Malam semakin larut, namun Alliana masih belum tertidur. Rasa penasaran terus saja menghantuinya, sosok Ichiru yang selama ini diceritakan sang ayah begitu membuat dirinya penasaran. Ia memang penasaran bagaimana sosok Ryu, namun cerita ayahnya cukup jelas untuk menebak kepribadian Ryu yang dingin.
Alliana melambaikan tangannya di depan wajah Sousaki, ia berharap ayah angkatnya benar-benar tertidur.
“Ayah …” panggil Alliana pelan. Ia menatap Sousaki yang masih memejamkan mata dengan tenang, rasa lega juga ia rasakan. Namun, tangan Sousaki semakin erat memeluknya, membuat Alliana mau tak mau menahan diri untuk tidak menyumpahi ayahnya.
Perlahan, Alliana mengangkat tangan ayahnya dan meletakkannya di atas bantal. Gadis itu bergegas keluar dari kamarnya, ia melewati perpustakaan pribadinya dan melihat Robert yang terlelap.
Alliana melangkah pelan, ia tak ingin Robert menghalangi rencananya untuk berkeliling mansion. Ia juga ingin mencari di mana Ichiru tertidur dan ingin melihat bagaimana rupa kakak angkatnya.
“Akhirnya …” gumam Alliana saat berada agak jauh dari ruang pribadinya. Gadis itu berlari dan mengangkat gaun kuningnya, ia menuruni anak tangga dengan cepat dan sampai di lantai dasar mansion.
Sepi dan sunyi, namun ia tetap menyusuri sudut-sudut gelap mansion dan mencari ruangan yang mungkin saja digunakan Ichiru. Kakinya berhenti saat suara dentingan piano terdengar.
Indah ... hanya itu yang bisa ia gambarkan saat mendengar alunan melodi piano. Perlahan, Alliana berjalan. Ia memasuki taman belakang dan tidak peduli pada hawa dingin yang menusuk. Matanya menatap seorang pria berambut panjang, pria itu memejamkan mata namun tangannya terus menari, memainkan piano.
Terpaku, Alliana menikmati pemandangan yang begitu mengagumkan. Ia baru saja melihat seorang pria tampan, n****+-n****+ romansa yang sering ia baca seakan menariknya untuk menatap lebih dekat. Kaki gadis itu melangkah pelan, butiran salju masih turun perlahan.
“Siapa kau, anak kecil?” tanya pria tadi.
Alliana berhenti, ia berdiri tegak dan meremas gaun panjangnya. Ia ingin menjawab, namun saat pria itu berdiri ia terdiam. Matanya menatap pria bersurai panjang, begitu lekat dan detakan jantungnya berpacu cepat.
“Alliana?” tanya Pria itu. Suaranya terdengar serak, namun itu membuat Alliana merinding. Hawa dingin memasung kakinya yang ingin berlari, sedangkan angin mencekik lehernya hingga ia tidak bisa berucap apapun.
Tangan pria itu mengelus pipi Alliana, ia merasakan tubuh gadis itu bergetar, mungkin ketakutan.
“Si-siapa Anda?” tanya Alliana gugup. Gadis itu berusaha untuk mundur, namun tangan orang itu kini memegang tangannya. Terasa dingin, dan Alliana tahu jika pria itu sedari tadi menghabiskan waktu untuk berada di luar.
“Ichiru.” jawab pria tadi.
Alliana merasa lega, ia mengembuskan napasnya dengan tenang. Matanya kembali menatap pria itu, dan tersenyum.
“Kakak, ku kira Kakak orang asing,” ujar Alliana. Gadis itu tersenyum lebar, ia bahkan menatap setiap inci wajah Ichiru.
“Ayah akan mencarimu, Alliana. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu.” Ichiru melepaskan genggaman tangannya, ia berdiri tegak dan bersedekap sambil menatap adik angkatnya.
“Ayah sedang tidur, aku hanya ingin bertemu Kakak.” jawab Alliana.
“Baiklah, kau sudah bertemu denganku. Sekarang tidurlah, masih ada hari esok.” jawab Ichiru. Pria itu kembali duduk di depan piano lalu memainkannya lagi. Melodi indah kembali terdengar, namun angin malam semakin dingin.
“Ajarkan aku bermain piano, Kak.” Alliana menghampiri Ichiru, ia berdiri di dekat pria itu. Matanya menatap jemari Ichiru yang masih bermain lincah di atas tuts piano.
“Tidurlah, besok kita bisa bermain bersama.” Ichiru menghentikan permainan pianonya, ia menatap Alliana.
“Apa Kakak berjanji?” tanya Alliana.
“Ya. Tidurlah, Alliana.” jawab Ichiru.
“Selamat malam,” ujar Alliana sebelum pergi. Gadis itu berlari, ia meninggalkan Ichiru yang masih betah berada di luar sana. Setelah memasuki ruangan, Alliana terlihat tidak bersemangat. Kakinya melangkah pelan bahkan sesekali matanya menatap ke belakang.
“Baiklah, Alliana. Sekarang waktunya tidur,” ujar seseorang dari balik pilar besar.
Gadis itu sedikit kaget, ia tidak menyangka jika ulahnya akan ketahuan. Alliana menatap Sousaki yang kini menatapnya penuh kecewa, ia yakin Sousaki sedang kesal padanya.
“Ayah, maaf.” Alliana menundukan kepalanya. Gadis itu hampir menangis namun Sousaki segera menggendong tubuhnya.
“Kau dimaafkan, Alliana. Tapi, sekarang kau harus tidur,” ujar Sousaki.
Alliana hanya diam, ia memejamkan matanya dan memilih tidur. Alliana tidak ingin Sousaki kembali kecewa padanya, ia sangat takut jika pria itu meninggalkannya.
…
Pagi-pagi sekali, suara gaduh di kamar sudah terdengar. Alliana sedang mencoba beberapa gaun mewah, bahkan beberapa kali Nyonya Hansen harus mengubah tatanan rambut Alliana. Gadis itu terlihat tidak puas dengan penampilannya, ia bahkan duduk dengan kesal dan menatap kaca di depan matanya dengan tidak senang hati.
Alliana merasa kecewa, ia ingin secepatnya menemui Ichiru dan bermain bersama pria itu, tetapi ia juga belum puas dengan penampilannya. Alliana yang biasanya akan bermanja pada Sousaki harus membagi perhatiannya untuk sang kakak tercinta.
“Nona Muda, Anda sudah terlihat cantik.” Nyonya Hansen mengembuskan napasnya pelan.
“Ibu Asuh, aku hanya ingin menemui Kakak Ichiru dengan penampilan sempurna. Apalagi, aku sudah bangun pagi sekali untuk memasakan Kakak Ichiru dan Ayah Sousaki makanan.” jawab Alliana.
Iya, Alliana memang memiliki bakat memasak. Ia sudah sering di ajari oleh Nyonya Hansen, bahkan ia sering membuat kue bersama ibu asuhnya itu.
“Anda terlihat sempurna, Nona.” jawab Nyonya Hansen.
“Benarkah?” tanya Alliana sedikit ragu. Matanya kembali menatap kaca, ia mengamati dirinya dengam baik lalu tersenyum.
“Baiklah,” ujar Alliana. Ia menarik tangan ibu asuhnya dan berlalu ke luar ruangan. Senyuman Alliana membuat Tuan Hansen yang sejak tadi berada di luar tersenyum.
“Nona Muda, Anda sangat cantik!” puji pria itu.
“Ayah Asuh, kita makan bersama seperti biasa. Di mana Robert?” tanya Alliana.
Tuan Hansen tersenyum, “Robert berada di lantai dasar, Nona.” jawab pria itu.
Alliana kembali menarik tangan Nyonya Hansen, mereka menuruni tangga bersama dan beberapa kali suara tawa Alliana yang senang terdengar. Tuan Hansen yang mengekori dari belakang turut bahagia, ia tidak bisa membayangkan jika Alliana tahu segalanya di kemudian hari.
Sesampainya di ruang makan keluarga, Alliana menatap Sousaki yang duduk sendirian. Ia mencari keberadaan Ichiru, namun tidak menemukannya. Alisnya bertaut, seharusnya Ichiru ada di meja makan dan mereka akan makan bersama lalu bermain, namun pria itu tidak terlihat sama sekali.
“Putri Ayah, kenapa masih berdiri?” tanya Sousaki.
Alliana menatap ayahnya, ia duduk dan masih menatap ke segala arah.
“Kau mencari Ichiru?” tanya Sousaki.
“Ya. Di mana, Kakak?” tanya Alliana.
“Dia kembali, ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.” jawab Sousaki.
Alliana merasa kecewa, seharusnya ia menemui Ichiru lebih pagi dan bicara banyak dengan kakak angkatnya itu.
“Kau kecewa?” tanya Sousaki.
“Tidak. Aku hanya merasa bersalah, Ayah.” jawab Alliana. Ia tidak mengakui hatinya yang kecewa, ia tidak ingin ayahnya merasa diabaikan dan dirinya mengecewakan sang ayah.
“Kenapa kalian tidak duduk? Kita akan makan bersama.” Sousaki memandang kedua pengasuh Alliana, ia juga memandang Robert yang baru saja bergabung.
Tidak menunggu perintah, Robert dan kedua orang tuanya duduk. Sedangkan Alliana, gadis itu mengambilkan makanan ke dalam piring milik Sousaki.
“Kau memasak, Alliana?” tanya Sousaki.
“Ya. Ini semua aku yang memasaknya, ayah harus makan dan memberikan pendapat!” ujar Alliana.
“Baiklah, kita makan.” Sousaki meraih garpu dan sendok, lalu menikmati makanan yang Alliana berikan padanya. Pria itu menatap Alliana dan wajahnya terlihat serius, “Apa benar kau yang memasak?” tanya Sousaki.
“I-iya.” jawab Alliana gugup.
“Bagaimana menurutmu, Tuan Hansen?” tanya Sousaki.
Tuan Hansen hampir saja tersedak, ia terlalu fokus pada makanan di piringnya. Tuan Hansen menatap Sousaki, ia meminum air di gelasnya terlebih dahulu, “Tuan, masakan Nona Muda sungguh lezat.” jawab pria itu.
“Kau tidak berbohong?” tanya Sousaki.
“Ti-dak, Tuan.” jawab Tuan Hansen.
Alliana terlihat gelisah, ia baru pertama kali memasak untuk ayah angkatnya. Mata gadis itu menatap Robert yang diam dan tetap menikmati makanannya, ia tidak bisa meminta bantuan pada pelayan pribadinya itu saat ini.
“Bagaimana menurutmu, Nyonya Hansen?” tanya Sousaki lagi.
“Cukup baik, Tuan. Nona Muda hanya perlu sedikit lebih giat untuk belajar. Untuk masakan malam ini, sudah sangat baik dari beberapa bulan lalu.” jawab Nyonya Hansen.
“Dan, bagaimana menurutmu, Robert?” tanya Sousaki.
Robert menelan makanannya, lalu tersenyum. Ia menatap Alliana, dan ingin rasanya ia tertawa, “Ini makan terenak yang pernah saya makan.” Jawab Robert, “Yah, terbaik untuk pemula seperti, Nona Muda.” lanjut Robert.
Alliana menatap Robert kesal, ia benar-benar ingin mencincang pelayan pribadinya sampai hancur.
“Kau mendengarnya, Sayang?” tanya Sousaki pada Alliana.
“I-iya, Ayah.” jawab Alliana. Ia menundukan kepalanya, “Bagaimana menurut Ayah?” tanya Alliana.
“Kau memasak dengan baik, lidah setiap orang berbeda. Bagi Ayah, ini sangat baik dan lezat.”
Mendengar jawaban Sousaki, Alliana tersenyum senang. Ia kembali menambahkan makanan ke dalam piring Sousaki, “Jika demikian, Ayah harus makan,” ujar Alliana.
“Kau ingin Ayah gemuk?” tanya Sousaki.
“Ya. Aku tidak ingin ada wanita cantik yang mendekati Ayah.” jawab Alliana.
Robert dan kedua orang tuanya tertawa, mereka melihat Sousaki yang begitu senang dan menyayangi Nona Muda mereka. Suasana meja makan itu terlihat begitu hangat, ada canda dan tawa di antara mereka.