Ketika Arga dan Victoria berhasil selamat dari kejaran Ratu Camila, mereka malah bertemu dengan Agnes. Gadis keriting itu salah paham dengan keadaan Arga dan Victoria, hanya karena napas mereka terengah-engah, gadis bergaun gelap itu menilai kalau mereka telah melakukan hal yang tak senonoh di ruang keluarga. Karena tak terima dinilai seperti itu, Arga mau pun Victoria ingin meluruskan kesalahpahaman ini, tapi sayangnya, Agnes tidak memberikan kesempatan untuk mereka berbicara.
"Kalian benar-benar ... menjijikan."
Dengan memasang wajah mengerikan, sebuah hujatan tajam terlontar begitu saja dari mulut Agnes, membuat Arga mau pun Victoria berjengit mendengarnya, perasaan mereka bimbang, antara kesal dan malu. Kemudian, buku-buku ilmu hitam yang dibawa oleh Agnes diletakkan di kursi yang tersedia di sana, dan gadis keriting itu langsung merapalkan beberapa mantra pengusir setan dan menyembur muka Victoria dan Arga melalui air di dalam mulutnya.
Kini, wajah Victoria dan Arga basah, bukan oleh keringat tetapi karena tersembur oleh Agnes. Sungguh, Victoria sudah tak tahan lagi menghadapi sikap kerasnya Agnes yang seenaknya menyembur.
"Kak Agnes! Bisakah kau dengarkan dulu penjelasan dari kami!? Percayalah! Kami tidak melakukan apa pun di sini! Napas kami terengah-engah karena--"
"Karena apa!?" Agnes menyambar dengan cepat, membuat ucapan Victoria terpotong. "Dasar adik tak tahu malu," Lalu, pandangan Agnes dialihkan ke Arga. "Ka-kau juga! Bu-Bukan berarti aku kesal padamu! Ha-Hanya saja! Ak-Aku kecewa padamu yang telah melecehkan adikku! Aw-Awas saja! Akan kubuat kau ... men-menderita!"
Dengan muka memerah dan tubuh kikuk, Agnes langsung memalingkan muka dari Arga kemudian kembali membawa buku-bukunya dan pergi meninggalkan mereka.
"Ya ampun~ aku tidak percaya kita juga harus berpapasan dengan kakakku yang super mengesalkan itu! Huh~ tapi syukurlah dia sudah pergi," Victoria mengusap-usap dadanya, bersyukur atas segalanya. Lalu, dia menoleh pada Arga. "Kalau begitu, kita harus pergi ke kamar masing-masing dan berpisah di sini, Arga. Terima kasih atas waktunya, kau sangat baik."
Gadis pirang itu pun meninggalkan Arga dengan kedipan mata, sekarang hanya lelaki itu yang tengah berdiri sendirian.
"Mimpi apa aku semalam, ya? Bisa jalan bersama Victoria, dikejar oleh Ratu Binesta, dan dikejutkan dengan Agnes. Yang lebih buruk lagi, Raja William memilihku untuk menjadi Raja selanjutnya. Urgh! Memikirkannya saja membuatku tak tahan ingin ke toilet."
Arga bergegas menuju kamarnya, mengabaikan segala hal yang mengganggu pikirannya. Kebingungan yang dia rasakan malam ini telah terlepaskan oleh perasaan lega saat hajatnya terbuang di toilet kamarnya.
***
"Kaukah itu, Ratu Camila?" Samar-samar, penglihatan William menangkap seorang wanita bergaun besar yang sedang masuk dan berjalan diatas karpet merah menghampiri kursi singgasananya.
Dugaannya benar, siapa lagi wanita berwajah angkuh yang mengenakan gaun bercorak tengkorak di ingatannya selain Camila, mantan istrinya. Sudah ketiga puluh kalinya wanita itu berkunjung ke istananya, entah apa lagi yang akan dia terima dari wanita itu, William pasrah. Hujatan, hinaan dan makian sudah biasa William dapatkan dari mulut Camila, dengan cepat, pria buncit itu menyiapkan jiwanya agar bisa tahan terhadap apa yang dilakukan oleh Camila padanya sebentar lagi.
"William!" Camila berseru setelah dia sampai di hadapan William. "Mengapa gadis ketigaku bisa kurang ajar pada Ibunya sendiri! Siapa yang telah mengajarkan itu padanya?! Jawab pertanyaanku, lelaki sialan!"
"Ap-apakah yang kau maksud Victoria? Memangnya ada apa sampai kau bisa semarah ini, Camila?"
Wanita angkuh itu menggigit bibirnya, kekesalannya sudah memuncak hingga ke ubun-ubun. "Dia mengabaikan ucapanku! Seolah-olah aku ini hanyalah sosok yang tak penting di matanya! Kurang ajar sekali! Aku tidak terima pada sikapnya!"
Keringat William bercucuran, dia mencoba beranjak dari kursi singgasananya dan mendekati Camila. "Ka-kalau memang dia mengabaikanmu, aku akan menanyakan langsung padanya. Maukah kau ikut denganku ke kamarnya, Camila?"
Mendengar ajakan William, membuat wajah Camila sedikit memerah. "Urus saja putrimu sendiri! Aku tidak mau lagi melihat wajah gadis kurang ajar itu! Pokoknya, didiklah dia dengan benar, William! Jika dia serta keempat putri lainnya tidak mengubah sikapnya, aku akan menghancurkan istana ini!"
Meneguk ludah, William sedikit terkejut dengan ancaman yang dikemukakan oleh Camila. Memang benar, dia sudah terbiasa dengan kemarahan Camila, tapi tetap saja, jika ada ancaman seperti itu, William sedikit resah.
"Ay-Ayolah, Camila. Kau tidak perlu memberikan ancaman seperti itu, aku yakin, Victoria bisa mengubah sikapnya, karena dia adalah gadis baik."
Camila berdecak ludah, kekesalannya tambah parah. "Gadis baik kau bilang?" Mata Camila sudah melotot pada William.
Mengerti kalau dia tidak boleh berbicara lagi, William buru-buru melangkahkan kakinya untuk mengindar dari ledakan Camila.
"Ngomong-ngomong," tiba-tiba, Camila berkata, membuat William menghentikkan langkahnya. "Siapa pemuda bertanduk yang bersama dengan Victoria tadi sore? Apa dia salah satu prajuritmu? Tapi rasanya, aku belum pernah melihatnya."
Rupanya pertanyaan itu mengenai Arga, William tersenyum. "Namanya Arga Gelisto, seorang pemuda yang akan menjadi menantu kita, Camila."
Camila tersentak, dia mengerutkan keningnya. "Menantu? Berani sekali dia melamar putriku! Memangnya siapa yang akan dia nikahi? Apakah Victoria?"
William memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Camila.
"Aku tidak terlalu mengerti apa yang Arga inginkan, tapi seingatku, dia ingin mengenal kelima putri kita, setelah pilihannya matang, barulah dia akan menikahi putri pilihannya. Jadi, bukan berarti Victoria yang dia pilih, karena masih ada Laila, Agnes, Emilia dan Charlotte."
Wanita angkuh itu sedikit kurang setuju pada apa yang dilakukan Arga. "Bodoh sekali," kata Camila dengan mendecih jengkel. "Siapa pun pilihannya, pemuda bertanduk itu pasti akan mati di tanganku."
***
Di kamarnya, Agnes sedang memeluk bantal gulingnya dengan memuka memerah dan kedua kaki menendang-nendang tembok.
"Sialan! Sialan! Sialan! Apa sih yang mereka lakukan di sana! Ak-Aku kesal sekali melihat lelaki pujaanku didekati oleh Victoria! Lihat saja! Aku tidak akan memberi ampun jika Victoria berani mendekati Arga lagi! Iiiiiiiih! Aku kesaaaaal!"
Kelihatannya Agnes telah menaruh dendam pada Victoria karena gadis itu berani dekat dengan Arga yang merupakan lelaki yang dicintai olehnya. Bagi Agnes, Arga adalah sosok yang paling rupawan karena tertanam dua tanduk di kepalanya.
"Mungkin seharusnya aku membuat sebuah ramuan untuk Arga agar dia tidak lagi didekati oleh Victoria mau pun saudaraku yang lainnya. Baiklah, sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang untukku."
Kemudian, Agnes mengikat rambut keritingnya, memakai masker hitam dan menuju meja yang merupakan tempatnya biasa membuat ramuan-ramuan mengerikan. Seperti yang Agnes katakan, malam ini dia akan membuat ramuan mujarab untuk Arga. Entah akan bagaimana jadinya, tapi ini cukup menarik untuk ditunggu.
***
Secara kebetulan, ketika Laila sedang memperbaiki laboratoriumnya, ada Emilia yang lewat di depannya. Laila langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari mendekati Emilia.
"Kak Emilia!" Laila tergesa-gesa mengejar Emilia. Sadar ada yang memanggilnya, Emilia menoleh pada seseorang yang memanggilnya.
"La-Laila? Ada apa?" Emilia terkejut Laila menghampirinya, jarang sekali gadis berambut merah itu punya urusan dengannya.
Setelah sampai di hadapan Emilia, Laila tiba-tiba mengangkat kedua telapak tangan gadis sipit itu ke dadanya.
"Kakak mau ke mana? Bolehkah aku mengobrol denganmu? Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, tapi sebelumnya maukah kita ke tempat nyaman dahulu?"
Laila mengajak Emilia ke ruang laboratoriumnya, mereka duduk bersama di sofa yang empuk. Mata merah Laila menatap lurus ke mata hitam Emilia, membuat gadis bermata sipit itu sedikit kaget dengan tatapan itu.
"Me-Mengapa kau menatapku begitu? Apa yang ingin kau katakan padaku, Laila?"
Mengatur suaranya terlebih dahulu, Laila pun langsung mengeluarkan ucapannya secara lembut.
"Maafkan aku, Kakak." ucap Laila dengan menundukkan kepalanya. "Selama ini aku selalu membenci sifat palsu yang Kak Emilia tunjukkan ke publik, maka dari itu, setelah tadi siang, di pertemuan, kakak mengeluarkan sifat asli kakak tanpa malu sedikit pun pada semua orang, aku terkejut. Karena itulah, aku pikir, kakak sangat menderita terus-menerus menekan sifat itu, dan selama kakak menderita, aku malah membencimu. Aku ... benar-benar jahat padamu, Kak Emilia."
Air mata Laila menetes-netes di tangan Emilia. Mendengar semua itu, Emilia terdiam lalu perlahan-lahan, dia menyunggingkan senyuman.
"Tidak apa-apa, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini, Laila. Di sini, akulah yang salah. Sebagai seorang Kakak, aku tidak memberikan contoh yang baik pada keempat adikku. Aku pantas menerima kebencianmu, karena yang jahat di sini aku, bukan dirimu, Laila."
Dengan sentuhan hangat, Emilia memeluk tubuh Laila.
"Aku menyayangimu, Laila."
Dan pecahlah tangisan Laila di d**a Emilia. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka berdua bisa berbaikan seperti itu.
Ini adalah malam yang mengharukan bagi Emilia dan Laila.
Tanpa sepengetahuan mereka, Charlotte mengintip dari balik pintu utama. Dan lihatlah, kedua mata Charlotte berkaca-kaca memandang kedua kakaknya saling berpelukan seperti itu.
"Padahal aku ingin memancing mereka untuk bertengkar, tapi mengapa aku ikut menangis!"
Charlotte mengusap-usap air matanya yang berjatuhan dan jengkel pada dirinya sendiri.
***
Sementara itu, di dalam kamarnya, Arga merasakan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan, padahal saat ini dia sedang berada di dalam ruangan.
"Jangan-jangan ...." Arga menduga bahwa seseorang yang memperhatikannya adalah orang yang dia kenal.
Lantas, siapa orang yang Arga kenal itu?
TO BE CONTINUED ...