Pagi datang dengan cepat, dan masih dihiasi dengan kilat dan petir seperti biasa. Tak ada lagi sinar hangat matahari di Ameris, ia menghilang bersama semua keindahan saat Putri Amery, Sang Penyangga Utama planet, tewas di tangan lima orang gadis pelindung Ameris. Konon, kelima gadis itu tidak berasal dari Ameris. Entah dari mana asal mereka, tidak ada yang tahu. Mereka datang secara tiba-tiba, saat Ameris sangat membutuhkan pahlawan. Menurut legenda, hanya penyangga utama yang dapat memanggil mereka. Dalam hal ini berarti Putri Amery yang melakukannya karena kelima gadis berbeda warna rambut itu muncul saat Sang Putri masih hidup dan menjadi penyangga utama planet yang sangat indah.
Sekarang, semua keindahan sirna. Putri Amery telah tiada, tewas di tangan gadis-gadis yang dipanggilnya. Lima orang gadis yang berharap bisa menyelamatkannya, tapi justru menghabisinya. Namun, tak ada seorang pun yang membenci, apalagi sampai menaruh dendam pada mereka. Semua penduduk planet indah yang sudah berubah menjadi suram itu, sudah mengetahui alasan mereka melakukannya. Kelima gadis itu melakukannya untuk melindungi planet Ameris, sesuai tugas mereka. Apa pun yang terjadi, apa pun yang mereka hadapi, meskipun harus membunuh orang yang mereka kasihi, Ameris adalah segalanya.
Akan tetapi, meskipun seperti itu, kelima gadis itu tetap menyalahkan diri mereka atas semua yang terjadi. Masing-masing dari mereka menyimpan rasa bersalah yang besar di dalam diri mereka. Mungkin yang sangat merasa bersalah adalah gadis berambut pirang yang merasa sudah mengeluarkan kekuatannya paling banyak untuk menghabisi Sang Putri. Gadis yang sekarang menggeliat perlahan di atas tempat tidur berukuran besar. Tidurnya terganggu oleh suara petir yang bersahutan.
Mata sebiru langit di musim semi itu terbuka dengan pelan. Sekali lagi Fresya menggeliat,merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Entah apa yang dilakukannya semalam sehingga seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, seperti habis dipukuli orang satu kampung. Matanya mengerjap, dia menguap. Nyawanya masih belum kembali sepenuhnya, begitu juga dengan ingatannya akan kejadian semalam. Fresya menarik napas, mencoba menggerakkan tubuhnya lebih banyak lagi. Namun, dia tidak bisa melakukannya, seolah ada yang menghalangi. Kedua kakinya malah tidak bisa digerakkan sama sekali. Sejenak dia panik, sebelum dia mendengar sebuah suara yang terdengar sangat dekat dengan telinganya. Suara seorang pria yang sangat familiar.
"Selamat pagi."
Suara serak dan dalam itu membuat Fresya menoleh cepat ke sebelah kirinya. Mata birunya melebar melihat siapa yang berada di sampingnya. Pria tampan itu tersenyum manis, senyum yang hanya ditujukan untuknya, senyum yang hanya dia yang bisa melihatnya. Senyum manis yang membuatnya ingat dengan semua yang terjadi tadi malam. Bayangan Antares menciuminya dengan rakus, indra pengecapnya yang panas bermain di tubuh bagian depan dan bagian bawahnya, serta gerakan tubuhnya di atasnya, berkelebat dengan cepat. Pipinya terasa memanas, jantungnya berdegup kencang, dadanya naik turun dengan cepat, dia tersengal, kesulitan bernapas seolah seluruh oksigen di ruangan ini sudah habis dihirup pria yang sekarang mengusap pipinya.
"A ... Ares ...." Fresya menggigit bibir, mengerang dalam hati mendengar suara seraknya. Baiklah, dia baru bangun tidur, dan itu sangat wajar, tapi dia malu, dia terbata.
"Kau bangun lama sekali." Antares mengusap kening Fresya sebelum melabuhkan bibirnya di sana. "Aku hampir terlambat karena menunggumu bangun tidur."
Sepasang alis pirang itu berkerut. Apa maksud Antares dengan terlambat? Apakah dia bangun sesiang itu? Menurutnya tidak, lagipula tidak ada yang dapat memastikan apakah ini masih subuh atau sudah pagi karena tak ada sinar matahari.
"Kupikir kau tidak akan bangun seharian. Aku sampai khawatir."
Antares tidak berbohong. Fresya tidur seperto orang mati. tak bergerak sama sekali, bahkan ketika dia memainkan selangkangannya tadi. Suara erang dan desah lirih yang ditangkap indra pendengarannya membuatnya lega. Apalagi tubuh Fresya tetap bereaksi, dan mengeluarkan cairan manis yang menjadi candunya. Kekhawatirannya semakin mereda, ia yakin wanitanya baik-baik saja, Fresya hanya mengalami kelelahan saja.
Sepanjang malam ia terus terjaga, mengamati wajah secantik boneka yang tengah tidur dengan pulasnya. Instingnya yang tajam mengatakan ada yang tengah memperhatikan mereka. Orang itu berusaha mengamati dari atas kastil dan berjarak ribuan kaki. Ia tidak tahu siapa orang iseng itu, terlalu malas untuk mencari tahu. Lagipula, sekeras apa pun usahanya mengintip, orang itu tidak akan bisa melakukannya. Seperti yang dikatakan gurunya waktu itu, tidak ada yang dapat menembus perisai kastil. Hanya orang yang memiliki kekuatan sihir tinggi saja yang dapat mematahkan mantra pelindung yang dibuat oleh mendiang Putri Amery.
Daripada mencari tahu siapa orang iseng yang seolah tidak memiliki pekerjaan, lebih baik ia mengamati wanitanya. Menjaganya agar tidurnya tidak terganggu. Lagipula, ia sudah dapat menebak siapa yang berada ribuan kaki di atas mereka. Siapa lagi jika bukan armada pasukan Ganmade. Sepertinya Orion merencanakan penyerangan. Ia harus berhati-hati saat keluar dari kastil nanti. Meskipun teknologi maju Orion bukan tandingan kekuatan sihirnya, ia tetap harus waspada. Ia tak sendiri, ada dua orang gadis yang juga harus dilindunginya. Demi Fresya. Jika bukan karena kedua gadis itu adalah teman-teman dari wanitanya, tidak akan ia melakukannya. Menghabisi mereka terasa lebih menyenangkan daripada harus melindungi orang-orang yang sudah merenggut nyawa kakak laki-lakinya.
"A ... aku ...." Fresya menggigit pipi dalamnya. Dia menelan ludah susah payah. tak hanya pipi, tubuhnya juga terasa memanas. "Maksudku, apa ini sudah pagi?"
Pertanyaan itu diucapkannya dengan penuh perjuangan. Dia harus menelan ludahnya beberapa kali, berdehem dalam diam hanya agar suaranya tak terdengar bergetar dan terbata. Fresya mengembuskan napas lega tak kentara.
Antares mengangguk, kemudian menggeleng. "Ini masih dini hari. Kupikir sekitar pukul lima pagi."
Antares melongok ke sana kemari, mencari keberadaan penunjuk waktu yang tak terlihat. Ia memilikinya, sebuah jam digital yang didapatnya saat berada di planet Ganmade. Sebenarnya, jam itu pemberian Putri Miranda, perempuan yang memimpin Ganmade. Entah untuk apa dia memberikannya. jika hanya sebagai penunjuk waktu, ia masih dapat memperkirakannya.
Fresya tak menyahut. Dia kembali menggerakkan tubuhnya, berusaha untuk bangun. Namun, kaki dan tangan Antares yang berada di atas tubuhnya membuatnya tak bisa bergerak ke mana-mana. Lengan yang memeluk perutnya itu sangat berat, begitu juga dengan kaki yang membelit kakinya. Entah hanya perasaannya saja, atau memang Antares sangat berat, seperti batu saja. Bukan hanya membuatnya tak bisa bergerak, dia bahkan tidak bisa menjauhkan lengan yang mengungkungnya itu.
"Ares, kau berat." Fresya merengek, bibirnya mengerucut. "Bisakah kau pindahkan tanganmu?" pintanya.
Antares menggeleng. "Kau pasti akan pergi dari sini jika aku melepaskanmu," sahutnya seduktif. Tangannya meraih dagu Fresya, mendongakkan wajah yang menghadap dadanya. Memagut bibir mungil yang masih saja mengerucut.
Fresya membeku sesaat. Lagi-lagi Antares menciumnya, dengan ciuman panas. Indra pengecapnya menerobos melalui celah bibirnya yang sedikit terbuka. Dia tak sengaja, jilatan di bibirnya membuatnya mendesah tanpa sadar. Antares langsung memasukkan benda lunak dan panas itu, mengobrak-abrik isi di dalam mulutnya. Tubuhnya bergetar, tangannya gemetar memukul bahu kekar yang berkeringat.
Eh? Antares berkeringat sepagi ini? Apakah Antares kepanasan? Berarti mereka sama, dia juga kepanasan. Rasa panas yang berbeda, membuat pukulannya di bahu Antares semakin melemah.
"Sekali lagi?"
Sekali lagi apa? Fresya tak mengerti apa yang dimaksudkan Antares dengan sekali lagi itu. Namun, senyum manisnya membuatnya mengangguk, dan sadar dengan arti pertanyaan itu setelah Antares kembali menindihnya.
***
Suara halilintar masih bersahutan meskipun malam sudah berganti pagi. Tetap tak ada matahari, langit Ameris selalu gelap setelah kelima gadis tiba di planet ini untuk kedua kalinya. Guncangan dan gempa kecil terjadi setiap hari, kilat dan petir hampir tak berhenti. Semua itu akan berakhir jika penyangga utama sudah ditemukan, Ameris akan kembali indah seperti sediakala.
Lucia yang pertama tiba di ruang makan. Sejak kemarin dia sangat bersemangat setelah tuan Callisto memberikan izin padanya untuk menemani Antares ke luar kastil menjemput wanita yang diduga sebagai penyangga utama menggantikan mendiang Putri Amery. Rasanya dia sudah tidak dak sabar untuk menemui wanita itu. Dia sendiri akan membujuknya supaya mau ikut bersama mereka ke kastil Amethys, mahkota Putri Amery harus segera dikenakannya. Jangan sampai mahkota itu direbut oleh penyihir wanita yang bernama Nereida. Dia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada Ameris jika Nereida yang mengenakan mahkota itu. Tanpa sadar Lucia bergidik. Dia segera duduk di kursi kosong yang biasa didudukinya.
Tita menjadi orang yang kedua tiba di ruang makan. Dia juga segera duduk di kursinya, di samping Lucia. "Selamat pagi, Lucy!" sapanya tersenyum lebar. "Bagaimana tidurmu tadi malam, apakah nyenyak?"
"Selamat pagi, Tita!" balas Lucia dengan senyuman tak kalah lebar. "Aku gelisah sepanjang malam tadi malam,. tidurku tidak terlalu nyenyak," adunya polos.
Tita mengerutkan alis mendengarnya. "Kenapa? Kau tidak bermimpi buruk, 'kan? Sebab aku tidak ingin memulai hari dengan perasaan tidak baik."
Lucia mengerutkan alisnya. Dia yang bermimpi buruk, kenapa jadi perasaan Tita yang ikut buruk? Lucia menggeleng pelan. Sangat aneh menurutnya.
"Apa mimpimu, Lucy? Kuharap bukan tentang monster." Tita menatap Lucia dengan mata memicing.
"Bukan!" jawab Lucia sambil menggeleng. "Aku bermimpi kita kembali ke dunia kita tanpa menyelesaikan masalah yang kita tinggalkan."
Tita memutar bola mata. Mimpi Lucia ternyata tak dak seburuk yang dia kira. Dia hanya khawatir berlebihan. Namun, dia dibuat menahan napas setelah Lucia memberi tahu mimpinya lebih lanjut.
"Itu tidak seberapa. Yang paling menakutkan adalah kita kembali tanpa Fresya."
Tita menegang. "Apa maksudmu?" tanyanya. Tatapannya masih sama, menyelidik. "Apakah Fresya tinggal di sini saat kita kembali?"
Lucia kembali menggeleng. "Tidak, Fresya tewas."
Mata karamel Tita melebar, membelalak tak percaya menatap Lucia. "Mimpi apaan itu?" tanyanya kesal. "Kupikir kau hanya bercanda. Lucy. Mimpimu tidak akan terjadi, Fresya akan ikut kira kembali, dia tidak akan tewas!"
Lucia mengangguk. "Aku tahu!" sahutnya cepat. "Fresya tidak akan kenapa-kenapa."
"Ada apa dengan Fre?"
Kedua gadis yang masih asyik mengobrol itu menoleh secara bersamaan. Tampak Thea dan Anne memasuki ruang makan yang sangat luas. Ruangan ini luasnya seperti salah satu ruangan di perpustakaan negara yang mereka kunjungi sebulan yang lalu. Sebuah meja besar dikelilingi puluhan kursi dengan ukiran yang sangat cantik. Namun, ruangan ini lebih kecil dari aula yang terlihat seperti ballroom sebuah hotel berbintang.
Yang bertanya tadi adalah Thea,. Dia menarik sebuah kursi di sebelah Lucia, kemudian meletakkan bokongnya dengan hati-hati di kursi itu. Tatapannya berganti-ganti pada kedua temannya yang sudah lebih dulu berada di ruangan ini, sepasang alisnya berkerut. "Apa ada sesuatu dengan Fre?" Dia kembali mengulangi pertanyaannya.
Anne ikut duduk di kursi di sebelah Thea, tanpa suara. Namun, dia mendengarkan dan menyimak pembicaraan teman-temannya. Dia sedikit memajukan tubuhnya, menolah ke kiri di mana teman-temannya berada.
Lucia dan Tita menggeleng bersamaan. "Tidak ada apa-apa sebenarnya," jawab Tita. Dia meringis melihat tatapan Thea yang menyelidik dan curiga. "Lucia tadi menceritakan mimpinya, kita semua kembali ke dunia kuta, tapi tanpa Fre."
Tautan alis pirang Thea semakin tajam. "Maksudnya?" tanyanya menggelengkan kepala. "Aku tidak paham, bisakah kau jelaskan lagi?"
Lucia menjilat bibir sebelum menjawab. Walaupun hanya mimpi, tetap saja sangat buruk baginya. "Aku bermimpi kita semua kembali dan meninggalkan Ameris dalam keadaan tetap seperti ini. Yang lebih buruk lagi kita kembali tanpa Fre, dia ... dia tewas." Lucia menggigit bibir setelah mengatakan itu.
"Astaga, bagaimana mungkin kau bisa bermimpi seperti itu?" tanya Thea gusar. Wajah cantiknya mengeras dengan tangan kanan mengepal. Dia memukulkan kepalan tangannya ke meja dengan keras.
Tita sudah menduga reaksi Thea akan seperti ini. Okeh sebab itu, dia hanya diam membiarkan Lucia yang bercerita. Lagipula, itu adalah mimpinya. Dia tidak berhak menceritakan apa pun.
"A ... aku juga tidak tahu, Thea!" jawab Lucia terbata, tubuh mungilnya mengerut. Thea yang paling pemarah di antara mereka, dia takut seandainya Thea menyerangnya di sini. "Aku mimpi begitu saja."
Anne menyentuh lengan Thea, mengusapnya lembut berusaha menyabarkan. "Itu hanya mimpi, Thea, kau tidak perlu marah seperti ini, 'kan?" katanya. Dia yang paling tua, dia memiliki tanggung jawab untuk menegur teman-temannya.
"Aku tidak marah, hanya kesal saja!" sahut Thea ketus.
"Aku juga seperti itu!" Tita menyahut. "Rasanya sangat mengesalkan, jangan sampai itu terjadi." Dia menggeleng. "Kita yang sudah membuat Ameris jadi seperti ini, kita juga yang harus mengembalikannya indah seperti semula. Satu lagi, kita harus kembali berlima, tidak boleh ada satu pun dari kita yang tertinggal."
"Aku setuju!" sahut Lucia cepat. Dia mengangkat kepalan tangannya ke udara. Semangatnya kembali lagi. "Kita datang ke sini berlima, harus kembali berlima juga. Iya, 'kan?"
"Tentu saja! Aku akan memastikan kita semua kembali berlima!" Thea mengepalkan kedua tangan kuat. Dia berjanji dalam hati akan membawa keempat temannya pulang dengan selamat ke tempat asal mereka. Tidak boleh ada yang tertinggal, apalagi sampai tewas. Dia yakin semuanya akan baik-baik saja, dan akan kembali seperti semula tanpa harus ada kehilangan lagi. Sudah cukup dua orang penting bagi Ameris saja yang pergi, sedapat mungkin mereka yang tersisa harus bertahan.