Saat Arga mengatakan kalau mereka sudah berada di tempat tujuan, Victoria segera memalingkan mukanya ke belakang untuk melihat apa yang ingin ditunjukkan dari tempat yang Arga katakan untuk menghiburnya. Dan astaga, bukan sebuah danau atau semacamnya yang Arga berikan untuk Victoria.
Melainkan sebuah rumah kayu yang mungil, berdiri di puncak pohon dengan tegap. Itu bukan rumah pohon biasa, karena biasanya, rumah pohon selalu dibangun tepat di daerah bebatangan pohonnya, sementara yang Victoria lihat sekarang, rumah itu dibuat di permukaan dedaunan paling puncak di pohon tersebut. Kira-kira, siapa orang yang telah membangunnya? Mengapa dia bisa membuat rumah pohon anti-mainstream seperti ini? Victoria terus bertanya-tanya mengenai hal itu.
Dari segi bentuknya, rumah itu terlihat seperti rumah pohon yang sederhana, memiliki dua ruangan, kamar dan ruang depan, setelah Victoria naik ke rumah tersebut melalui tangga yang terulur di batang pohon, dia akhirnya sadar kalau rumah itu punya banyak pernak-pernik yang tidak biasa, bahkan, di dalam kamarnya pun sudah tersedia sebuah ranjang mungil untuk seukuran boneka porselen, ini sangat tidak wajar.
Mereka berdua sudah masuk dan menetap di dalam rumah pohon itu, karena agak sempit membuat Victoria sedikit susah bernapas karena berbagi tempat dengan Arga, namun dia tersenyum. Rumah pohon ini cukup untuk menghibur dirinya yang sedang bersedih, dia bahkan dari jendelanya bisa memandang segala hal dengan jelas, langit sore serta matahari yang hampir terbenam serta pepohonan pinus besar yang merupakan tempat yang kini Victoria tempati dengan bangunan istana-super mungil- yang dia lihat membuat gadis pirang itu merasa bersyukur bisa diajak keluar istana oleh Arga, jika tidak, mungkin dia tidak akan pernah melihat keindahan ini.
"Ini pertama kalinya aku keluar dari rumah. Aku sangat terkagum-kagum dengan pemandangan yang luar biasa ini, aku biasa melihat semua ini dari jendela kamarku, tapi aku bosan terus melihatnya dari sana. Maka dari itu, setelah aku memandang keindahan ini dari tempat yang berbeda membuatku kagum akan pesonanya. Terima kasih, Arga. Aku sudah bisa melupakan kesedihanku berkat pemandangan sore yang bisa kusaksikan di jendela rumah pohonmu ini, aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang sepertimu."
Rambut pirangnya yang panjang berkibar seperti bendera tersentuh angin yang berhembus masuk melalui jendela, Victoria menikmati sentuhan itu, rasanya sangat menyejukkan dan dia bahagia. Arga-yang duduk di belakangnya-tersenyum tipis sambil menyenderkan punggungnya di tembok kayu. Kelihatannya Arga juga bersyukur karena usahanya untuk membuat rumah pohon ini tidak sia-sia.
Sebenarnya, rumah pohon yang ada di puncak pohon pinus ini dia buat jauh-jauh hari sebelum berkunjung ke istana Vanterlock untuk menawarkan diri pada Raja William. Kalian benar, Arga merupakan seorang pengelana. Arga sudah sering berkunjung ke segala tempat yang dia anggap menarik, seperti wilayah kerajaan Vanterlock yang terkenal dengan kekejaman para putrinya.
"Kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku yang seharusnya bilang begitu. Karena akhirnya kesedihanmu mulai hilang dan aku pikir itu adalah hadiah terbaik yang baru kali ini kudapatkan."
"Hadiah terbaik?" Kedua pipi Victoria merona mendengarnya. "Ngomong-ngomong, mengapa ranjang yang kau buat sangat mungil? Kau bilang, kau membuatnya untuk dirimu sendiri sebelum kau berkunjung ke rumahku, 'kan? Lalu, bagaimana kau bisa tidur dengan ranjang sekecil itu, Arga?"
Terdengar lucu, Arga tertawa sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan itu. "Yahh, sebenarnya, aku sengaja membuat ranjangnya kecil karena aku harap ada seekor binatang yang mau tinggal di rumah ini setelah aku meninggalkannya, tapi sampai hari ini tampaknya rumah ini telah menjadi rumah pohon yang kosong. Kalau kau bertanya di mana aku tidur, aku tidur di ruang depan, tepat di bawah jendela, untuk merasakan semilir angin mengusap mukaku ketika diriku sedang terlelap dan aku menyukainya. Rasanya seperti ada seseorang yang membelai-belai wajahku."
Tersenyum, Victoria mengangguk paham dengan jawaban yang Arga katakan. Begitu rupanya, dibanding tidur di ranjang yang mungil, Arga lebih memilih untuk tidur di ruang depan untuk merasakan nikmatnya dibelai oleh angin. Tapi entah mengapa, alasan yang Arga bilang terdengar agak m***m di telinga Victoria.
"Langit sudah semakin gelap, apakah kau mau kembali, Victoria?"
Khawatir keberadaan Victoria dicari-cari oleh keluarganya, Arga mengusulkan untuk kembali pulang ke istana, tapi tampaknya, Victoria malah memasang muka malas bergerak dan tetap ingin tinggal di rumah pohon ini.
"Cepat sekali sih? Padahal kita baru sampai, lagi pula, istana tidak terlalu jauh dari sini, kita bisa pulang nanti saja kalau bulan sudah tiba, aku ingin tetap di sini ... bersamamu."
Jantung Arga berdetak lebih kencang dari biasanya setelah mendengar bagian terakhir dari ucapan Victoria. Apa ini? Wajah Arga memerah semua, jika ada cermin, mungkin dia bisa melihat sendiri kalau wajahnya sudah seperti tomat saking malunya.
"Ber-Bersamaku? Kau tadi berkata begitu?" Arga bertanya ingin memastikan kalau pendengarannya tidak mengalami kesalahan.
Mendengar Arga menanyakan hal itu membuat Victoria menutupi mukanya menggunakan rambut pirangnya yang terurai. "Kenapa memangnya jika aku berkata begitu padamu?"
Kini warna merah yang ada di muka Arga semakin lebar hampir ke seluruh tubuhnya. Arga terlihat kaku jika digoda oleh seorang gadis, padahal dia biasanya mahir sekali menggoda seseorang, tapi jika dirinya yang kena goda malah gugup begitu.
"Y-Yah ... tidak apa-apa sih. Hanya saja, aku sedikit kaget, soalnya, kupikir kau masih membenciku, Victoria."
Menoleh, Victoria menampilkan raut wajah yang seakan-akan berkata pada Arga kalau dirinya tidak lagi membencinya.
"Tidak, kau salah. Aku tidak membencimu, Arga. Aku malah sangat berterima kasih karena kau bisa mengajakku ke rumah pohon ini."
Wow, sekarang warna merah yang ada di muka Arga sudah sepenuhnya menyebar ke seluruh tubuhnya. Benar-benar lucu melihat Arga terdiam kaku setelah mendengar alasan yang diucapkan oleh Victoria.
Mereka berdua pun menghabiskan waktu sorenya di dalam rumah pohon itu, gelak tawa samar-samar terdengar di dalam rumah itu, mewakili perasaan bahagianya Victoria mau pun Arga yang tengah bercanda di sana.
***
"Hm? Apa ini? Seorang putri kerajaan baru pulang ke istana pada malam hari dengan seorang pemuda bertanduk? Kau mau membuat Ibumu malu, ya, Victoria?"
Sesampainya mereka berdua di istana, Arga dan Victoria dikejutkan oleh hadirnya seorang wanita angkuh yang duduk dingin di kursi megahnya yang memiliki nuansa seram. Wanita itu mengenakan sebuah gaun hitam yang di kainnya terdapat corak-corak tengkorak yang mengerikan, bahkan, lipstik yang dipakai olehnya berwarna hitam, menambah kesan angker pada wanita paruh baya itu.
"Abaikan saja, Arga." bisik Victoria pada Arga lalu mereka berjalan melewati wanita itu dengan berusaha untuk tidak melihat mau pun merespon pada sosok yang sedang duduk santai di ruangan utama istana.
"Berani sekali kalian melewatiku tanpa memberikan tatapan sopan mau pun mengucapkan permisi padaku? Apa kalian tidak pernah diajarkan tata krama?"
Terus mengabaikan suara Ibunya, Victoria tetap berjalan naik ke tangga menuju lantai dua bersama Arga. Kesal melihat putrinya tidak mengacuhkan omongannya, Camila, yang menjabat sebagai Ratu di Kerajaan Binesta beranjak dari kursinya dan berjalan cepat mengejar Victoria dan Arga yang sedang mengundaki tangga.
Sadar kalau Ibunya mengejar mereka, Victoria langsung menarik lengan Arga dan berlari melewati tangga dengan cepat agar mereka tidak diserang oleh Ratu Binesta itu.
Kelelahan, Ratu Camila menghentikkan aksinya, dia sadar kalau dirinya tidak mungkin mampu mengejar dua remaja yang telah berlari karena staminanya sebagai wanita berusia kepala tiga sudah habis.
"Untuk saat ini mungkin aku biarkan dulu mereka, tapi lain kali, aku akan menghabisi mereka! Baiklah, agar staminaku kembali pulih, mungkin dengan melampiaskan kemarahanku pada William dapat membuatku senang."
Dan Ratu Camila bergegas pergi ke ruang singgasana Raja William untuk sedikit menampar muka pria buncit sialan itu yang tak becus mendidik seorang gadis.
***
"Hah~ hah~ astaga, aku tidak percaya kalau wanita sialan itu mengejar kita! Tapi syukurlah hawa kehadirannya sudah lenyap, aku tidak mau lagi berurusan dengannya! Dia bakal menghabisiku karena telah berani mengabaikannya, tapi aku tidak peduli, lagi pula, ucapan wanita seperti dia tak pantas untuk didengarkan!"
Victoria dan Arga terlihat ngos-ngosan setelah sampai di aula istana yang menghubungkan antara ruang kamar dengan ruang berkumpul keluarga.
"Aku terkejut saat kau tiba-tiba mencengkram tanganku untuk berlari menghindari kejaran wanita itu, Victoria."
"Maaf soal itu, Arga. Habisnya~ wanita b******k itu sudah hampir ada di belakangmu maka dari itu aku langsung menarik lenganmu, tapi hahahah! Aku terhibur dengan situasi tadi, walau mengejutkan tapi rasanya seru sekali. Rasa tegang dicampur dengan perasaan senang membuatku suka pada kejadian mengerikan yang hampir menimpa kita tadi. Hahaha!"
Arga mengerutkan keningnya dan berpikir dengan serius setelah menyimak ucapan Victoria.
"Tegang campur senang, ya? Sama seperti seseorang sedang merasakan jatuh cinta, 'kan?"
Pertanyaan polos yang dilemparkan Arga pada Victoria membuat gadis itu menghentikkan tawanya dan melirik Arga dengan tatapan kaget.
"Ke-Kenapa kau tiba-tiba--"
Pertanyaan Victoria langsung terpotong saat seorang wanita berambut keriting muncul di hadapan mereka dengan membawa tumpukan buku-buku ilmu hitam, rupanya dia adalah Agnes.
"Mengapa kalian berdua mengobrol dengan napas terengah-engah begitu? Jangan bilang kalau kalian telah selesai melakukan itu di sini?"
Arga dan Victoria terbelalak mendengarnya, baru saja mereka akan menyanggahnya, Agnes malah melanjutkan ucapannya disertai wajah ngeri.
"Kalian benar-benar ... menjijikan."
TO BE CONTINUED ...