Meraih bantal yang tadi dilempar Freysia padanya, berniat melemparnya kembali pada gadis itu. Namun, suara pintu terbuka mengurungkan niatnya, Emilia memasuki kamar bersama Tuan Callisto.
"Kurasa aku sudah memintamu untuk beristirahat, Thea. Bukan untuk bermain perang bantal." Emilia menatap Thea dengan sorot mata memperingati. "Kalau kau tidak mau berdiam diri seperti yang kuminta, aku akan menambah masa istirahatmu menjadi satu minggu!" ancamnya.
Thea membelalakkan mata. Astaga! Apa dia tidak salah dengar? Satu minggu? Yang benar saja! Satu hari saja rasanya sangat membosankan berada di dalam kamar sendirian apalagi satu minggu. Mungkin dia akan mati karena bosan.
"Bukan aku yang memulai, Emilia, tapi Freysia!" Thea membela diri. Dia tidak ingin disalahkan.
"Aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak memekik!" balas Freysia santai. "Asal kau tahu saja, pekikanmu itu sangat menganggu. Tidakkah kau sadar?" Freysia menatap Thea dengan mata menyipit.
Thea memalingkan muka. Tak ada seorang pun yang mau membelanya. Sangat menyebalkan! Dia tidak terbiasa berada di dalam kamar, sangat membosankan. Dia lebih menyukai berada di luar, banyak hal-hal baru dan menarik di luar sana yang akan didapatkannya daripada terus berada di dalam kamar.
"Kau memang harus beristirahat sepanjang hari ini untuk memulihkan kekuatanmu, Thea." Tuan Callisto ikut berbicara. Ia merasa perlu mendinginkan suasana. "Seluruh kekuatanmu terkuras setelah kau mengeluarkan kekuatan sihir terakhir itu. Beristirahat dan berdiam diri ajan membuat kekuatanmu kembali seperti sediakala dengan cepat."
Thea cepat menatap pria tua yang tampan itu. Benarkah yang dikatakan pak tua ini? Astaga!
"Apakah aku tidak memiliki kekuatan sihir lagi untuk saat ini?" tanya Thea penasaran.
"Bukan tidak memiliki sama sekali, hanya saja kekuatanmu masih lemah," jawab Tuan Callisto. "Tidak sekuat kemarin. Bahkan lebih lemah daripada saat aku pertama kali memberikan kekuatan sihir kepada kalian."
"Itu artinya sama saja dengan kau baru memulai belajar kekuatan sihir," sambung Emilia. "Sangat berbahaya berkeliaran di luar tanpa kekuatan sihir. Banyak monster yang bisa menyerang kapan saja. Kau bisa terluka."
Freysia menggeleng tak percaya. "Apakah kami semua juga memiliki kekuatan seperti Thea?" tanyanya.
"Kalian semua memilikinya." Emilia mengangguk. "Seperti yang dikatakan Carora kemarin. Itulah mengapa Tuan Callisto meminta kalian untuk tidak bercanda menggunakan kekuatan sihir yang kalian miliki."
"Ini yang kedua." Tuan Callisto mengembuskan napas. "Kuharap tidak ada lagi yang ketiga dan seterusnya."
Thea menundukkan kepala. Sungguh, dia merasa sangat bersalah. Diantara yang lain, dia yang paling tidak bisa menahan emosi, berbanding terbalik dengan kekuatan sir yang dimilikinya. Air melambangkan ketenangan, tapi dia tidak bisa tenang sana sekali. Dia selalu menanggapinya penuh emosi.
"Efek kekuatan itu bukan hanya membahayakan orang lain, tetapi juga diri kalian sendiri!"