Setelah mendapatkan informasi seputar ras-ras yang menghuni kota ini, Arga menganggukkan kepalanya dan tersenyum, seolah-olah dia sudah merancang sesuatu di dalam pikirannya yang akan membuat semua ras di kota ini bisa bersikap ramah dan tidak berprasangka buruk pada ras Teriana. Juga hendak membuktikan dan membongkar ras mana saja yang begitu membenci Teriana sehingga selalu berupaya untuk membuat para keturunan iblis-kelinci dieksekusi di tengah kota. Tapi Arga juga tidak ingin bertindak gegabah karena dia hanya orang asing di sini, bisa saja apa yang ia rencanakan tidak berakhir sesuai seperti yang ia perkirakan dan malah berakhir buruk, itu harus dihindari demi keselamatan dirinya sendiri tentu saja.
“Antarkan aku ke tempat pengeksekusian, aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” pinta Arga pada Jiola yang berdiri di depannya, meskipun keadaannya sedang gelap, hanya ada cahaya lilin yang begitu mungil, tapi ia bisa melihatnya dengan jelas bahwa wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya sedang sangat terkejut oleh permintaannya. Perempuan itu pasti tidak percaya Arga meminta hal itu setelah dirinya bercerita bahwa ia trauma dengan acara eksekusi kematian. “Apakah kau keberatan?”
Sebenarnya Jiola sangat ingin menolak permintaan itu, tapi dia bingung dan bimbang harus bagaimana, karena yang meminta hal itu adalah adiknya sendiri, orang yang sangat dia sayangi dari lubuk hatinya. Jika Jiola menolak permintaan Arga, maka anak itu pasti akan pergi sendirian ke tengah kota dan bertindak onar di sana, mengacaukan proses pengeksekusian dan berakhir diburu oleh semua warga kota, apalagi dia adalah salah satu manusia yang juga berasal dari ras Teriana, sudah pasti orang-orang di kota mengambil kesempatan itu untuk memuaskan kebenciannya. Meski itu semua hanyalah bayangannya saja, tapi itu bisa saja terjadi. Maka dari itu, daripada membiarkan Arga terlibat masalah besar, lebih baik Jiola simpan rasa takut dan traumanya demi keinginan adik kesayangannya.
“B-Baik, aku akan menemanimu melihat acara pengeksekusian, tapi tolong berjanjilah untuk tidak nakal saat kita berada di sana, cukup tonton dan diam, jangan banyak berbicara, kau paham?” perintah Jiola dengan nada yang lembut dan halus kepada Arga, dan hanya dibalas dengan deheman semata, seolah-olah Arga menjawab ‘ya’ dengan malas. Tapi itu cukup untuk membuat Jiola tersenyum senang dan lega, setidaknya dia sudah memperingati adiknya, jika Sang Adik tetap berbuat nakal, maka dia harus menanggung resikonya sendiri. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.”
Tersenyum senang, akhirnya Arga diizinkan oleh Jiola untuk pergi ke tengah kota, melihat acara ekskekusi mati seseorang yang dikerumuni banyak orang. Menyiapkan diri dan mental, akhirnya Arga berhasil keluar dari rumah Jiola dan kini ia bersama wanita berambut perak itu sedang berjalan pelan di jalanan kota yang cukup sepi, karena sepertinya semua orang sedang berada di tengah kota. Begitulah kebiasaan dari orang-orang sini, jika ada seseorang yang dieksekusi mati, maka seluruh warga kota akan berbondong-bondong untuk menyaksikannya, sebab itu sudah menjadi salah satu hiburan menarik dari kota ini setiap minggunya.
Hiburan yang menarik sekaligus mengerikan.
“Apa nama kota ini?” tanya Arga di tengah-tengah perjalanan kepada Jiola yang sedang berjalan santai di sampingnya. “Aku rasa kau belum memberitahukannya padaku.” Mendengarnya, Jiola menolehkan kepalanya, rambut putihnya yang begitu halus agak sedikit tertiup-tiup angin saat lehernya bergerak memandangi wajah Arga yang juga ada di sampingnya sedang berjalan-jalan santai.
“Vanterlock,” jawab Teriana dengan tersenyum gugup pada adiknya yang berjalan di sampingnya. “Nama kota ini adalah Vanterlock.” Entah kenapa, setelah mendengar nama itu, Arga seketika seperti mengingat sesuatu yang cukup penting, hanya saja itu hanya sekelebat saja sehingga dia tidak tahu persis mengenai ingatannya. Tapi yang jelas, itu adalah sesuatu tidak bisa disepelekan, dan rasanya seperti sesuatu yang ia sangat ia kenal, yang artinya tidak begitu asing baginya.
Apakah itu yang dinamakan sebagai De Ja Vu?
Setelah mendapatkan informasi seputar ras-ras yang menghuni kota ini, Arga menganggukkan kepalanya dan tersenyum, seolah-olah dia sudah merancang sesuatu di dalam pikirannya yang akan membuat semua ras di kota ini bisa bersikap ramah dan tidak berprasangka buruk pada ras Teriana. Juga hendak membuktikan dan membongkar ras mana saja yang begitu membenci Teriana sehingga selalu berupaya untuk membuat para keturunan iblis-kelinci dieksekusi di tengah kota. Tapi Arga juga tidak ingin bertindak gegabah karena dia hanya orang asing di sini, bisa saja apa yang ia rencanakan tidak berakhir sesuai seperti yang ia perkirakan dan malah berakhir buruk, itu harus dihindari demi keselamatan dirinya sendiri tentu saja.
“Antarkan aku ke tempat pengeksekusian, aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” pinta Arga pada Jiola yang berdiri di depannya, meskipun keadaannya sedang gelap, hanya ada cahaya lilin yang begitu mungil, tapi ia bisa melihatnya dengan jelas bahwa wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya sedang sangat terkejut oleh permintaannya. Perempuan itu pasti tidak percaya Arga meminta hal itu setelah dirinya bercerita bahwa ia trauma dengan acara eksekusi kematian. “Apakah kau keberatan?”
Sebenarnya Jiola sangat ingin menolak permintaan itu, tapi dia bingung dan bimbang harus bagaimana, karena yang meminta hal itu adalah adiknya sendiri, orang yang sangat dia sayangi dari lubuk hatinya. Jika Jiola menolak permintaan Arga, maka anak itu pasti akan pergi sendirian ke tengah kota dan bertindak onar di sana, mengacaukan proses pengeksekusian dan berakhir diburu oleh semua warga kota, apalagi dia adalah salah satu manusia yang juga berasal dari ras Teriana, sudah pasti orang-orang di kota mengambil kesempatan itu untuk memuaskan kebenciannya. Meski itu semua hanyalah bayangannya saja, tapi itu bisa saja terjadi. Maka dari itu, daripada membiarkan Arga terlibat masalah besar, lebih baik Jiola simpan rasa takut dan traumanya demi keinginan adik kesayangannya.
“B-Baik, aku akan menemanimu melihat acara pengeksekusian, tapi tolong berjanjilah untuk tidak nakal saat kita berada di sana, cukup tonton dan diam, jangan banyak berbicara, kau paham?” perintah Jiola dengan nada yang lembut dan halus kepada Arga, dan hanya dibalas dengan deheman semata, seolah-olah Arga menjawab ‘ya’ dengan malas. Tapi itu cukup untuk membuat Jiola tersenyum senang dan lega, setidaknya dia sudah memperingati adiknya, jika Sang Adik tetap berbuat nakal, maka dia harus menanggung resikonya sendiri. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.”
Tersenyum senang, akhirnya Arga diizinkan oleh Jiola untuk pergi ke tengah kota, melihat acara ekskekusi mati seseorang yang dikerumuni banyak orang. Menyiapkan diri dan mental, akhirnya Arga berhasil keluar dari rumah Jiola dan kini ia bersama wanita berambut perak itu sedang berjalan pelan di jalanan kota yang cukup sepi, karena sepertinya semua orang sedang berada di tengah kota. Begitulah kebiasaan dari orang-orang sini, jika ada seseorang yang dieksekusi mati, maka seluruh warga kota akan berbondong-bondong untuk menyaksikannya, sebab itu sudah menjadi salah satu hiburan menarik dari kota ini setiap minggunya.
Hiburan yang menarik sekaligus mengerikan.
“Apa nama kota ini?” tanya Arga di tengah-tengah perjalanan kepada Jiola yang sedang berjalan santai di sampingnya. “Aku rasa kau belum memberitahukannya padaku.” Mendengarnya, Jiola menolehkan kepalanya, rambut putihnya yang begitu halus agak sedikit tertiup-tiup angin saat lehernya bergerak memandangi wajah Arga yang juga ada di sampingnya sedang berjalan-jalan santai.
“Vanterlock,” jawab Teriana dengan tersenyum gugup pada adiknya yang berjalan di sampingnya. “Nama kota ini adalah Vanterlock.” Entah kenapa, setelah mendengar nama itu, Arga seketika seperti mengingat sesuatu yang cukup penting, hanya saja itu hanya sekelebat saja sehingga dia tidak tahu persis mengenai ingatannya. Tapi yang jelas, itu adalah sesuatu tidak bisa disepelekan, dan rasanya seperti sesuatu yang ia sangat ia kenal, yang artinya tidak begitu asing baginya.
Apakah itu yang dinamakan sebagai De Ja Vu?
Setelah mendapatkan informasi seputar ras-ras yang menghuni kota ini, Arga menganggukkan kepalanya dan tersenyum, seolah-olah dia sudah merancang sesuatu di dalam pikirannya yang akan membuat semua ras di kota ini bisa bersikap ramah dan tidak berprasangka buruk pada ras Teriana. Juga hendak membuktikan dan membongkar ras mana saja yang begitu membenci Teriana sehingga selalu berupaya untuk membuat para keturunan iblis-kelinci dieksekusi di tengah kota. Tapi Arga juga tidak ingin bertindak gegabah karena dia hanya orang asing di sini, bisa saja apa yang ia rencanakan tidak berakhir sesuai seperti yang ia perkirakan dan malah berakhir buruk, itu harus dihindari demi keselamatan dirinya sendiri tentu saja.
“Antarkan aku ke tempat pengeksekusian, aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” pinta Arga pada Jiola yang berdiri di depannya, meskipun keadaannya sedang gelap, hanya ada cahaya lilin yang begitu mungil, tapi ia bisa melihatnya dengan jelas bahwa wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya sedang sangat terkejut oleh permintaannya. Perempuan itu pasti tidak percaya Arga meminta hal itu setelah dirinya bercerita bahwa ia trauma dengan acara eksekusi kematian. “Apakah kau keberatan?”
Sebenarnya Jiola sangat ingin menolak permintaan itu, tapi dia bingung dan bimbang harus bagaimana, karena yang meminta hal itu adalah adiknya sendiri, orang yang sangat dia sayangi dari lubuk hatinya. Jika Jiola menolak permintaan Arga, maka anak itu pasti akan pergi sendirian ke tengah kota dan bertindak onar di sana, mengacaukan proses pengeksekusian dan berakhir diburu oleh semua warga kota, apalagi dia adalah salah satu manusia yang juga berasal dari ras Teriana, sudah pasti orang-orang di kota mengambil kesempatan itu untuk memuaskan kebenciannya. Meski itu semua hanyalah bayangannya saja, tapi itu bisa saja terjadi. Maka dari itu, daripada membiarkan Arga terlibat masalah besar, lebih baik Jiola simpan rasa takut dan traumanya demi keinginan adik kesayangannya.
“B-Baik, aku akan menemanimu melihat acara pengeksekusian, tapi tolong berjanjilah untuk tidak nakal saat kita berada di sana, cukup tonton dan diam, jangan banyak berbicara, kau paham?” perintah Jiola dengan nada yang lembut dan halus kepada Arga, dan hanya dibalas dengan deheman semata, seolah-olah Arga menjawab ‘ya’ dengan malas. Tapi itu cukup untuk membuat Jiola tersenyum senang dan lega, setidaknya dia sudah memperingati adiknya, jika Sang Adik tetap berbuat nakal, maka dia harus menanggung resikonya sendiri. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.”
Tersenyum senang, akhirnya Arga diizinkan oleh Jiola untuk pergi ke tengah kota, melihat acara ekskekusi mati seseorang yang dikerumuni banyak orang. Menyiapkan diri dan mental, akhirnya Arga berhasil keluar dari rumah Jiola dan kini ia bersama wanita berambut perak itu sedang berjalan pelan di jalanan kota yang cukup sepi, karena sepertinya semua orang sedang berada di tengah kota. Begitulah kebiasaan dari orang-orang sini, jika ada seseorang yang dieksekusi mati, maka seluruh warga kota akan berbondong-bondong untuk menyaksikannya, sebab itu sudah menjadi salah satu hiburan menarik dari kota ini setiap minggunya.
Hiburan yang menarik sekaligus mengerikan.
“Apa nama kota ini?” tanya Arga di tengah-tengah perjalanan kepada Jiola yang sedang berjalan santai di sampingnya. “Aku rasa kau belum memberitahukannya padaku.” Mendengarnya, Jiola menolehkan kepalanya, rambut putihnya yang begitu halus agak sedikit tertiup-tiup angin saat lehernya bergerak memandangi wajah Arga yang juga ada di sampingnya sedang berjalan-jalan santai.
“Vanterlock,” jawab Teriana dengan tersenyum gugup pada adiknya yang berjalan di sampingnya. “Nama kota ini adalah Vanterlock.” Entah kenapa, setelah mendengar nama itu, Arga seketika seperti mengingat sesuatu yang cukup penting, hanya saja itu hanya sekelebat saja sehingga dia tidak tahu persis mengenai ingatannya. Tapi yang jelas, itu adalah sesuatu tidak bisa disepelekan, dan rasanya seperti sesuatu yang ia sangat ia kenal, yang artinya tidak begitu asing baginya.
Apakah itu yang dinamakan sebagai De Ja Vu?
Setelah mendapatkan informasi seputar ras-ras yang menghuni kota ini, Arga menganggukkan kepalanya dan tersenyum, seolah-olah dia sudah merancang sesuatu di dalam pikirannya yang akan membuat semua ras di kota ini bisa bersikap ramah dan tidak berprasangka buruk pada ras Teriana. Juga hendak membuktikan dan membongkar ras mana saja yang begitu membenci Teriana sehingga selalu berupaya untuk membuat para keturunan iblis-kelinci dieksekusi di tengah kota. Tapi Arga juga tidak ingin bertindak gegabah karena dia hanya orang asing di sini, bisa saja apa yang ia rencanakan tidak berakhir sesuai seperti yang ia perkirakan dan malah berakhir buruk, itu harus dihindari demi keselamatan dirinya sendiri tentu saja.
“Antarkan aku ke tempat pengeksekusian, aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” pinta Arga pada Jiola yang berdiri di depannya, meskipun keadaannya sedang gelap, hanya ada cahaya lilin yang begitu mungil, tapi ia bisa melihatnya dengan jelas bahwa wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya sedang sangat terkejut oleh permintaannya. Perempuan itu pasti tidak percaya Arga meminta hal itu setelah dirinya bercerita bahwa ia trauma dengan acara eksekusi kematian. “Apakah kau keberatan?”
Sebenarnya Jiola sangat ingin menolak permintaan itu, tapi dia bingung dan bimbang harus bagaimana, karena yang meminta hal itu adalah adiknya sendiri, orang yang sangat dia sayangi dari lubuk hatinya. Jika Jiola menolak permintaan Arga, maka anak itu pasti akan pergi sendirian ke tengah kota dan bertindak onar di sana, mengacaukan proses pengeksekusian dan berakhir diburu oleh semua warga kota, apalagi dia adalah salah satu manusia yang juga berasal dari ras Teriana, sudah pasti orang-orang di kota mengambil kesempatan itu untuk memuaskan kebenciannya. Meski itu semua hanyalah bayangannya saja, tapi itu bisa saja terjadi. Maka dari itu, daripada membiarkan Arga terlibat masalah besar, lebih baik Jiola simpan rasa takut dan traumanya demi keinginan adik kesayangannya.
“B-Baik, aku akan menemanimu melihat acara pengeksekusian, tapi tolong berjanjilah untuk tidak nakal saat kita berada di sana, cukup tonton dan diam, jangan banyak berbicara, kau paham?” perintah Jiola dengan nada yang lembut dan halus kepada Arga, dan hanya dibalas dengan deheman semata, seolah-olah Arga menjawab ‘ya’ dengan malas. Tapi itu cukup untuk membuat Jiola tersenyum senang dan lega, setidaknya dia sudah memperingati adiknya, jika Sang Adik tetap berbuat nakal, maka dia harus menanggung resikonya sendiri. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.”
Tersenyum senang, akhirnya Arga diizinkan oleh Jiola untuk pergi ke tengah kota, melihat acara ekskekusi mati seseorang yang dikerumuni banyak orang. Menyiapkan diri dan mental, akhirnya Arga berhasil keluar dari rumah Jiola dan kini ia bersama wanita berambut perak itu sedang berjalan pelan di jalanan kota yang cukup sepi, karena sepertinya semua orang sedang berada di tengah kota. Begitulah kebiasaan dari orang-orang sini, jika ada seseorang yang dieksekusi mati, maka seluruh warga kota akan berbondong-bondong untuk menyaksikannya, sebab itu sudah menjadi salah satu hiburan menarik dari kota ini setiap minggunya.
Hiburan yang menarik sekaligus mengerikan.
“Apa nama kota ini?” tanya Arga di tengah-tengah perjalanan kepada Jiola yang sedang berjalan santai di sampingnya. “Aku rasa kau belum memberitahukannya padaku.” Mendengarnya, Jiola menolehkan kepalanya, rambut putihnya yang begitu halus agak sedikit tertiup-tiup angin saat lehernya bergerak memandangi wajah Arga yang juga ada di sampingnya sedang berjalan-jalan santai.
“Vanterlock,” jawab Teriana dengan tersenyum gugup pada adiknya yang berjalan di sampingnya. “Nama kota ini adalah Vanterlock.” Entah kenapa, setelah mendengar nama itu, Arga seketika seperti mengingat sesuatu yang cukup penting, hanya saja itu hanya sekelebat saja sehingga dia tidak tahu persis mengenai ingatannya. Tapi yang jelas, itu adalah sesuatu tidak bisa disepelekan, dan rasanya seperti sesuatu yang ia sangat ia kenal, yang artinya tidak begitu asing baginya.
Apakah itu yang dinamakan sebagai De Ja Vu?