12. Persiapkan Mentalmu

2383 Kata
Zaka's PoV "Kau sadar tidak? Akibat fitnah tidak berdasarmu, di mata mereka ... sekarang aku terlihat seperti diperbudak oleh cinta." "Untunglah, mereka tidak mengetahui wajahku." Woah~ Lepas seluruh tamuku meninggalkan rumah secara berbondong-bondong dan segera berlalu dengan menaiki mobil, Zara langsung menutup pintu dengan kasar, melepaskan kerudung beserta cadarnya untuk dilemparkan ke sofa secara sebarangan sebelum mengamuk kepadaku tanpa harus dibuka dengan aba-aba. Aku tertawa kecil. Biarlah istriku meluapkan amarah hingga merasa kelelahan. Dari manik mataku, dadanya sudah terlihat bergerak naik dan turun selama bertanya, "Kenapa masih tertawa? Ha?" "Puas?!" Berhubung aku tidak mau bertambah menyinggung istriku, tawaku harus cepat-cepat kusudahi. "Maaf. Maaf," kataku sungguh-sungguh, "aku hanya tidak terlintas alasan lain ketika mereka bertanya mengenai pernikahan kita." "Halah, sudah penyakit lama," ucap Zara, tiba-tiba kedua tangannya dilipat di depan d**a, tatapan sinis mulai diarahkan kepadaku dari salah satu ekor matanya. "Tetap saja, kata-kata maaf darimu tidak akan mengubah citraku." Zara terlihat kegerahan. Dia sedang meraih kerudung dan cadar di sofa, mungkin untuk ditaruh di keranjang kotor karena akan berganti pakaian secepatnya, sepertinya. Aku yakin sekali. Jalan pikiran istriku akan demikian. Dilandasi keisengan belaka, bibirku tahu-tahu sudah terbuka untuk menyerukan namanya, "Zara." "Apa?" balas istriku dengan nada ketus, warna ekspresinya dibuat senada. Lirikannya kepadaku teramat tajam, bertambah membahana karena didukung dengan bulu mata lentiknya. Aku tersenyum lembut untuk melontarkan pujian, "Kau cantik, sudahkah aku memujimu?" Dia melangkah dengan cepat untuk melewatiku tanpa melepaskan pandangan dariku dan mengucapkan, "Aku tidak pernah menantikan pujianmu." "Galak sekali wanitaku, seperti kucing liar." Aku hanya bergumam di dalam hati ketika istriku sudah lenyap dari tangkapan kedua lensa mataku. Entah mengapa, aku malah terpikirkan untuk menyusul istriku ke kamar. Lepas menyadari kehadiranku di batas pintu, Zara sudah mengeluh habis-habisan gara-gara merasa tidak nyaman. Aku dan istriku sungguh berseberangan. Di dalam lubuk hatiku, tentu terdapat harapan besar, semoga suatu hari nanti istriku akan menutup auratnya secara suka rela. "Oh, astaga ... pakaian adikmu panas sekali, mungkin adikmu bukan manusia hingga bisa tahan selama memakainya." "Awhh, rambutku malah tersangkut!" Melihat Zara terlihat kesusahan selama menurunkan ritsleting di balik punggungnya, aku hanya tertawa kecil seraya menjalankan kursi rodaku kembali secara perlahan. Akan tetapi, tiba-tiba wajahku malah dihantam dengan bantal. Pada waktu bantal tersebut sudah mendarat di atas pangkuanku, aku langsung ditodongi dengan satu pertanyaan, "Masih mau menertawakanku?" Apakah aku sedang diancam? Yah ... harus kuakui, akalku sampai membeku karenanya. Istriku kasarnya minta ampun ketika memohon bantuan dariku. "Cepat, bantu aku sekarang!" Aku mencoba untuk lebih dekat lagi ketika istriku duduk di pinggir kasur dengan posisi membelakangiku. "Aawh, pelan-pelan," istriku memekik keras, "rambutku tertarik!" "Aku sudah sangat pelan." Meski sudah hati-hati, aku masih salah di mata istriku. Kini, aku tidak bisa memastikan, apakah kedua telingaku masih akan baik-baik saja setelah belasan purnama berlalu kalau selalu dihadapkan dengan lengkingan suara istriku. "Tapi, sebagian rambutku seperti sedang dicabut dari akarnya!" "Arrrgh!" "Oh, tidak," istriku terus memekik, "rambutku." Tiada alasan lagi untukku menahan helaan napasku. Istriku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar tertekan dibuatnya. Dikendalikan rasa gemas, salah satu tanganku segera menyerobot sebuah gunting bergagang biru di atas nakas, cepat-cepat aku manfaatkan dengan sebaik mungkin untuk memotong rambut istriku. Zara langsung memutar badan sesudah aksiku tuntas. Dia terlalu terlambat untuk mencegahku. "Ka- kau telah merusak harta berhargaku," ucap istriku dengan sebelah tangan terulur ke belakang kepalanya untuk memegangi mahkotanya. Gawat. Siaga satu! Istriku tiba-tiba bangkit dari posisi duduknya dan aku dijambak habis-habiskan olehnya. Tidak ada perlawan dariku. Yang ada adalah pembelaan, meski usaha dari kedua tanganku di atas kepalaku bisa dibilang hanya percuma karena tidak membuahkan hasil signifikan. "Aawh, hentikan," ucapku di sela-sela penderitaanku, "kepalaku sakit." Detik terus berlalu, tidak ada tanda-tanda kalau amarah istriku akan mereda. Aku masih berupaya untuk membela diriku, walau tanpa sadar malah berupa kebodohan terang-terangan. "Zara, maafkan a ... ku," kataku, terdengar putus-putus, "aku ... tidak sengaja." Bruuukk! Bersama kursi rodaku, aku terjungkal. Menatap langit-langit, aku masih tidak percaya dengan kejadian barusan. Irama detak jantungku sungguh tidak keruan selama berusaha untuk netral. "Ya, ampun," ucap istriku dengan kedua tangan digunakan untuk membekap mulutnya. "Maaf, Kak," lanjutnya hanya dalam selang waktu singkat, "aku tidak bermaksud." Lagi menahan kesal, aku mengertakkan gigiku. Dari bawah, karena khawatir apabila sampai terguling ke samping, aku hanya bisa mengandalkan tatapanku. "Iiih, percuma," ucapku, "maaf tidak akan mengubah kondisiku." Zara diam-diam tersenyum. Dia terlihat bahagia di atas kesusahanku. Aku segera memberikan sebuah perintah khusus untuk istriku tercinta. "Bantu aku sekarang!" "Iya. Iya," kata istriku, mulai membantuku dari sisi kananku, "sebentar, akan kubantu." Wajahku berubah suram setelah tubuhku sudah dalam posisi seharusnya. Aku segera menatap istriku dengan sorot menghakimi. Dia berlagak lugu untuk kabur dari tindakan intimidasiku. Beginikah risikonya kalau memiliki istri bar-bar? *** Zara's PoV Kegiatan belajar tatap muka dengan segenap mahasiswa sudah dimulai. Pada semester kedua, tidak lain adalah awal dari hari baruku sebagai anak kuliahan sekaligus istri dari dosenku sendiri. Aku ada kelas di pukul tujuh sehingga bisa berangkat ke kampus bersama suamiku. Tanpa dibantu asisten rumah tangga, aku harus mempersiapkan semuanya sendirian, benar-benar mandiri. Dimulai dari memasak sarapan, menyiapkan seluruh keperluan suamiku, bahkan termasuk mengurus kebutuhan pribadiku. Aku mana bisa mengabaikan masa depanku. Aku heran. Meski secara fisik bisa dikatakan belum cukup memadai, Kak Zaka masih diharuskan untuk tetap mengajar. Ini, sih ... risiko dari bekerja untuk orang lain, susah sekali untuk ditawar-tawar. Di halaman rumah, aura ketampanan suamiku tersebar ke mana-mana. Aku tidak mengerti. Tiap melihat suamiku berpakaian rapi, diam-diam aku terpesona. Anehnya, aku sempat curiga kalau suamiku menguasi ilmu sihir untuk dapat menghipnotisku. Ah, rasa-rasanya mustahil. Lihatlah suamiku sekarang. Dia hanya duduk tenang di kursi roda. Tapi, belum apa-apa aku sudah terpikat, aku tidak salah dalam memilihkan kemeja. Warna-warna cerah selalu terlihat sempurna setiap melekat di tubuh atletis suamiku. "Kak, nanti diantar sama Pak Seno saja, ya?" Duar! Aku sangat ahli dalam menghancurkan suasana. Ini bukan salahku sepenuhnya. Aku hanya tidak bisa berpura-pura amnesia atas misi rahasiaku. "A- aku ...," ucapku dengan suara bervolume rendah, seakan-akan terlalu takut untuk meneruskan. "Iya. Aku tahu, kau akan malu kalau teman-temanmu sampai mengetahui status kita sekarang. Benar, bukan?" Aku tidak usah repot-repot menjelaskan. Dari caraku bertutur kata, kalau suamiku masih memiliki akal, tentu bisa langsung mengerti tanpa harus bertanya terlebih dahulu. "Kak," ucapku, berlagak tidak enak hati. "Di rumah pun ... sebenarnya aku tidak keberatan, misalkan dirimu mau sekalian bersikap seperti orang asing." Bagiku, baik wajah dan suara suamiku terkesan dingin sekali, hingga dalam selang waktu sebentar tahu-tahu sudah susah tersentuh, menjauh entah ke mana meski raga masih di depan mata. Apakah aku sudah terlalu keterlaluan? *** Tiba di kampus, kedua kakiku tidak berbelok ke mana-mana selain hanya menyusun langkah ke ruangan kelas. Aku masih berada di batas pintu ketika namaku dipanggil salah satu temanku. "Zara, sini, deh!" Ruby dan Winda sudah duduk di deretan kursi terdepan. Aku segera menghampiri mereka berdua dengan setengah berlari, dimana aku memutuskan untuk menempati kursi kosong di sebelah si pembuat gara-gara karena telanjur diburu dengan rasa penasaran. Tentu, Ruby harus memiliki alasan logis sehingga bisa sampai terlihat antusias sekali ketika memanggilku. Apa karena sejak awal aku memang sudah ditunggu-tunggu? Yang berarti, aku adalah orang penting, bukan? Di antara dua manusia, Ruby mulai heboh sendiri dengan kedua tangan diarahkan ke kanan dan ke kiri. Dirasa diuntungkan karena sudah memperoleh akses maksimal sekarang, Ruby seperti tidak terima kalau kehilangan kesempatan untuk berseru, "Kalian sudah tahu berita terbaru?" "Belum," jawabku. Aku sedang tidak suka mengikuti acara berita, alangkah lebih bermanfaat kalau aku hanya disuguhi tontonan ringan untuk sementara, terlebih dengan kondisiku sekarang, barangkali dapat mengurangi keteganganku. Winda, sosok wanita berambut hitam lurus sebahu di kursi paling kiri di antara kami bertiga, terlihat mengukir ekspresi menuntut di wajahnya ketika bertanya dengan cepat, "Ada apa, sih?" "Pak Zaka," Ruby memelankan suaranya dengan sengaja. Ada alasannya. Dari hasil analogi kilatku, kemungkinan besar supaya tidak didengar siapa pun selain kedua teman terdekatnya. Yah, tidak usah diperjelas, termasuk aku. "Ha?" Aku berakting tertegun, meski di dalam hati, keinginanku adalah sebatas bersikap biasa saja, bermuka datar separah-parahnya. Wanita berambut hitam bergelombang di sebelah kiriku tiba-tiba membekap mulutnya dengan menggunakan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk berkelana di atas layar ponsel pintarnya. "Hiks, ternyata dosen tertampan di fakultas kita beberapa waktu lalu sempat mengalami kecelakaan mobil dan sekarang harus beraktivitas dengan menggunakan kursi roba," ujarnya dengan kedua kornea terlihat menyipit, nyaris menyerupai bulan terbelah, "malang sekali nasib dari suami masa depanku." Oh, astaga ... sudah tidak mengherankan lagi. Aku teringat dengan beberapa dosenku, selaku kawan kerja suamiku. Kemarin sore, mereka memang selalu berusaha untuk mencuri-curi fotoku tanpa izin. Jelas, aku harus berterima kasih kepada adik iparku karena berkat baju lebarnya, wajahku dapat terselamatkan. "Ya, ampun," ucap Winda. Aku tidak kaget karena kami bertiga sama-sama sedang menatap foto sebagai momen kebersaman suamiku bersamaku beserta dosen-dosen. Itu adalah screenshoot-an dari story di i********: salah satu dosen kami, Pak Anton, siapa lagi kalau bukan dirinya. Di dalam story-nya, Pak Anton malah menambahkan beberapa tulisan, benar-benar seperti kekurangan kesibukan. Aku merasa risih setengah mati ketika tanpa sadar malah sudah membacanya dengan mata kepalaku sendiri. [Jika setiap ditimpa kemalangan akan dibayarkan dengan satu bidadari surga, bukankah orang-orang akan rela mengantre? Oh, .... Ini, toh, rahasianya ... sehingga bisa betah di rumah.] [Yuk, ngampus lagi, Pak!] [Masa baru menikah sebentar, sudah lupa sama tugas negara?] "Kau masih tidak menyerah?" "Mau menjadi pelakor?" Yang bersuara bukan aku. Winda selalu menempuh jalan lurus. Aku tahu benar. Dia memiliki cara berpikir layaknya manusia berhati mulia. Meski terpikat dengan suamiku, tetap tidak tebersit pikiran untuk berbuat picik. "Pak Zaka sudah bahagia dengan istri salehanya," katanya dengan nada bijak. Ruby melirik ke arah Winda. Entah mengapa, kedua mataku refleks menerjemahkannya. Ada nuansa sinis. "Tapi, bukankah seorang laki-laki dihalalkan untuk memiliki istri sampai dengan empat?" "Oh, astaga." Aku menepuk jidatku dengan pukulan pelan hanya menggunakan sebelah tanganku, bertingkah seperti tidak percaya dengan tanggapan barusan hingga bibirku terbuka untuk menggumamkan, "Kau benar-benar gila." "Zara, sudahlah, tidak usah ditanggapi terlalu serius." Winda sedang mengajakku untuk melangkah ke arah positif daripada hanya menyianyiakan waktu dengan memikirkan masalah pribadi orang lain. "Lebih baik, kita fokus belajar supaya bisa menjadi orang sukses." Benarkah Ruby merasa kalau Winda hanya berlagak suci? Entahlah. Aku sebatas menggali makna tersirat dari gerak-gerik tubuhnya ketika bertanya, "Kau tidak merasa kehilangan karena sudah keduluan?" "Kenapa harus?" Winda memberikan jawaban dengan tampang polos, seperti benar-benar tidak memiliki ambisi. Artinya, Ruby sudah berbuat kesalahan fatal karena telah menudingnya macam-macam. Benar begitu, bukan? Ini, sih ... baru asumsiku. Dari garis-garis halus di wajah Winda, aku bisa menyimpulkan bahwa di balik ekspresinya hanya menampilkan sebuah kejujuran. Dia terlihat tidak sudi kalau terlalu memikirkan segalanya secara berlebihan, sewajarnya saja. "Bagiku, perasaanku kepadanya hanya sebatas kekaguman belaka," ujarnya kemudian. Ruby mana bisa diyakinkan dengan kata-kata sederhana. Dia malah asyik senyum-senyum sendiri seraya memandangi wajah tampan suamiku. Aku rasa, teman kuliahku pernah mengira racun sebagai obat. "Halah, alasan." "Kak Zaka sungguh memprihatinkan," ucap seseorang secara tiba-tiba entah siapa, setahuku salah satu manusia di belakangku, "sampai dibantu salah satu mahasiswanya." Aku mulai menaruh perasaan curiga. Ruby bisa membahayakan diriku, sepertinya. Aku harus segera mencari tahu segala sesuatu tentangnya. Dia cukup menarik. Dari semula selalu luput dari perhatianku, sekarang sudah dapat menari-nari di dalam otakku. Lepas Kak Zaka diantarkan ketua angkatanku hingga berada di balik meja dosen dan diarahkan hingga menghadap ke peserta kuliah, suasana benar-benar berganti dengan cepat—menjadi sangat tenang dan tertib—bersamaan dengan momen ketika ketua angkatanku duduk di kursi tengan, di antara sekian kaum adam. Begitulah, sebagian dari teman-temanku selalu mengelompok. Kak Zaka baru saja membuka kelas dengan salam, tidak merasa perlu untuk berkenalan lagi karena sudah pernah dilakukan, hingga tahu-tahu malah mengatakan sesuatu bersifat menggemparkan, "Oh, iya. Aku sudah memilih koordinator untuk mata kuliah Algoritma dan Pemrograman. Dia adalah Zara Adya Mecca, kalau ada apa-apa, silakan hubungi dirinya." "Ha? Aku?" Aku menatap Kak Zaka dengan alis terangkat sebelah sementara mulutku dalam keadaan setengah terbuka. Di luar kesadaranku, aku sudah menggigit bibir bawahku seraya menggeleng berulang-ulang dengan gerakan kecil. "Dia berani sekali membuat keputusan sepihak," batinku kemudian. Meski hatiku berkata segera menghela napas, setiap pori-pori di wajahku malah memaksaku untuk tersenyum manis, hingga aku memberikan anggukan pelan dan menjawab dengan sopan, "Baik, Pak." "Awwh!" Aku mengaduh dengan suara tertahan karena lengan kiriku langsung disikut Ruby. Dia teramat tidak sabaran untuk membisikkan sesuatu di telinga kiriku. "Bisakah kita bertukar posisi? Tiba-tiba, aku tergoda untuk menjadi dirimu." "Boleh, sih." Aku baru selesai menjawab begitu ketika namaku tiba-tiba terlantunkan dari mulut suamiku. "Zara." "Iya, Pak?" Aku mencoba untuk menyelam ke kedua bola mata suamiku. Diamku memang seribu bahasa, tetapi aku tetap bertanya-tanya dengan hanya menggunakan bahasa kalbu. Apa, sih, rencananya? "Maju sebentar," ucap Kak Zaka, tetap dalam ketenangan, "tuliskan nomor dan alamatmu di sini." "Laki-laki aneh, sudah menyimpan nomorku. Tapi, masih memintanya." Malas, ah. Akan tetapi, antara mulut dan pikiranku tidak sinkron sama sekali. Adalah hal percuma kalau hanya sebatas menolak di dalam benak, sementara nyatanya malah mengindahkan ucapan suamiku. "Baik, Pak," sahutku. Aku segera bangkit dari kuris untuk melangkah mendekat ke meja dosen dengan membawa sebuah bolpoin bertintan hitam dengan baju berwarna biru. Tiba di hadapan suamiku, aku membungkuk untuk menuliskan nomor dan alamat tinggalku di buku catatan suamiku. Kak Zaka menekuk kedua tangannya, jemari tangan kanan dan kiri saling ditautkan, sementara daerah lengan bawahnya direbahkan di atas meja kayu di antara kami. Dia terlihat mengukir senyuman tipis selama menatap ke kedua netraku selagi aku masih sibuk memainkan pena di tangan kananku. "Bagaimana? Suka dengan kejutanku?" tanyanya mendadak dengan suara luar biasa pelan, hingga selain kami berdua, orang-orang tidak mungkin bisa mendengarnya. "Ha?" Aku mengangkat pandanganku hingga bertemu dengan sorot mata suamiku di satu garis lurus fantasi. Oh, tidak ... sekujur tubuhku membeku seketika. Ada berjuta dentuman keras di dalam dadaku, terpatri di sana entah sampai kapan akhirnya. Makhluk Tuhan berparas tertampan di hadapanku lagi-lagi bersuara, "Persiapkan mentalmu. Di mana pun kau berada, kau akan sering berurusan denganku." "Sialan. Dia berniat untuk mengerjaiku selama satu semester." Aku memang menyedihkan. Kenapa di momen-momen begini aku hanya bisa berucap di dalam hati? Ini tidaklah adil untukku. Bahkan, tangisku termasuk dalam kategori terlarang untuk diwujudkan. Baiklah, kalau memang sudah nasibku ... biarkan aku menjerit di dalam hati, sekali saja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN