13. Aku Tidak Suka Bau Laki-Laki Itu

1667 Kata
Zara's PoV "Halo, Pa," ucapku ketika mendudukkan badanku di kasur dengan kedua kaki lurus ke depan, sementara sebuah bantal bersarung cokelat s**u sudah bernaung di atas kedua pahaku berkat tangan kiriku sehingga dapat menutupi kulitku dari paparan udara dari mesin pendingin ruangan. "Ada apa?" sahutku lagi setelah menemukan posisi ternyaman untuk ponsel pintar di sebelah telinga kananku. Kak Zaka sudah menarik anak panah dari busur panahnya dan aku akan menyambutnya dengan hangat. Alur cerita kami harus disamakan. "Luangkan waktumu akhir pekan nanti. Bisa, bukan?" "Papa dan Mama mau berbicara sesuatu kepadamu, tentang kisah masa lalu kami dan penting sekali untukmu." Aku menghela napas. Diusahakan untuk terlihat jengah atas kelakuan kedua orangtuaku, meski tidak akan diketahui siapa pun selain diriku karena suamiku tersayang masih berada di dalam kamar mandi. "Baik urusan papa dan mama, aku sudah tidak peduli lagi, kalian bebas untuk bertindak dengan sesuka hati," kataku kemudian. "Ayolah, Nak, mumpung kami sama-sama masih memiliki nyali." "Baiklah, Pa," jawabku, "akhir pekan nanti, aku akan ke rumah." Aku tentu terdengar tidak mengantongi niat untuk bertemu dengan mereka. Lima detik berlalu, sosok laki-laki berkaus putih polos sudah keluar dari kamar mandi dan langsung menjalankan ke arahku. "Wajahmu dipenuhi dengan kerutan," gumamnya sempat dibuka dengan senyuman tipis, "sedang dirundung masalah?" "Eh, tidak. Aku hanya ...." Ucapanku tidak perlu aku selesaikan karena sejak awal hanya sekadar formalitas. Aku meletakkan ponsel pintarku di atas nakas sebelum kedua kakiku kuturunkan dari ranjang untuk kemudian hinggap di lantai keramik. Lepas sudah berhadap-hadapan dengan suamiku, bibirku terbuka sebagai mediaku untuk berucap pelan, "Kak, akhir pekan nanti, apakah aku boleh pulang ke rumah kedua orangtuaku?" "Kenapa tidak?" Pipi kiriku tiba-tiba diraih telapak tangan kanan suamiku. Aku tersentak karenanya. Dia sudah mulai berani kepadaku, biasanya tidak pernah aneh-aneh. Meski risih, aku berusaha untuk bertahan. Demi meyakinkan diriku, suamiku sampai menegaskan ulang, "Aku tentu mengizinkanmu, asalkan kau berkenan untuk mengajakku ikut serta." Ketika Kak Zaka mengelus pipi kiriku dengan gerakan pelan, aku segera menarik pergelangan tangan kanannya untuk kujauhkan dari wajahku karena aku berpikir kalau sudah tidak bisa dilanjutkan. Aku tersenyum sebisaku selama tangan kiriku dalam keadaan setengah menggenggam tangan kanan suamiku. "Baiklah, aku akan mengajakmu dengan senang hati karena aku tidak tega apabila diharuskan untuk meninggalkanmu sendirian di sini," ujarku. Jeda sebentar. Aku merasa kalau tatapan kami berdua saling melekat satu sama lain akibat gaya tarik-menarik di suatu medan magnet, telah terkunci dengan diikat menggunakan rantai besi. Dirasa sudah kelelahan, aku mengedipkan kedua mataku hingga tahu-tahu di dalam benakku terlintas sebuah pertanyaan. "Kak Zaka sudah mau tidur?" "Akan segera kubantu untuk naik ke kasur." Tanpa menunggu sahutan, aku segera berinisiatif dengan cara berdiri dan mengulurkan lenganku, serta tidak kelupaan untuk menyerahkan bahuku. "Tunggu, harus hati-hati." Tiba-tiba, Kak Zaka mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan dalam kondisi terbuka sebagai isyarat khusus untuk mencegahku bertindak. Dari gambaran di retinaku, kedua bola mata beriris di hadapanku terlihat utuh. Dia masih trauma dengan kejadian tempo hari lalu, sepertinya. "Jangan sampai membuatku terjungkal lagi." "Iya. Iya." Aku hanya menanggapi wajah cemas suamiku dengan senyuman tidak meyakinkan karena aku tidak berani menjamin kalau dirinya akan aman selama diurus olehku. Yang mana, aku hanya wanita lemah dalam masalah tenaga, sementara dirinya tetap bermassa berat meski dalam keadaan tidak sempurna. "Tenanglah." "Tidak usah terlalu risau." "Aku sudah bertambah mahir." Di telinga orang-orang, janji manisku akan mengalahkan pesona madu berkualitas terbaik. Aku tidak masalah dengannya, tetapi teramat memusingkan untukku kalau benar-benar ditagih tanpa pernah mengenal batasan toleransi. Bruk! Persis seperti dugaanku, kejadian di ruang tamu terulang lagi, tetapi sekarang dengan latar tempat dan arah jatuh berbeda, alasnya terlalu empuk untuk menampung tubuh kami. "Sial! Aku tidak bisa bernapas!" *** Pada waktu sebuah mobil berwarna silver berhenti di dekatku, aku baru akan memesan taksi online karena Pak Seno sedang meminta izin untuk mengantarkan istrinya ke rumah sakit. Laki-laki itu sudah telanjur berjanji kepada istrinya, dimana tidak mudah untuk mereka bisa mendapatkan jatah berkonsultasi dengan dokter kandungan terbaik di salah satu rumah sakit swasta di Kota Atlas, dikatakan sebagian besar pasangan akan memperoleh keberhasilan tinggi apabila menjalani program bayi tabung di situ. Mereka sudah menikah selama lima tahun dan mana tega aku untuk merusak impian keduanya, begitu saja. "Zara!" Di trotoar, aku masih berdiri dengan cukup tegak ketika suara maskulin barusan terdengar di kedua telingaku. Aku segera menoleh, terlihat sosok laki-laki berjaket biru tua baru saja turun dari mobil dan sedang berjalan cepat ke tempatku sekarang. "Eh, Kak Al," sapaku ketika jarak di antara kami hanya tersisa sekitar satu meter. Laki-laki itu tersenyum ramah kepadaku sebelum celingak-celinguk sebentar dan bertanya, "Di mana Ruby?" "Loh? Dia masih ada kelas lain. Kak Al tidak tahu?" tanggapku, berlagak terperangah dengan keadaan laki-laki di hadapanku karena sudah bertingkah seperti tengah kecele. Kak Al aneh sekali, bukan? "Benarkah? Tapi, kenapa aku tidak diberitahu." Ekspresi Kak Al terlihat palsu ketika sedang menggaruk belakang kepalanya dengan tangan kanannya. Aku tidak memiliki maksud untuk menuduh, tetapi bukti sudah dibayarkan di muka. Aku sempat melihat Ruby ketika mencoba menghubungi Kak Al sebelum kelas Basis Data dicukupkan. "Mungkin, Ruby kelupaan," Kak Al berusaha untuk menjawab sebisanya. Lain waktu, Kak Al dan Ruby harus melakukan sinkronisasi terlebih dahulu sebelum keduanya atau salah satu membangun suatu rencana, kalau tidak ... maka ujung-ujungnya akan begini. Di sini, setahuku, Kak Al masih belum tersadar dengan bakatku dalam membaca situasi. Dia tiba-tiba terkesan berpikir sejenak untuk menambahkan, "Yah, sayang sekali ... padahal aku sedang membutuhkan bantuannya, mencari sebuah kado untuk ibuku." "Mn, kalau aku meminta bantuanmu, apakah bisa?" Ini adalah penawaran. Ada aroma-aroma takut ditolak, nih. Aku merasa harus terkejut untuk menyesuaikan dengan citraku. Kedua alis hitam kecokelatanku terangkat selama aku berseru, "Ha? Aku?" "Iya. Siapa lagi?" "Aku sudah telanjur di sini dan ... kau sedang menganggur, bukan?" Menurutku, Kak Al sudah teramat memaksakan untuk berani. Laki-laki bertubuh jangkung di hadapanku selama bernapas terdengar tidak teratur, seperti kejar-kejaran dengan waktu, sungguh di luar kendali. Aku hanya memikirkan sisi positif untukku. "Baiklah, Kak. Aku akan menemanimu. Tapi, hanya sebentar," sahutku kemudian. "Bukan masalah besar. Bisa ditemani olehmu sudah merupakan anugerah terindah di dalam hidupku." Kak Al tersenyum untuk menggambarkan perasaan lega dan senangnya. Aku yakin benar. Jika semua sudah terpancar melalui kedua manik mata beriris hitamnya, maka terlalu kecil untukku menebak-nebak sesuatu di balik kepala bulatnya. "Duh, kebiasaan, deh." Beginilah, mulut manisnya selalu aku respons dengan candaan, meski aku sangat tahu bahwa di dalamnya tersirat keseriusan mendalam. Tapi, maaf ... tidak pernah ada harapan untuknya, dimana selama sekian bulan dan entah sampai kapan, kehadirannya di sisiku hanya untuk kumanfaatkan. *** Aku sampai di rumah ketika hari sudah malam. Matahari benar-benar tenggelam sepenuhnya. Badanku lengket semua gara-gara hampir setengah harian di kampus dan disambung dengan keliling sana-sini untuk mencari sesuatu. Meski sudah mengenakan pakaian dengan bahan dapat menyerap keringat, aku masih tidak merasakan dampaknya. Aku bukan tidak paham. Di mana-mana, cara termudah untuk mengusir lelah adalah mandi dengan menggunakan air hangat. Lepas masuk rumah, pintu berwarna cokelat kehitaman di belakangku langsung kututup lagi dengan hanya menggunakan satu tangan. Kaki kananku sudah terangkat dan baru akan melangkah, tetapi ternyata aku sudah disambut suamiku. Kak Zaka terlihat menawan dengan kaus hitamnya. Warna kulitnya dapat dikatakan menjadi teramat kontras karenanya. Dia dalam hitungan singkat memasang wajah kecut seraya membuang muka selama mengucapkan, "Dalam satu bulan, kau sudah dua kali bertemu dengannya." Ibarat hidup tanpa pernah terlumuri dengan dosa, bibirku terlalu ringan untuk membalas, "Maksud Kak Zaka?" Aku akan berlagak polos, seperti tidak tahu-menahu, istilah lain dari tidak peka. "Berhentilah berpura-pura bodoh," ucap Kak Zaka dengan nada tidak suka, ditutup dengan mulut terkatup rapat, "aku tahu, kau habis bersenang-senang dengan seorang laki-laki." Apa suamiku sudah cemburu akut? Syukurlah. Artinya, usahaku tidak berakhir sia-sia. Aku segera tertawa heran, menarik anak rambutku di dekat pipi kananku ke belakang telinga kananku dan mengatakan, "Kak, aku hanya sebatas mengulurkan bantuan kepadanya untuk mencarikan sesuatu." "Kapan kau akan sadar?" Kak Zaka memasang wajah muram hingga kedua manik matanya dapat mengeluarkan sorot tajam, langsung dijatuhkan ke kedua kornea mataku. Dia mencoba untuk mengintimidasiku dengan mengungkapkan, "Jika seorang laki-laki terus berusaha menciptakan alasan untuk bisa bertemu dengan seorang wanita, kalau bukan sedang melaksanakan niat tertentu ... apa lagi?" "Cukup, Kak," ucapku dengan suara bernada tinggi, tentunya untuk merefleksikan ketidakterimaan hatiku, bersama isyarat salah satu tanganku, "tidak usah diperdebatkan lagi." "Toh, kita berdua tidak saling mencintai ... dan lucunya, kenapa Kak Zaka malah bersikap seolah-olah tengah terbakar api cemburu?" Bukan maksudku untuk berpura-pura tidak pernah merasa, tetapi segalanya memang harus terbiarkan mengalir seadanya, dimana semata-mata hanya untuk memuluskan rencanaku. Kak Zaka memilih untuk tidak meladeniku, entah kenapa ... barangkali sedang kekurangan energi untuk berdebat denganku. Benarkah suamiku sampai rela menahan lapar hanya demi menungguku? Aku sudah terlampau kelewatan. Ah, tidak. Aku mana bersalah. Dia bisa makan malam tanpa harus ditemani olehku, bukan? Oh, astaga ... alangkah malang nasibku, masih berusia muda malah harus dipaksa untuk merawat suami manjaku. Kak Zaka tiba-tiba memutar arah kursi rodanya, entah akan berpindah haluan ke mana. Dari manik mataku, suamiku terkesan seperti sedang menahan beban berat di kedua pundaknya selama berucap datar, "Mandilah, aku tidak suka bau laki-laki itu ... terlalu menyengat hingga membuatku merasa mual." Tanpa diminta otakku, aku tiba-tiba tersenyum dan segera menyusul suamiku. Waktu sudah sejajar dengannya, tubuhku sedikit kurendahkan karena bibirku merasa terketuk untuk menyusupkan sesuatu ke salah satu telinga suamiku. "Uh, uh, uh," kataku dengan suara pelan, masih melangkah teratur untuk menyamakan kecepatan ayunan kedua kakiku dengan kursi roda suamiku. "Kau benar-benar seperti seekor anjing terlatih." Lepas kursi roda dihentikan secara kilat dan kepala diputar untuk menoleh ke arahku sehingga wajah kami bisa saling bertemu dan hanya berjarak satu jengkal, suamiku menggerak-gerakkan bibirnya di depan mukaku untuk berseru, "Perhatikan ucapanmu, Zara!" Aku terdiam cukup lama sekali. Kak Zaka sudah melanjutkan perjalanannya untuk berlalu meninggalkanku. Aku menegakkan badanku dengan sebelah tangan terangkat untuk kuhinggapkan di area mulutku. Netraku masih fokus ke punggung suamiku selama benakku menuai kesibukan dalam rangka memastikan sikap tidak biasa dari suamiku barusan. "Ups, apakah aku habis dibentak?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN