9. Sebentar Lagi Dia Bukan Suamiku!

1076 Kata
Jansen mengejar Venus. Bukan ini yang dia inginkan. Dia tidak ingin berpisah dengan Venus, baginya hanya Venus yang bisa menjadi istrinya. “Aku tidak akan berhubungan lagi dengan Ellina! J-jadi, jangan mengatakan jika kau ingin bercerai dariku!” pinta Jansen. “Dasar pecundang! Apa kau baru memutuskannya setelah aku memergoki kalian? Bagaimana jika aku tidak pernah mengetahuinya?” “Kali ini saja, kumohon!” pinta Jansen sambal memegang tangan Venus. Tatapannya penuh dengan permohonan. “Jangan tinggalkan aku, a-aku tahu aku salah!” Dengan kasar Venus menghempas tangan Jansen, dia kembali menarik koper sampai ke basement. “Shut up, Jan. Seharusnya kau tahu jika pernikahan kita akan hancur tapi kau tidak pernah berpikir seperti itu ‘kan? Jadi untuk apa mempertahankan hubungan seperti ini, huh?” Venus memilih naik mobilnya sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan Jansen, tidak akan merubah keputusannya. Di tengah dirinya yang sedang kesal, sedih hati, dan kecewa. Tiba-tiba saja ponselnya berdering menandakan ada panggilan yang masuk. Venus melirik sekilas. Terpampang jelas dilayar nomor tidak dikenal. Venus hanya mengabaikan panggilan itu karena sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Venus memilih untuk tidak mengangkatnya. Namun, panggilan terus menerus masuk. Tidak punya pilihan, Venus pun menjawabnya. “Apa kau tidak punya pekerjaan lain selain menghubungi orang?” tanya Venus dengan nada kesal. “Tidak. Aku rindu mendengar suaramu!” Venus tersentak kaget mendengar suara berat di seberang telpon, dia tahu suara itu milik siapa. “B-bagaimana kau tahu—” “Apa yang kau lakukan?” “Apa kau menelponku hanya untuk mengatakan hal menyebalkan itu?” “Tidak. Sudah kubilang aku merindukanmu!” “Oh, s**t! Kenapa kau terus mengangguku!” umpat Venus kemudian mematikan panggilan telpon secara sepihak. Namun, tampaknya Pakio tidak menyerah. Pria itu terus meneleponnya. Hingga berpuluh-puluh kali panggilan tidak terjawab dari Pakio, Venus pun memutuskan untuk mematikan ponselnya saja. Dalam hidupnya kini, bukan hanya Jansen, Ellina yang harus dihindari tetapi pria yang tidur dengannya juga. Venus masih enggan beranjak dari tempat parkirnya. Perempuan itu tampaknya begitu betah menghabiskan waktu dengan duduk berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Seorang diri pula. Bagi Venus, lebih baik sendiri seperti ini daripada bersama orang-orang seperti Jansen dan Ellina. Sungguh tidak disangka, sahabat yang paling ia percayai tega menusuknya dari belakang. Jika yang berselingkuh dengan Jansen itu bukan Ellina, sahabat baiknya. Mungkin Venus tidak akan terlalu kecewa seperti ini. Namun, ya sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Sudah hampir satu jam lamanya Venus memarkirkan mobil. Akhirnya, perempuan itu beranjak juga. Tujuannya kali ini adalah rumah orang tuanya. Entah apa tanggapan dari keduanya jika datang dalam keadaan begini. Membawa koper dengan penampilan mata sembab. Persetan dengan semuanya. Venus sama sekali tidak peduli. Di sisi lain. Tampak Pakio yang tengah kesal dengan membuang semua berkas yang awalnya tersusun rapi di mejanya itu ke sembarang arah. “Sial! Sial! Berani sekali dia!” ujar Pakio kesal. Pakio sungguh tidak tahu jalan pikiran Venus. Perempuan itu begitu jual mahal kepadanya. Venus secara terang-terangan ingin menghindar darinya. Lihat, perempuan itu sekarang bahkan secara terang-terangan mengabaikan telepon darinya. “Awas saja kau Venus! Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu!” Pakio memukul meja lumayan kuat. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidup seorang Pakio. Ia akan mendapatkan apapun yang diinginkan, tanpa terkecuali. Tidak ingin membuang waktu. Pakio pun menghubungi asistennya, Melvin untuk segera melacak keberadaan Venus. Ia harus bertemu dengan sosok perempuan yang selalu berhasil membuat akal pikirannya tidak berfungsi. Pakio tahu kalau memperjuangkan Venus adalah hal yang salah. Mengingat perempuan itu yang sudah berstatus sebagai istri orang lain. Namun, Pakio sama sekali tidak peduli. Ingatan malam waktu itu sungguh tidak bisa Pakio hilangkan sama sekali. Ketika ia mencoba ingin melupakannya, malah semakin kuat ingatan tersebut muncul di kepalanya. Pesona seorang Venus memang luar biasa. Padahal, masih banyak perempuan lain di luar sana yang masih segala-galanya dari Venus yang mau dengan dirinya ini. Meskipun begitu, Pakio hanya ingin Venus seorang untuk menjadi miliknya. Menjadi wanitanya. Tidak beberapa lama kemudian. Suara bel berbunyi. Hal itu tentu membuat Sekar, Ibu kandung Venus merasa keheranan. Kira-kira siapa yang bertamu pada malam hari begini? Karena tidak ingin terus-menerus mendengar suara bel di malam hari yang tentunya begitu mengganggu, mau tak mau Sekar pun menuju pintu utama. “Siapa sih, yang datang di larut malam begini? Sungguh tidak sopan!” ucapnya kesal. Hingga tak berapa lama, pintu pun terbuka. Bisa Sekar lihat sosok yang sangat tidak asing sedang tersenyum sambil membawa sebuah koper besar. “Venus?” katanya begitu terkejut. “Iya, Ma. Ini Venus.” Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Venus yakin kalau mamanya itu pasti kebingungan dengan kedatangannya yang mendadak begini. Namun, apa boleh buat. Tidak ada lagi tujuan yang bisa ia kunjungi selain rumah orang tuanya. Karena tidak ada respon, Venus pun langsung menyelonong masuk. “Venus, sebentar,” tahan Sekar. “Ada apa, Ma?” tanya Venus yang tampak enggan. “Kenapa datang larut malam begini sambil membawa koper? Di mana suamimu?” kata Sekar balik bertanya. “Sebentar lagi dia bukan suamiku! Aku ingin beristirahat. Besok saja ya penjelasannya.” Venus cepat-cepat melangkah untuk bisa segera pergi ke kamarnya. Dirinya tidak sanggup untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi kepadanya kepada sang mama saat ini juga. Ia butuh istirahat sejenak untuk menjernihkan pikirannya yang kalut. “Venus! Apa maksudmu?” Sekar dibuat semakin kebingungan. Apa maksud putrinya itu? Bukan lagi suami? “Venus! Jelaskan kepada mama dulu!” “Maaf, Ma. Venus benar-benar lelah. Tolong jangan ganggu Venus dulu,” pintanya. Venus terlihat menaiki anak tangga satu persatu dengan sedikit tergesa-gesa. Karena tidak memungkinkan untuk menghentikan sang anak, Sekar hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Baiklah, ia akan bersabar mendengarkan penjelasan sang anak keesokan harinya. Semoga saja apa yang tengah dirinya pikirkan tidaklah benar. Pasti, rumah tangga anaknya baik-baik saja. Hanya ada kesalahpahaman sedikit saja. Ya, pasti seperti itu. Di kamar. Venus menghempaskan tubuhnya begitu saja. Hari ini bukan hanya tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya juga. Venus memilih untuk berjalan kaki menuju rumah orang tuanya. Entah bagaimana jalan pikiran perempuan yang tengah merasakan sakit hati mendalam akibat dikhianati. “Semoga saja mama tidak bilang kepada pria b******n itu kalau aku ada di sini.” Doa Venus penuh pengharapan. Karena malam semakin larut, Venus pun memutuskan untuk tidur saja. Namun, ia enggan untuk sekedar mengganti baju atau membersihkan diri terlebih dahulu. Entah sejak kapan tepatnya, sosok perempuan dengan penampilan sedikit lusuh dan berantakan itu sudah tertidur nyenyak. Semoga saja hari esok akan ada sedikit kebahagiaan yang menghampiri seorang Venus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN