Dalam tatap kami terdapat sebuah jarak.
Menyimpan sejuta kesenggangan yang kami tak bisa mengikisnya.
Tuhan yang merahasiakan semua rencana.
Kami hanya mengikuti dan mulai terbawa arus perasaan.
**
“Iya ... saya Shanum,” jawabku lirih.
Dia menatapku dengan ekspresi bingung. Seperti hendak mengeluarkan kata-kata, tapi ujungnya dia diam saja.
Aku pun melangkahkan kaki dan masuk pagar. Tak ada niatku untuk bertanya atau sekedar ingin tahu apa tujuannya.
“Anu ..., Shanum!” panggilnya lagi.
Dengan kerudung berantakan dan baju yang masih basah, aku melihat pemuda yang sepertinya seumur denganku tersebut.
“Ada yang mau aku katakan,” tuturnya dengan wajah menunduk dan dilindungi oleh penutup kepala.
“Emm ....” Aku menggumam lirih dan ragu untuk mengobrol sekarang. Pasalnya, hari sudah mulai gelap dan aku belum membersihkan diri. Sementara itu, dia ini adalah seorang pria. Aku tak mau ada fitnah karena mengobrol dengan laki-laki di atas waktu Magrib.
“Oh, maaf. Sebelumnya, perkenalkan aku adalah Rasya,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Kutatap tangan pucatnya dengan telapak yang membiru. Sepertinya, dia sejak tadi kedinginan karena menunggu di bawah pohon nangka.
“Oh, maaf,” ucapnya lagi sambil menarik tangannya dan kini ia tangkupkan di depan dadanya. Mungkin dia melihat aku adalah wanita berhijab dan berpikir jika aku tak mau bersalaman dengannya.
Tapi aku tak menggubris hal tersebut, aku hanya mengangguk dan mempersilakan dia duduk di kursi yang ada di teras rumah.
“Kamu bisa tunggu aku di sini. Maaf aku harus masuk dan tak bisa membuatmu menunggu di dalam karena tak ada siapa-siapa di rumahku,” jelasku padanya.
Aku memang tak pernah membiarkan tamu asing untuk masuk ke rumah atau siapa pun terutama jika itu adalah laki-laki.
Tapi untungnya, dia mengerti. “Ya, tak apa.”
Segera aku masuk ke rumah dan sesekali mengintipnya.
Jika dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang ada di kampungku, Rasya jelas sangat tampan. Bahkan dalam kondisi yang berantakan seperti itu, masih bisa terlihat jika tadinya dia adalah anak orang kaya. Dari jaket, jam tangan, ransel dan sepatu yang ia gunakan, tampak jika semua benda tersebut adalah barang mahal. Aku memang tak tahu bagaimana wujud barang bermerek, tapi kalau itu adalah barang mahal, pasti akan terlihat.
Aku bukan memujinya, lantas aku menyukainya. Tidak, bukan seperti itu! Aku hanya berusaha untuk menilai Rasya dari pertemuan pertama. Karena bagaimanapun juga, dia telah menyebabkan bapakku seperti sekarang. Mungkin aku memaafkan dia, mungkin juga tidak, hal itu semua tergantung dari penilaianku padanya. Karena aku yakin, tak semua anak dari kota menyebalkan.
Kubersihkan badan dan mengganti baju, tak lupa aku melaksanakan salat Magrib terlebih dahulu. Aku memakai gamis dan kerudung karena bersiap untuk kembali ke puskesmas. Bagaimanapun juga aku harus melihat dan menunggu bapak di sana.
“Rasya,” panggilku seraya mengeluarkan kepala yang telah menggunakan kerudung.
Dia menoleh dan tampak terkejut. “Kamu ... tahu namaku?”
Aku mengangguk dan kemudian menawarkan handuk padanya. “Sepertinya kamu perlu membersihkan diri.”
Dengan ragu, tangannya terulur dan menerima handuk dariku. Dia meletakkan tasnya dan tampak bingung saat hendak membersihkan diri.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar sejenak. “Kamu bisa pakai kamar mandi di dalam rumahku,” tuturku padanya.
Tapi dia malah diam tertegun.
“Kamu bawa baju ganti? Kalau tidak, kamu bisa pakai punya bapakku,” tawarku padanya.
Rasya mengangguk.
Aku tak tahu apa arti anggukannya, apa artinya, iya dia membawa baju? Atau, iya dia ingin pinjam baju bapakku?
“Bagaimana?” tanyaku lagi.
“Aku ... ikut ke kamar mandi saja,” jawabnya dengan suara bariton.
Aku pun mengangguk. “Kamu bisa masuk dan di bagian belakang rumahku ada kamar mandi, tepat di dekat dapur. Aku akan menunggumu di sini,” ujarku sambil menunjuk ke arah dalam rumah.
Rasya memperhatikan arah telunjukku bergerak. Entah ia mengerti atau tidak, tapi dia hanya mengangguk setelah mendengarku.
Kutunggu Rasya sembari memeriksa barang yang kubawa. Semua dokumen yang dibutuhkan untuk perawatan bapak ditambah beberapa baju dan botol berisi air minum. Sekarang aku tinggal menunggu dia yang sedang di dalam rumah.
Sengaja aku menunggu di luar, karena aku tak mau menjadi fitnah jika ada yang tahu kami sedang berdua di dalam rumah. Sementara kami bukan siapa-siapa dan tentu saja, bukan muhrimnya.
Beberapa menit berselang.
Seorang pria keluar dari rumahku dengan menggunakan kaos hitam pendeknya. Ia tak menggunakan lagi jaket karena sepertinya basah. Lalu di tangannya, menggulung beberapa pakaian yang mungkin hendak ia masukkan dalam tas.
“Anu ... boleh aku meminta plastik?” tanyanya dengan lirih.
Aku menoleh dan menatapnya. Entah dia mandi atau tidak, tapi penampilannya lebih segar dari sebelumnya. Dia benar-benar terlihat seperti anak dari kota.
“Kamu sudah salat?” tanyaku sebelum menjawab pertanyaannya.
Dia tampak kikuk, lalu menggeleng dan mengangguk. Dari bahasa tubuhnya saja terlihat tak jelas begitu.
“Jadi kamu salat apa belum?” tanyaku sekali lagi.
Dia malah gugup. “Anu ... bisa aku meminta kantong keresek saja?” tanyanya mengalihkanku.
Ah, sudahlah! Ibadah seseorang bukan urusanku. Yang penting aku sudah berniat baik untuk menyuruhnya.
Tapi ... kenapa dia tidak salat? Apa memang dia tidak pernah salat?
“Aku ambil dulu sebentar!” tuturku padanya yang tak lama kemudian, aku keluar dengan keresek hitam ukuran besar. Aku yakin, dia butuh keresek itu untuk baju kotornya.
“Aku mau ke puskesmas tempat bapak dulu,” tuturku dengan nada dingin.
Dia hanya mengangguk sambil menerima kantong plastik hitam dari tanganku.
**
Berjalan malam-malam di kampungku. Cukup sepi karena jarang ada orang yang keluar dari rumah setelah matahari terbenam.
Aku tidak takut berjalan sendiri seperti ini, karena hampir setiap hari jika menjemput bapak ke area pantai pun aku selalu sendiri. Jadi aku sudah terbiasa.
Tapi ... sekarang aku merasa ada orang yang mengikuti. Aku tahu, dia adalah Rasya.
Dia memang tidak berkata akan mengikutiku untuk ke puskesmas menjenguk bapak. Tapi dia berjalan tepat di belakangku.
Bahkan seingatku dia bilang ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi sampai sekarang dia tak mengajakku bicara.
Jika aku perhatikan, dia cukup pendiam. Bahkan sejak tadi dia tak banyak bicara.
“Rasya!” ujarku sambil berbalik.
Mendongak dia menatapku seraya ikut menghentikan langkah. Dia hanya diam sambil menatap lurus ke depan, ke arahku.
“Kamu mau ikut ke puskesmas?” tanyaku baik-baik.
Dia mengangguk sambil membetulkan tali ransel di pundaknya.
“Kalau begitu ... bisakah kita jalan bersama? Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu sambil berjalan. Bukankah tadi kau juga bilang ada hal yang ingin kausampaikan padaku?” tuturku sambil berjalan ke sisinya.
Rasya terdiam, ia cukup menangguk sekali dan kembali melanjutkan perjalanan.
“Bisa kamu ceritakan bagaimana kejadian tadi?” tanyaku.
Rasya berhenti dari langkahnya, dia mendongak menatap langit yang telah gelap. Seakan ia sedang berpikir dan berusaha mengingat sesuatu. “Aku ... lupa,” jawabnya.
Aku mengembuskan napas panjang. Lalu bertanya lagi. “Kamu dari mana?”
“Dari Jakarta,” jawabnya singkat.
“Lalu kenapa bisa kemari? Kau sedang berlibur? Mana keluarga atau temanmu?” Aku memberondongnya pertanyaan.
Dia menggeleng. “Aku senang melakukan perjalanan sendiri.”
Hanya bisa mengangguk daripada mengomentari. Kemudian, aku pun meminta dia untuk bicara. “Tadi ada yang ingin kaubicarakan, katakanlah!” titahku.
Kami telah berada di area puskesmas. Sebelum kami masuk, aku dan Rasya melanjutkan obrolan terlebih dahulu. Kami berdiri di belakang sebuah mobil yang diparkir di pelataran puskesmas.
Rasya pun membuka mulutnya. “Aku menyesal sudah membahayakan diriku sendiri. Aku ... berterima kasih karena bapakmu telah menolongku. Tapi ... aku tak menyangka malah berakhir begini.” Dia berkata dengan gugup.
Aku menunduk dan menahan air mata agar tidak menetes. Rasanya ingin marah, tapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Dia bahkan sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
“Kalau ada yang kamu atau bapakmu inginkan, aku akan berusaha untuk mewujudkannya. Aku berjanji!” Rasya mengucapkan itu dengan tegas dan sepenuh hati.
Tapi sayangnya, aku tak menginginkan apa-apa selain kesembuhan bapakku.
Namun tiba-tiba, seseorang keluar dari mobil yang ada di belakang kami. Dia adalah seorang pria, tubuhnya lebih tinggi dari Rasya dan dia terlihat jauh lebih berumur darinya, tapi beberapa fitur wajah mereka agak sedikit mirip.
Pria tersebut berdiri di samping Rasya dan menyapa ke arahku.
“Perkenalkan, saya Aksa, kakaknya Rasya. Saya akan membantu untuk kesembuhan orang tua kamu. Dan ... bapakmu tadi kulihat dia sudah sadarkan diri. Tapi sepertinya ... dia menginginkan sesuatu,” tutur pria tersebut.
“Mas Aksa?” Bahkan Rasya sendiri tampak terkejut.
Aku mengangguk memperhatikan mereka.
“Sejak kapan mas datang?” tanya Rasya pada Mas Aksa.
“Beberapa menit yang lalu, aku sudah sempat ke dalam dan keluar lagi untuk mengambil sesuatu. Tapi pas sekali dengan kedatangan kalian!” tutur kakak dari Rasya tersebut.
“Memangnya bapak menginginkan apa, ya?” tanyaku memberanikan diri.
Pria dewasa yang berdiri di samping Rasya itu menatapku. “Kau nanti akan mendengar sendiri apa keinginannya. Yang jelas, aku sudah menyanggupi pada bapakmu, kalau Rasya akan mewujudkan keinginannya.”
Dengan serta merta Rasya pun menoleh pada kakaknya tersebut. Sementara aku berpikir, memang apa yang bapak inginkan sehingga mengharuskan Rasya yang mewujudkan keinginannya. Tidak cukupkah aku sebagai anaknya yang membantunya?
“Rasya, kamu tadi juga bilang pada gadis itu untuk memenuhi keinginan mereka sebagai penebusan kesalahanmu. Aku harap kamu tidak ingkar janji!”
Rasya mencoba mengangguk. “Aku ... akan berusaha, Mas!”