Cukup melelahkan bekerja sebagai tukang bersih-bersih disekolah. Tak segampang saat ia menjadi pemilik perusahaan, tentu saja hal itu sangatlah berbeda karena keadaan pun berbeda. Memang tak bisa dibanding-bandingkan hidupnya yang dulu dengan sekarang, karena yang terpenting dari itu semua adalah tetap menysukuri apa yang Tuhan berikan, setidaknya hidupnya bebas tidak terkurung di jeruji besi lagi dan tidur di lantai yang dingin bersama mereka yang juga melakukan tindakkan kriminalitas.
"Pak Erick, kemarilah .." panggil salah satu guru, Erick yang tengah beristirahat segera menghampiri beliau.
"Iya ada apa pak?" tanyanya mencoba sopan
"Bisa meminta tolong untuk membelikan keperluan dapur di kantor?" kata pria itu, Erick dengan cepat mengangguk. Tentu saja walau ia tengah lelah, tak boleh ada kata penolakan. ia harus terlihat selalu baik-baik saja.
"Bisa pak." Guru itu tersenyum, melihat semangat Erick.
"Tunggu sebentar ya." lalu merogoh saku celananya.
"Ini, daftar bahan-bahan yang harus dibeli dan ini, uangnya. Kalau bapak ingin beli makanan atau minuman silahkan saja."
"Iya terima kasih pak."
"Iya sama-sama."
"Kalau begitu saya pamit dulu."
"Oh ya! Ini kunci mobil saya, bapak pakai mobil saya saja."
Erick menerima kunci mobil itu. "Terima kasih banyak pak, saya pamit dulu." pintanya lalu diangguki oleh guru itu. Erick segera pergi menghampiri mobil beliau untuk pergi ke supermarket.
Meski menjadi pesuruh, tapi ia harus mensyukuri apapun yang Tuhan berikan. Setidaknya uang itu harus bisa terkumpul sedikit demi sedikit untuk membangun bisnis yang besar lagi. Berkumpul bersama anak-anaknya dan membesarkan mereka, memberikan kasih sayang yang sebelumnya tidak pernah ia bagi.
Jalanan nampak ramai, tapi tidak sampai menimbulkan macet. Erick berkendara dengan tenang, kembalinya ia ke Bali sebenarnya mengusik ketenangan. Bali adalah destinasi yang pernah ia kunjungi bersama mendiang Sarah. Bali adalah titik balik segalanya, tempat dimana segala hal mulai terungkap. Kesedihan, kebahagiaan dan penyesalan bercampur menjadi satu di tempat ini.
Bali adalah destinasi impian Sarah, tempat favoritnya adalah pantai Sanur. Tapi Bali juga adalah bentuk penyesalannya, tempat yang membuat mantan istrinya merasakan sakit yang luar biasa, tempat ia mengkhianati Reyea sesakit-sakitnya.
Air mata pria itu jatuh membasahi pipi. Rasa menyesal dan menyalahkan diri sendiri memang tak dapat terelakkan. Seberapa murkanya Tuhan pada dirinya ia tak tahu, tetapi yang jelas apa yang pernah diperbuatnya adalah kesalahan terbesar.
Erick menjadi pria sesedih ini sekarang, sendiri sepi bertabur kenangan buruk. Ia memang tamak, rakus, dengan mengandalkan nafsu diri.
Tak lama mobil itu telah sampai di area supermarket, setelah memarkiran mobil Erick keluar dan segera menuju supermarket untuk membeli kebutuhan dapur sekolah. Ia berjalan masuk di loby, dan mengecek beberapa daftar bahan-bahan yang harus dibelinya. Pertama-tama ia berjalan membeli bumbu-bumbu, memasukkan semua yang di perlukan. Setelah selesai ia berjalan mencari sayuran, sesuai yang di inginkan. Setelah keranjang itu penuh, ia beralih ke rak-rak makanan ringan. Matanya melihat kesekitar, di ujung rak ada seorang wanita juga tengah memilih beberapa makanan ringan.
Wajah wanita itu nampak begitu familiar baginya, Erick mencoba menerka-nerka. Dia baru ingat sesuatu, jika wanita itu adalah Melody, saat Erick hendak meneriaki namanya Wanita itu justru berlalu pergi. Tak ingin kehilangan jejak Erick berlari menyusulnya tapi tepat di antara perbelokan ia menabrak seseorang.
Barang-barangnya jatuh kelantai, wanita paruh baya yang di tabraknya itu bersungut marah. Erick mencoba meminta maaf beberapa kali sembari merapikan belanjaannya. Setelah selesai, ia melihat lagi kearah Melody berjalan yang ternyata sudah tak ada. Erick menghela napas panjang.
"Melody ternyata kamu disini.." cicitnya sembari tersenyum senang. Jadi, ada sedikit cahaya terang untuk menemukan anak-anak mereka. Setidaknya Melody masih berada tak jauh darinya dan Erick akan segera menemui wanita itu.
Ia benar-benar merindukan anak-anaknya, juga penasaran dengan wajah mereka.
_______________________________
Melody sudah selesai berbelanja kebutuhan kedai, ia kini sudah ada dirumah sembari menyusun kembali belanjaannya untuk di bawa ke kedai. Tak lupa, ia juga membelikan makanan ringan kesukaan Resya sebagai bentuk permintaan maafnya karena sudah berlebihan memarahi gadis itu. Bagaimana pun juga ia merasa bersalah karena sudah keterlaluan, ia tak tega berlama-lama menyakiti hati dan mendimkan Resya. Ponakannya itu segala-galanya untuk Melody, ia tak ingin Resya bersama orang yang salah.
Namun, sebagai orang tua ia merasa apa yang dilakukannya adalah bentuk sikap yang wajar. Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya terjerumus kedalam lubang kesalahan, namun sebagai orang tua juga Melody ingin belajar untuk bersikap biasa-biasa saja. Tak terlalu mengekang Resya agar tak menimbulkan kemurungan dan sikap traumatis kepada gadis itu. Memang cukup sulit menjadi orang tua tunggal, tapi biarlah ini menjadi pelajaran yang pantas dalam hidupnya.
Sebenarnya, Melody senang-senang saja jika Resya dapat mengenal lelaki. Tapi sikapnya semalam memang membuatnya sedikit kesal. Andai saja mereka izin kepadanya mungkin Melody bisa memaklumi.
Drrrttt.. drrtt..
Ponselnya berbunyi, Melody dengan sigap mengangkat panggilan itu.
"Ya hallo Rendy?" Sapa Melody, ia senang mendapati kabar temannya ini.
"Aku ingin kerumah mu, apa kau ada dirumah atau di kedai?"
"Hari ini aku libur, dan ada dirumah. Kemarilah." kata Melody senang.
"Baik, tunggu saja ya? Dan jangan lupa kopi panas untukku."
"Siap tuan." Mereka berdua tertawa, lalu Melody menutup panggilan itu.
Rendy adalah teman yang membantunya dengan senang hati saat terluka. Pria itu membantunya untuk mendirikan kedai di Bali. Rendy juga yang membantu mengembangkan bisnisnya itu hingga seperti sekarang. Sebab itulah Melody berhutang banyak kepada pria tersebut.
Ada banyak hal yang telah Rendy lakukan untuknya. Dulu sekali, pria itu juga membantu dalam membesarkan Resya saat diawal perpindahan Melody. Namun, karena pendidikan, Rendy harus meninggalkan Melody dan beberapa tahun ini pria itu sudah kembali ke Bali untuk berkumpul bersamanya.
Melody sudah selesai menyusun barang-barangnya. Ia kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan kopi panas dan cemilan untuk Rendy. Melody sudah tak sabar untuk bertemu pria itu dan menceritakan semuanya selama mereka berpisah.
Tak lama pintu bel rumahnya berbunyi, Melody dengan segera membukakan pintu untuk tamu itu.
"Hai!" sapa Melody kegirangan, Rendy tersenyum dan memeluk wanita itu.
"Aku benar-benar merindukanmu." kata Rendy kegirangan, Melody melepas pelukan itu dan tersenyum.
"Ayo kita masuk, aku sudah menyiapkan kopi panas untukmu."
"Oke." Mereka berdua kemudian masuk kedalam, Melody tak henti-hentinya tersenyum senang. Sahabat karibnya itu kini makin tampan dan dewasa tak seperti terahkir kali mereka bertemu.
Rendy duduk di kursi kayu, Melody beralih ke dapur untuk menyuguhkan minuman.
"Ren, tolong diminum ya?"
Rendy tersenyum, "Pastilah.." sahutnya senang lalu menyeruput sedikit kopi itu.
"Apa Resya disekolah?"
"Tentu saja, aku pikir kamu tidak suka jika ponakan mu itu bermalas-malasan."
"Syukurlah, bagaimana dia? Apa masih cerewet seperti dulu?" tanya Rendy, Melody mengangguk.
"Tentu. Tapi ada hal yang ingin kukatakan padamu." terangnya, Alis Rendy terangkat. Melody menatap kearah Rendy dengan serius.
"Resya sudah berani mengenal cowok Rendy!" serunya, Namun Rendy justru bersikap biasa-biasa saja.
"Bagus dong, itu mengajarkan Resya untuk mengenal kehidupan yang sebenarnya."
"Tapi Rendy, aku takut."
"Takut kenapa? Tidak semua orang memiliki kekelaman yang sama. Apa kamu ingin Resya sama sepertimu?" kata Rendy, Melody terdiam benar juga yang dikatakan pria itu, ia tak ingin nantinya Resya takut mengenal pria.
"Melody, jangan seperti ini kau akan menyiksanya."
Melody terdiam, "Dan kau juga harusnya mencoba hal yang serupa." Melody justru melebarkan matanya.
"Apa maksudmu?"
"Terima lamaran ku Melody." kata Rendy lagi, dengan kalimat yang sama tapi waktu berbeda. Lagi dan lagi Melody hanya dapat terdiam, tak tahu harus menjawab seperti apa. Pandangan mereka bertemu, seolah saling mengatakan satu sama lain dari hati ke hati.