Bagas sengaja menunggu Maya keluar dari ruangan dosennya. Bagas sudah menyiapkan buket bunga untuk wanita impiannya yang telah lama menghilang.
tapi, hari semakin sore, Maya tak kunjung keluar dari ruangan itu. Bagas begitu penasaran. Seharian ini ia menunggu Maya. Tidak mungkin Maya keluar dari pintu lain Pintu itu hanya ada satu saja.
Bagas mengintip dari celah kaca depan yang tertutup dengan tirai. Sama sekali tak kelihatan apapun juga. Tapi, Bagas sedikit melihat ada seseorang yang tertidur dengan kepala diletakkan di atas meja.
Tok ... Tok ... Tok ...
Bagas mengetuk pintu ruangan itu dengan keras. Bagas merasa sesuatu telah terjadi pada Maya. Bagas mencoba membuka pintu rangan yang sama sekali tak terkunci. Ia masuk dan menghampir meja Maya.
"May? Maya ... " panggil Bagas tanpa sebutan Kak.
Bagas langsung menepuk pipi Maya dan membangunkan Maya. Maya tak kunjung terbangun. Bagas mulai panik. Ia langsung membawa Maya ke mobilnya dan memeriksa kondisi Maya di Klinik terdekat.
Bagas mondar mandir di depan ruang perawatan. Bagas benar -benar cemas dengan keadaan Maya. Kejadian ini seperti dehjavu, karena sama seperti beberapa tahun lalu. Bedanya, Bagas dulu masih terlalu polos dan tak paham jika itu malah menyulitkannya. Sekarang? Hidupnya sudah mandiri dan dewasa. Bagas bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa ikut campur kedua orang tuanya.
Dokter keluar dari ruangan praktek tindakan lalu mendekati Bagas.
"Anda? Siapanya?" tanya dokter itu menatap Bagas dari arah bawah sampai atas.
"Suaminya," jawab Bagas lantang.
"Suami?" tanya dokter itu agak meragukan dengan pengakuan Bagas.
"Eum ... Maksudnya, saya calon suaminya," ucap Bagas meyakinkan dokter itu.
"Oke baiklah kalau begitu. Ada hal serius yang ahrus kita bicarakan. Mari ke ruangan saya," titah dokter itu pada Bagas.
Bagas mengangguk setuju dan mengikuti sang dokter menuju ruang kerjanya.
Dokter itu mempersilakan Bagas duduk dan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Maya. Ini memang bukan masalah yang serius, tapi bisa menjadi sangat serius bila diabaikan.
Bagas cukup kaget dengan penjelasan sang dokter. Ia hanya bisa mengangguk pasrah. Bisa -bisanya memendam penyakit ini sendirian.
"Kenapa banyak sekali dok?" tanya Bagas.
"Takdir. Kamu bisa pilih dari sekarang anak muda. Mau lanjut menikahinya atau meninggalkannya. Pastinya, Maya memang butuh seseorang untuk diajak bicara, diajak berkomunikasi dua arah. Dia butuh seserang yang bisa menyuport dan menyemangatinya untuk tetap bahagia. Inti kesembuhan adalah kebahagiaan." Dokter itu begitu lugas menjelaskan panjang lebar.
"Apa dia masih bisa hamil? Em ... Maksud saya, kami bisa memiliki keturunan?" tanya Bagas dengan serius. Bagas hanya ingin tahu saja. Kalau bisa, ya syukur. Kalau memang tidak bisa, ya, tidak masalah uga. Setiap hari mereka bisa pacaran dan memadu kasih hingga menua nanti. Impian yang begitu indah sekali bagi Bagas. Kalau saja, meraih Maya semudah itu. Tentu saja, Bagas akan senang sekali.
"Kemungkinan selalu ada, anak muda. Tidak ada yang tidak mungkin. Lagi pula, reproduksinya aman dan masih stabil. Seharusnya tidak ada masalah untuk membuat keturunan. Intinya dia harus bahagia." Doketr itu terus menasihati Bagas.
Bagas mengangguk paham. Bagas meminta ijin untuk membawa Maya pulang. Bagas tidak tahu rumah Maya dimana, dan ia membawa maya ke apartemen miliknya. Apartemen ini jarang bagas gunakan. Karena memang belum sepenuhnay bisa digunakan. Bagas masih sering pulang ke rumah dan tidur di rumah. Apartemen ini sangat sepi sekali. Ini adalah hadiah ulang tahun darpapanya saat ia berusia dua puluh tahun.
Maya sudah terbaring di atas ranjang besi yang mewah. Apartemen sultan ini menjadi saksi atas besarnya cinta Bagas kepada Maya.
Bagas mulai mencari tahu tentang Maya melalui laptopnya. Tidak susah mencari keseharian Maya selama ini dan seputar kehidupan pribadinya.