Dijadikan Upeti

1580 Kata
Bagian : 3 Udara lembab pegunungan meresap menembus kulit, membuat tubuh Amira mengiggil, dan wajahnya seperti membeku, pakaian yang dia kenakan memang tidak layak untuk hawa dingin menusuk seperti ini. Bos gendut masih terus berbincang dengan pria asing tersebut, sesekali pandangan mereka menatap tajam dan itu jauh membuat Amira merasa merinding dibandingkan hawa dingin yang menghujam. Situasi ini semakin membuat ketakutan, karena memang faktanya bos gendut adalah pemenang lelang atas tubuhnya. Seorang pria muda masuk tergopoh-gopoh tanpa mengucapkan salam, dan langsung menemui pria asing dan bos gendut yang masih duduk di depan Amira, dan mereka mulai bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia. "Amila, lo ikut dia." Perintah si bos, sembari menatap dalam. Sopir pribadinya segera mendekati dan menyerahkan map yang sedari tadi di pegangnya dan memberikan kepada Amira. "Nanti lo kasih map tersebut kepada olang yang ental Lo temuin nanti," ucapnya lagi, dan Amira hanya mengangguk perlahan. "Ayu, kamu ikut saya," ucap pria muda yang baru datang tadi. Amira segera beranjak dari tempat duduk dan mengikuti langkahnya, diikuti oleh semua orang yang ada di situ. "Lo kasih selvis yang bagus sama olang itu, setelah ulusan lo selesai tunggu saja di depan vila, nanti di jemput, lo ngelti." Tegas bos gendut, sesaat Amira akan menaiki motor mengikuti pria muda tersebut. Sekali lagi gadis malang itu hanya mengangguk. "Dekat ko, hanya berselang beberapa rumah dari sini," ujar pria itu, saat Amira sudah ada di boncengan motornya. Mungkin hanya dua menit, mereka sudah sampai di rumah yang hampir sama dengan yang tadi, hanya warna cat bangunannya saja yang berbeda. Sepertinya masih di dalam lingkungan komplek yang sama. "Kamu tunggu di sini sebentar." Pria itu segera masuk ke dalam vila tersebut, dan tidak lama keluar lagi bersama pria paruh baya yang sepertinya penunggu rumah ini. "Kamu ikut Bapak ini, setelah urusanmu selesai tunggu saja di depan teras, nanti kujemput lagi," ucap pria muda itu. "Baik, Bang," jawab Amira, dan mulai mengikuti si Bapak masuk kedalam rumah, dan si pria tersebut langsung berlalu dengan motornya. "Duduk dulu, Neng!" ujar si Bapak, sesaat setelah kami berada di ruang tamu, dan dia langsung masuk kedalam, sebentar kemudian langsung keluar rumah dan menutup pintu dari luar tanpa berbicara lagi. Sendiri di ruang tamu yang lumayan luas, dengan map berada dipangkuan. Resah, gelisah ... apa yang akan terjadi dengan nasibnya selanjutnya. Apakah hanya akan berubah pemangsa saja? Sementara terlepas dari mulut singa dan srigala, justru malah menjadi santapan buaya. Amira hanya bisa berpasrah kepada pelindung takdir hidup. Amira percaya jika Sang Pelindung itu memang ada, yang mengatur dan merencanakan hidup kedepannya. Tidak terlihat, tetapi hatinya sangat meyakini Dia yang mengatur semua. Terkadang, mungkin karena keceplosan ataupun lelah dengan hidup yang dijalaninya. Tante Banci pun suka bercerita tentang Tuhan, walaupun saat dia menyadarinya dia tidak mau lagi membahas tentang itu, tetapi Amira selalu teringat tentang sosok Tuhan yang Tante Yusnia ceritakan. "Kamu siapa?" Terdengar suara berat bertanya kepada Amira, sedikit mengagetkan di tengah-tengah lamunannya tadi. Sekejap Amira menoleh dan bertatap mata dengan pemilik suara berat tersebut. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap, dan entahlah, ada kesan kewibawaan dalam dirinya. Menatap dalam dengan wajah bersihnya yang memancarkan cahaya ketenangan dan pesona yang terpancar. Ada rasa kenyamanan merambat dalam diri Amira, semoga apa yang terlihat dan terasa bukanlah sebuah tipuan belaka, harap Amira. "Sa--saya, Amira, Tuan," jawab Amira, sedikit terbata. "Ada urusan apa, Kamu menemui saya?" selidiknya, sembari tetap menatap dalam, dan Amira tertunduk, tidak berani lagi melihat tatapan matanya. "Sa-saya, tidak tahu, Tuan," jawab Amira, pandangannya tetap menunduk dalam. "Ko bisa, Kamu sendiri tidak tahu, tiba-tiba ada di tempat penginapan saya." Pertanyaannya masih terus menyelidiki keberadaan Amira disini. "Saya hanya di suruh, Tuan, tanpa saya tahu apa maksudnya." Pria itu mendekati, dan duduk pas dibangku seberang Amira, yang hanya terhalang dengan sebuah meja. "Yang Kamu bawa itu apa?" tanyanya kembali. "Entahlah, Tuan, Saya benar-benar tidak tahu." "Coba Kamu berikan pada saya," ucapnya, sambil tangannya disodorkan ke arah Amira, meminta map yang sedari tadi ada di pangkuannya. Amira memberikan map tersebut, sembari memberanikan diri menatap ke arah pria tersebut. Dibuka-buka map itu sebentar olehnya, dan sedikit bergumam dia berkata. "Hmm ... benar ternyata adanya." Diletakkan map tersebut di atas meja, sesaat pria itu terdiam, sembari matanya tetap menatap Amira dalam. "Siapa Kamu sebenarnya? Apakah kamu semacam upeti yang diberikan?" terus saja mencecar Amira dengan pertanyaan. "Upeti itu apa, Tuan?" tanya Amira, karena memang tidak tahu maknanya. "Sudahlah, jika kamu tidak tahu, tidak apa-apa." Pria paruh baya itu segera berdiri dan masuk ke ruangan dalam, tetapi tidak beberapa lama, Ia keluar lagi dengan membawa dua gelas minuman. "Minum dulu teh manis hangat ini, badanmu kulihat menggigil kedinginan," ujarnya, sambil terus menatap Amira tajam. "Terima kasih, Tuan." Segera Amira mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan, Pria dewasa ini memang benar, tubuh Amira benar-benar merasakan kedinginan. "Berapa usiamu?" tanyanya. "Jalan empat belas tahun, Tuan." "Kamu tahu, kenapa kamu di suruh menemui saya dan untuk apa?" Amira terdiam, menunduk dalam, walaupun tahu alasannya, tetapi tidak punya keberanian untuk menjelaskan. "Kamu tahu, jika tubuhmu sengaja diserahkan untuk saya!" ada penekanan pada perkataannya. Amira tetap tertunduk diam. "Kamu suka rela menyerahkannya?" Amira masih tertunduk diam, berusaha mengendalikan debar di d**a, menarik napas dalam-dalam, dan memberanikan diri bicara. "Itu bukan inginku, Tuan," jawabnya, sesaat memberanikan diri menatap ke arah pria tersebut. "Sedari kecil, aku tidak punya hak untuk menentukan hidupku sendiri, semua sudah ditentukan oleh orang yang mengasuhku." "Maksudnya?" tanyanya lagi, sembari meminum teh, tatapan matanya tidak lepas ke arah Amira. "Dari bayi, aku dan beberapa kawan yang lain, diasuh hanya untuk dijual keperawanannya, Tuan," ujar Amira, air matanya mulai mengembang. Terlihat, pria paruh baya itu menarik napas panjang, dan menyenderkan tubuhnya di kursi yang didudukinya. "Siapa, namamu?" tanyanya. "Amira, Tuan." "Kamu sudah Makan?" "Be--belum Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi." "Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira, raut wajahnya terlihat khawatir. "Apa saja, Tuan." Sembari mendekap tubuh, melawan rasa dingin yang menerkam. Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekat dengan membawa selimut di tangannya. "Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil menyerahkan selimut. Sekilas tersenyum. "Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan terdiam sejenak. "Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" tanyanya, menyelidiki. "Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Air mata Amira mulai membasahi pipi. "Saya tidak punya kekuatan dan keberanian untuk menghindari ini semua. Di mata pengasuh, kami hanyalah barang yang bisa diperjualbelikan semaunya," tegas Amira sembari menyeka air mata. "Berarti, kamu tidak tahu siapa orang tuamu." "Tidak tahu, Tuan." Tangisnya semakin terisak, sesak dadanya. "Siapa nama pengasuhmu?" "Mami Merry, Tuan." "Mami Merry, baik terhadap kalian?" tanyanya lagi. Tangis Amira semakin kencang, mengingat bagaimana perlakuan mami terhadap mereka semua, anak asuhnya. Amira terdiam, berat untuk bersuara. "Setelah kamu dianggap selesai melayaniku, lalu kau akan kembali kepada pengasuhmu?" "I--iya, Tuan." "Lalu?" "Kami harus melayani tamu yang datang, Tuan." "Kamu, mau?" tanyanya, Amira menggeleng perlahan. "Tolong saya, Tuan ... keluarkan saya dari jalan kotor ini," lirih Amira, mengiba, meminta pertolongan dengan menangkupkan kedua tangan di depan d**a. "Bagaimana caranya menolongmu?" "Sa--saya tidak tahu, Tuan." Jemari Amira sibuk menghapus genangan air mata dengan selimut. "Kamu bersedia, jika saya memintamu untuk melayani saya," ucapnya pelan. Terhenyak Amira mendengar ucapan pria tersebut, tertunduk dan terdiam sesaat. "Saya hanya benda, Tuan. Sudah terjual, bebas untuk digunakan pembelinya, saya tidak punya kekuatan apa pun untuk melawan." "Kamu tahu, jika kamu sebenarnya cerdas?" "Benda tidak bisa berfikir, Tuan. Tidak berhak untuk membuat pilihan." Pria itu tertawa pelan. Tidak lama terdengar suara pintu diketuk dari luar, pria itu segera berdiri dan berjalan ke pintu utama, dan kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi makanan, diserahkan kepada Amira, satu. "Kubelikan Nasi goreng, makanlah dulu." "Terima kasih, Tuan. Terima kasih." Mengambil nasi goreng dari tangannya. Entahlah, mungkin karena rasa lapar yang mendera, hingga terasa nasi goreng itu nikmat sekali. Sementara pria paruh baya itu memilih untuk memakan ketoprak. Tidak ada pembicaraan sama sekali di antara mereka, selain hanya sibuk menikmati makanan yang tersaji. "Ceritakan padaku tentang siapa, Mami Merry?" tanyanya, selesai mereka menghabiskan makanan. "Mami Merry menjual kami setelah selesai mendapatkan haid pertama kali. menawarkan keperawanan kami dengan cara dilelang kepada pembeli tertinggi," jelas Amira. "Berapa hargamu?" tanyanya, pria itu menyalahkan rokok, dan mengisapnya perlahan. "Saya tidak tahu, Tuan," jawab Amira, sembari meminum teh yang tadi dibuatkan. Perasaannya mulai merasa tenang walau hanya berdua dengan pria tersebut. "Panggil saja aku, Darmawan," ucapnya, "Boleh, Pak, Om, atau pun mau sebut nama saja, terserah kamu," ujarnya, sambil terus mengisap dalam rokoknya, tatapan matanya tetap memperhatikan Amira. "Baik, Om." Amira kembali tertunduk, tidak berani menatap ke arahnya. "Selesai menjual keperawananmu, lalu akan kamu lanjutkan menjadi sebuah profesi?" pertanyaannya benar-benar mengoyak hati Amira. "Saya tidak pernah menjual kehormatan saya, Om! Saya terpaksa. Jika menolak, bisa mati disiksa dan dibunuh Mami Merry dan tukang pukulnya," jelas Amira, tegas. Air matanya mulai mengembang kembali. "Maaf, jika membuatmu tersinggung, Mira." Om Darmawan mematikan rokoknya di asbak, dan meminum kembali tehnya. "Kamu disekolahkan pengasuhmu?" "Tidak, Om. Saya tidak pernah bersekolah," jawab Amira. "Om, boleh saya ijin ke kamar mandi?" "Silahkan, Kamu lurus saja, kamar mandinya ada di sebelah kiri." Tangannya menunjuk ke arah pintu ruangan dalam. Amira pun segera berdiri dan mengikuti arahannya. Memperhatikan wajah diri di depan cermin kamar mandi. Terlihat wajah gadis belia yang dipaksakan dewasa. Dengan makeup tebal dan lipstik berwarna merah terang. Amira merasa jijik melihat mukanya sendiri. Membasuh wajah, membersihkan semua riasan, lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Berkaca sesaat, dan tertegun sejenak. "Apakah aku sudah terlepas dari cengkeraman manusia buas?" tanya batinnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN