Bab 11

2032 Kata
Suara petir yang bersahutan tak dapat menyentuh gendang telinga Freysia. Indra pendengarannya seakan tertutup sehingga dia tidak dapat mendengarkan apa-apa. Hanya suara Antares yang terdengar di telinganya, selain itu tidak ada. Pria itu mendorongnya hingga punggungnya menempel ke tembok tanpa berhenti sedetik pun menciuminya, Bahkan Antares tidak memberikannya jeda untuk mengambil napas. Dia juga tidak merasakan kehabisan udara, seolah pasokan oksigen di paru-parunya sangat banyak. "Malam ini tetaplah di sini, Fre!" pinta Antares disela ciumannya. Freysia mendorong d*da pria itu pelan, menggeleng begitu tautan bibir mereka terlepas. "Aku tidak bisa," ucapnya terengah. Freysia meringis di dalam hati. Ternyata, meskipun tidak merasakan dadanya terbakar saat berciuman tadi, tetap saja dia tersengal. "Aku harus kembali ke kamarku, Ares." Antares menggeleng "Tetaplah di sini!" pintanya sekali lagi dengan suara parau. Tak dapat dipungkiri, kegiatan mereka tadi membuatnya merasa terbakar. Ia bukan pria yang suci, jauh sebelum bertemu Freysia di alam mimpi, ia sudah berc*nta dengan beberapa orang perempuan. Mereka yang menginginkannya, para perempuan itu yang menyerahkan diri padanya. Ia pria normal. Tak ada seorang pun pria normal yang tidak tergoda melihat perempuan telanjang di depannya, kecuali pria itu memiliki pengendalian diri yang hebat, atau sudah memiliki perempuan yang dicintai. Ia seorang pria bebas, tak ada yang akan melarangnya ataupun terluka kalau ia melayani perempuan-perempuan itu. Lagipula hubungan itu hanya berlaku untuk satu malam saja, ia tidak pernah berc*nta dengan perempuan yang sama sebanyak dua kali. Semuanya berubah saat ia bertemu Freysia. Gadis itu sudah membuatnya tertarik sejak pertama kali mereka bertemu. Ia tidak pernah lagi melakukan semua hal gila yang dulu dilakukannya. Semua teredam oleh kepolosan yang dihadirkan seorang Freysia yang saat itu masih berusia empat belas tahun. Antares berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi semua perbuatan buruknya dulu. Ia hanya akan melakukannya dengan gadis yang ia cintai. Meskipun tersiksa ia tetap menahannya, dan selama itu ia berhasil. Berpisah dengan Freysia adalah hal yang paling menyakitkan bagi Antares. Ia harus menghapus ingatan gadis yang dicintainya itu karena mereka tidak akan pernah bersama. Dunia mereka berbeda, mereka hanya bisa berjumpa di alam mimpi saja. Kalau diteruskan akan membahayakan nyawa Freysia. Untuk melupakan Freysia, ia meninggalkan Ameris dan menetap di Ganmate. Kebetulan waktu itu Putri Emery mengangkatnya sebagai panglima tertinggi Ameris, dan ia menolak pengangkatan itu. Ia menggunakan alasan penolakan untuk menetap di planet Ganmate. Mungkin, seandainya saja tidak ada yang terjadi, Ades masih hidup, ia tidak akan kembali ke Ameris dan bertemu Freysia dengan kenyataan bahwa gadis itulah yang sudah menghabisi nyawa kakaknya. Balas dendam yang sudah direncanakan sejak ia mendengar kabar kematian Ades, menguap begitu saja. Kemarahan dan kebencian di dadanya terhempas setelah bertemu dengan Freysia hari itu. Ia sangat terkejut, dadanya memanas, seluruh tubuhnya bergetar. Sekuat tenaga Antares berusaha menekan semua rasa yang bergejolak di dadanya. Ia tidak boleh kehilangan kendali, meskipun gadis yang dicintainya telah membunuh saudaranya. Lagipula waktu itu Freysia tidak mengingatnya, belum mengingatnya. Sekarang semua ingatan tentang mereka sudah kembali, Freysia sudah mengingatnya. Kali ini, iantidak akan melepaskannya. "Aku tidak akan mengapa-apakanmu. Aku berjanji, Fre!" "Tapi...." Freysia tak dapat meneruskan perkataannya. Antares sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman panas dan menuntut. Ia memang tidak akan mengapa-apakan Freysia, tidak akan menyentuhnya lebih dari ini. Ia hanya akan menciumnya. Ciuman yang dulu tak pernah ia lakukan mengingat usia Freysia yang masih belia. Freysia mengerang. Indra pengecap Antares mengaduk-aduk mulutnya, mengabsen semua bagian dalam mulutnya, melilit dan menyesap indra pengecapnya, membuat tubuhnya terasa disengat listrik ribuan volt. Semua buku halus.di tubuhnya berdiri merasakan benda lunak dan basah itu menjalari lehernya, berhenti di telinganya. Freysia terengah, Antares mengulum daun telinganya sebelum berbisik lirih. Meminta sekali lagi dengan suaranya yang terdengar lebih serak daripada tadi. "Aku mohon, malam ini tetaplah di sini, jangan ke mana-mana!" Kali ini Freysia mengangguk. Apa yang dilakukan Antares, juga kata-katanya membuatnya lemah. Ia menuruti permintaan itu. . . . . . Freysia terbangun karena suara petir memekakkan telinga. Selalu saja suara itu yang membangunkannya. Suara petir di Ameris sudah seperti suara alarm bangun tidur saja. Dengan malas Freysia membuka mata. Dia baru tidur beberapa jam yang lalu, suara petir itu sudah menggelegar saja. Rasanya dia masih belum puas memejamkan mata, masih belum puas berkelana ke alam mimpi. Berbicara mengenai mimpi, tadi malam mimpinya sangat aneh. Dia bersama Antares, tidur di kamar pria itu karena ia yang meminta. Sungguh mimpi yang tidak tahu diri. Selama ini, di Ameris, dia selalu bermimpi kembali ke rumahnya, ke dunia mereka. Tadi malam adalah yang pertama dia tidak memimpikan rumah, tetapi sesuatu yang lain. Yang lebih gila dari mimpinya, Antares menciumnya. Astaga! Bukan hanya tidak tahu diri, ternyata dia juga tidak tahu malu. Freysia menepuk pipinya yang terasa memanas. Rasa kantuknya sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu. Sebaiknya dia bangun sekarang sebelum keempat gadis itu mengacaukan kamarnya. Namun, dia tidak bisa bergerak, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk bangun. Freysia mengernyit sedetik, di detik berikutnya mata biru itu terbuka lebar. Dia tidak berada di dalam kamarnya, tapi di kamar yang lain. Mungkinkah mimpinya tadi malam bukan mimpi? Dengan pelan dan takut-takut Freysia menoleh, mengintip ke sebelahnya. Sekali lagi mata birunya melebar, wajah tampan Antares dengan mata terpejam nyaris membuatnya memekik. Untung saja dia berhasil menutup mulutnya tepat waktu sehingga tidak mengganggu tidur pria itu. Freysia memejamkan mata sekilas, jantungnya berdetak lebih cepat dua kali lipat dari biasanya. Kalau Antares tidur di sampingnya, berarti apa yang terjadi tadi malam bukan mimpi, melainkan kenyataan. "Selamat pagi." Suara serak khas bangun tidur itu menyadarkan Freysia kalau semua yang terjadi bukankah mimpi, Antares adalah Ares-nya. Dengan menahan debaran jantungnya yang semakin menggila Freysia kembali menatap wajah tampan itu. "Se-selamat pagi," balas Freysia terbata. Dia gugup. Menyadari semuanya bukan mimpi membuatnya salah tingkah. Seolah semua yang dilakukannya serba salah sekarang. Apalagi setelah tahu kalau yang membuatnya tak bisa menggerakkan tubuh adalah tangan Antares yang memeluk perutnya. Freysia berusaha bangun, tapi Antares justru semakin erat memeluknya. "Biarkan seperti dulu," pinta Antares mempererat pelukan. "Aku ingin memelukmu setidaknya lima menit lagi." "Tapi aku harus kembali ke kamarku." Antares menggeleng. "Hanya sebentar lagi, Fre," bisiknya. "Kau pasti akan berpura-pura tidak mengenalku bila di depan yang lain nanti." Freysia menggigit bibir. Apa yang dikatakan Antares benar, dia akan bersikap seperti biasa padanya. Seperti dua orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Tak mungkin mereka bertegur sapa karena itu akan menimbulkan keheranan yang lainnya. Apakah dia siap menjelaskan semuanya? Apakah jawabannya akan masuk akal dan diterima teman-temannya? Dia yang ketakutan dan sangat khawatir pada apa yang akan dilakukan pria itu tiba-tiba saja sangat akrab dengannya. Mereka semua pasti akan menuduhnya macam-macam. Walau mungkin tidak di depannya,tapi di belakangnya siapa yang tahu. "Maafkan aku," ucap Freysia lirih. Tangannya mengusap rahang tegas pria itu. Sekarang bukan hanya rasa bersalah yang dirasakannya, tetapi juga cinta dan ragu. Bukan meragukan cinta Antares padanya, dia meragukan apa yang akan dilakukan Antares padanya dan juga pada teman-temannya. Dia mencintai Antares tapi juga waspada pada tindakannya. "Aku harus melakukannya." Antares mengangguk. "Aku tahu," sahutnya. Suaranya masih saja terdengar serak. "Karena itu tetaplah di sini beberapa saat lagi." Freysia tersenyum, dan itu sudah cukup bagi Antares untuk tahu jawaban gadisnya. Dengan gerakan kilat, ia sudah berada di atas tubuh mungil itu dengan kedua siku menumpu di atas kasur agar tidak menindih Freysia secara langsung. "Aku mencintaimu, Fre," bisik Antares tepat di depan bibir Freysia sebelum dilumatnya bibir mungil itu. Freysia mengerang, membalas sebisanya. Antares kembali menciumnya seperti tadi malam, bahkan lebih panas. Indra pengecap pria itu menari lincah di dalam mulutnya, membelit dan menyesap indra pengecapnya. Freysia merasa dadanya panas, seluruh tubuhnya bergetar, kepalanya pusing, dan mata berkunang-kunang. Inikah efek ciuman Antares? "Kau tidak apa-apa?" Hanya pertanyaan basa-basi, buktinya Antares kembali menjalarkan Indra pengecap di leher mulus itu, meninggalkan jejak basah di setiap yang dilewatinya. Erangan Freysia terdengar merdu di telinganya, membuatnya ingin memberikan lebih dari dua buah ruam kemerahan di leher gadis itu. "Kau tahu, seandainya saja bisa aku ingin mengurungmu di sini, di kamarku, agar tidak ada seorang pun yang melukaimu." Antares memejamkan mata sejenak, menggeram tertahan. "Tapi aku sadar, aku adalah orang yang paling berbahaya untukmu." Freysia menggeleng, membantah pernyataan itu. Antares salah, ia sama sekali tidak berbahaya baginya. "Kau salah, Ares. Kau tidak berbahaya. Bukan kau yang sudah menghabisi penyangga Ameris dan membuatnya menjadi seperti ini, tapi aku." Freysia menarik napas panjang. Tangannya membingkai pipi pria di atasnya. "Jadi, akulah yang berbahaya di sini." Antares menggelengkan kepalanya, mengecup bibir itu sekali. "Baiklah kalau kau memang berpikir seperti itu," ucapnya santai. "Jadi, kau tidak takut padaku?" tanyanya. Freysia menggeleng. Dia tidak pernah takut pada pria yang dicintainya. Dengan sukarela dia akan menyerahkan nyawa kaku memang itu yang diinginkan Antares. "Meskipun aku melakukan ini padamu?" Antares menjatuhkan kepalanya di atas d*da Freysia, tepat di antara dua buah bukit kembar yang membentang. Menarikan indra pengecapnya di sana, menjelajah kedalaman bukit yang belum pernah terjamah. Freysia mengejang sesaat. Rasa basah dan panas yang dihantarkan Antares menjalar ke seluruh tubuhnya. Menghadirkan sesuatu yang belum pernah dirasa sebelumnya. Freysia mengerang, tangannya meremas rambut hitam pria itu, menyalurkan sesuatu yang membuatnya terasa ingin meledak. Indra pengecap Antares terasa kasar menyentuh benda mungil di ujung bukitnya. Aliran listrik di tubuhnya bertambah menjadi beribu-ribu volt. Freysia terhempas, menyerah pada gelombang yang diciptakan Antares. Freysia memejamkan mata,mengatur napasnya yang tersengal. "Apa aku masih tidak berbahaya?" tanya Antares dengan seringai yang membuat wajah itu semakin tampan. Freysia menggigit bibir. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Antares tadi, rasanya begitu hebat. Dia belum pernah merasakannya sebelum ini. Freysia menggeleng pelan. "Benarkah?" Gadis itu mengangguk malu. Pipinya memerah. "Apa kau menginginkannya lagi?" tanya Antares serak. Ia benar-benar seorang pria normal, dan harus menahan diri mati-matian agar tidak melakukan lebih pada gadisnya. Percayalah, itu sangat menyiksa. "Tadi itu apa?" Freysia balik bertanya. Antares menaikkan sebelah alisnya menatap Freysia. "Kau sungguh tidak tahu apa itu?" tanyanya lagi. "Apa kau tidak merasakan sesuatu?" "Aku merasakannya," akunya Freysia jujur. "Tapi aku tidak tahu apa itu. Kepalanya menggeleng. "Apa aku mengompol, Ares? Bagian bawahku basah." Astaga! Kenapa Freysia harus mengatakannya? Antares menggeram tertahan, menyumpah dalam hati berkali-kali, menyesali kepolosan gadisnya. Antares menggeleng, memejamkan matanya beberapa saat. "Tidak!" jawab Antares begitu matanya kembali terbuka. "Fre, apa kau tidak ingin kembali ke kamarmu?" Antares mengalihkan pembicaraan. "Kurasa gadis-gadis berisik itu menuju kamarmu." "Hah?" Mata biru Freysia melebar. "Astaga, bagaimana ini?" tanyanya panik pada Antares yang perlahan menjauh dari atasnya. Freysia bangun dengan cepat. Merapikan rambut dan gaun tidurnya yang sangat berantakan. Turun dari tempat tidur cepat, saking cepatnya nyaris dia terjatuh kalau saja Antares tidak menangkapnya. "Hati-hati!" ucap pria itu. Freysia tidak menghiraukan. Dia berlari menuju pintu, bermaksud membuka pintu sebelum suara Antares menginterupsinya. "Aku bisa mengantarkanmu sekarang juga ke kamar." Freysia berbalik cepat, menatap Antares dengan mata memicing mendengar apa yang dikatakan pria itu. "Apa katamu tadi?" tanya Freysia. "Aku tidak akan mengulangi, kau sudah mendengarnya." Antares mengangkat bahu, turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Freysia yang ingin mengejar segera menghentikan langkah menyadari ke arah mana Antares pergi. Tidak mungkin dia menyusul ke kamar mandi, bukan? Astaga, dia bukan gadis seperti itu. Freysia menepuk pipinya yang terasa memanas. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat beberapa kali. Bahkan dia tak sadar kalau Antares sudah berada di depannya. "Ada apa?" tanya pria itu dengan alis berkerut. "Kenapa kau menggeleng? Ada sesuatu yang salah?" "A-Ares? Kau sudah selesai?" tanya Freysia kaget. "A-aku ... tidak apa-apa," jawabnya terbata. Rasa panas di pipinya bukannya mereda malah semakin bertambah. Sungguh, ini sangat memalukan baginya, seolah Antares memergokinya tengah mengintip saja. Untungnya pria itu hanya mengangkat bahu seakan tak peduli. Freysia mendelik tapi segera mengekor Antares, dia ingin pria itu mengantarkannya langsung ke kamar. Dia tak ingin mengambil resiko ada yang melihatnya keluar dari kamar ini. Satu lagi, dia tidak tahu di mana kamar ini terletak. Mereka langsung tiba begitu saja tadi malam, menghilang dan tiba-tiba sudah berada di sini. Dia tidak tahu jalan mana menuju kamarnya. Dia tidak ingin tersesat. "Kau sudah siap?" Pertanyaan dari suara besar dan dalam itu membaut freysia mengangguk. Dia siap kalau harus dipindahkan sekarang juga. Namun, Antares tidak melakukan apa-apa,.pria itu justru berdiri tepat di depannya. Antares membungkuk dan mencium bibirnya. "Pejamkan matamu!" Freysia mengurungkan niatnya untuk protes. Mulut yang sedikit terbuka kembali tertutup, Freysia memejamkan mata. Membuka mata kembali setelah tak terdengar suara Antares lagi. Dia sudah berada di kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN