Desember, 2024
Bagas duduk disalah satu kursi makan lalu mengambil satu buah apel yang digigit lalu dikunyah di dalam mulutnya.
"Kapan kamu wisuda?" tanya Bastian dengan nada tinggi.
Rasanya sudah lelah menasihati putra sulungnya ini. Bagas emmang tidak nakal, tapi malasnya membuat orang satu rumah naik darah. Usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun. Sampai saat ini belum ada gelar sarjana di belakang nama Bagas Bskoro. Malahan ia dijuluki sebagai mahasiswa abadi.
"Kenapa sih, itu mulu yang diomongin,. Bikin males aja!" ucap Bagas ketus.
"Bagas! Adikmu sudah seminar. Sebentar lagi skripsi, masa iya kamu mau dibalap sama adik kamu? Kamu gak malu?!" ucap Bastian sedikit membentak.
"Kalau Papah merasa sayang membuang uang untuk kuliah Bagas. Mending udah aja kuliahnya. Bagas juga males!" ucap Bagas penuh emosi.
"Bagas!" teriak Bastian sambil menggelengkan kepalanya pelan. Bagas memang sangat keras kepala.
Bagas langsung pergi begitu saja tanpa pamit. Lelaki tampan itu memilih pergi berangkat ke Kampus dibandingkan harus berada di rumah dan selalu saja diceramahi.
Hidup Bagas terasa terhenti saat cinta pertamanya menolak untuk dijadikan kekasih. Ditambah, hari itu menjadi hari sial Bagas. Hari yang tak akan pernah dilupakan Bagas seumur hidup.
Bagas membawa mobil sedannya dengan laju yang sangat cepat. Bagas sangat piawai sekali membawa kuda besinya menembus aspal hitam diantara kuda besi lainnya yang ia lewati begitu saja.
Kakinya terus menekan pedal gas hingga mobil itu berbelok masuk ke dalam halaman Kampus Pratama.
Kampus favorit yang menjadi impiannya sejak dulu. Tapi, nyawanya seperti tak ingin segera menyelesaikan kuliahnya. Bagas masih berharap bisa menemukan cinta pertamanya dan meminta maaf soal kejadian siang itu.
Bagas mencari teman -teman se -angkatannya yang juga belum lulus. Mereka hanya datang ke Kampus untuk absen saja. Mata kuliah yang mereka ambil juga hanya itu -itu saja setiap semester karena tidak bisa lanjut.
Kedua mata Bagas tertuju pada satu mobil yang berhenti agak jauh dari parkiran. Satu orang wanita turun dari sisi sebelah kiri dan seorang laki -laki turun dari sisi sebelah kanan lalu mengejarsang wanita.
Terlihat jelas, tangan lelaki itu menarik tangan sang perempuan. Namun, perempuan itu menepis dan pergi meninggalkan lelaki itu lalu berjalan menuju gedung Kampus. Sedikit penasaran tapi tidak mau terlalu kepo juga sama urusan orang lain.
Suara hak sepatu tinggi yang mengenai lantai keramik begituterdengar nyaring. Bagas mengangkat kepalanya dan tatapannya terhenti pada satu wanita yang sejak tadi ia pandang dari jauh. Wajah wanita itu sangat familiar bagi Bagas. Wajah cantik yang selalu menari dipikirannya hingga ia tak pernah bisa berkonsentrasi dan terus memimpikan wanita itu.
Bagas berdiri menghampiri wanita cantik yang memakai setelan blazer berwarna hitam dengan rambut panjang terurai dengan sangat indah. Wanita itu nampak terlihat imut walaupun sudah dewasa. Ia menenteng tas ditangan kanannya dan beberapa berkas ditangan kirinya.
"Kak Maya?" sapa Bagas ragu tapi hatinya begitu yakin kalau wanita itu adalah Maya, cinta pertamanya.
Maya menoleh ke belakang menatap Bagas yang tertegun melihat kecantikan Maya dari jarak dekat.
"Siapa ya?" tanya Maya dengan suara lembut.
"Kak? Aku Bagas, adik kelas kamu waktu SMA," ucap Bagas pada Maya. Bagas berusaha mengingatkan Maya.
"Maaf, kamu salah orang," jawab Maya degan cepat lalu membalikkan tubuhnya lagi dan pergi meninggalkan Bagas dengan degup jantung yang berdetak tak karuan di dadanya.
Sumpah, getaran macam apa ini. Kenapa Bagas harus masuk kembali dalam kehidupannya yang mulai tenang.
Bagas mengejar Maya. Ia berlari cepat menggapai tangan Maya.
"Kak Maya? Kamu bohong kan? Kamu gak akan lupa sama aku. Aku Bagas," ucap Bagas masih berusaha mengingatkan Maya.
"Mungkin kamu salah orang. Maaf saya sudah harus mengajar," pamit Maya pada Bagas.
"Kak Maya, Aku mencintai kamu!" teriak Bagas dengan sangat keras di lobi Kampus. Beberapa orang yang kebetulan lalu lalang disana pun melirik ke arah Bagas dan menatap Maya yang berjalan dengan cepat menuju ruang dosen.
Maya segera masuk ruangannya dan menutup rapat pintu itu. Ia menyandarkan tubuhnya di belakang pintu sambil mengatur napasnya agar teratur.
"Bagas?" ucap Maya lirih sambil memegang keningnya. Maya meletakkan tas dan beberapa berkas di atas meja dan memijat pelan kepalanya.
"Ngapain dia ada disini?" ucap Maya lagi.
Maya menatap berkas yang ada di depannya. Ia mencari nama mahasiswa di kelasnya.
"Bagas Baskoro. Dia masih kuliah?" ucap Maya lirih.
Bagas benar -benar menepati janjinya. Maya mengingat kejadian itu dnegan baik. "Maafkan aku, Bagas."
Senyum Bagas terbit. Rasanya aliran darah Bagas mulai mengalir lagi ke seluruh tubuhnya. Bagas menjadi bersemangat sekali.
Bagas tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Maya. Mungkin mulai sekarang, setiap hari Bagas bisa bertemu dengan Maya, sang pujaan hati.
***
"Jadi kapan? Anak -anak kita akan menikah?" tanya Rudi pada Bastian.
"Bagas belum lulus, Rud. Aku bingung harus bagaimana lagi mendidik dia," ucap Bastian begitu kecewa.
"Dari awal kamu salah mendidik dia. Kamu ingat? Saat itu dia memohon pada kamu untuk mempercayainya. Tapi kamu lebih percaya orang lain dari pada anak kamu sendiri. Itu yang melemahkan Bagas," ucap Rudi mengingatkan.
"Masa iya karena itu? Kejadian itu sudah lama sekali. Enam tahun lalu," ungkap Bastian dengan nada tak percaya.
"Bukan soal waktu. Tapi soal trauma. Icha sudah siap untuk menikah, kalau memang kamu tidak keberatan, mending lamar Icha dulu. Biar gak ada yang ngeduluin," pinta Rudi pada Bastian sambil tertawa.
"Aku akan bicara soal ini pada Bagas secepatnya," jelas Bastian pada Rudi.