“Udah sampai Dek.” Faud melirik adiknya dari kaca spion. Miftah malah celingak-celinguk kaget, seolah dia baru saja melihat jalan, tempat biasa Faud menurunkan Miftah.
“Eh, Bang, kok stop di jalan ini sih? Masih lima meter lagi ke sekolah,” protes Miftah.
“Kamu harus olahraga. Itukan kesepakatan kita. Lumayan jalan pagi bisa bakar kalori,” sahut Faud.
“Ya Allah, Bang, tapi ini beda kondisi. Gak ada keringanan apa?” nego Miftah, berharap belas kasih abangnya itu.
“Apa bedanya? “ Faud melirik jam kulit yang melingkar manis di pergelangan tangan kanannya. “Masih ada waktu lima belas menit. Bisalah kamu sampe di sekolah tepat waktu.”
“Gak bisa Bang ...” rengek Miftah. Merengek sepertinya memang bukan keahlian cewek berpipi bulat itu, bukannya terlihat kasihan, Miftah malah seperti preman yang sedang malak, membuat Faud makin kukuh dengan keputusannya.
“Buruan turun, dek ...” titah Faud, no debat.
“Ini waktunya mempet banget, Bang. Aku gak bisa tenang jalan kalo kayak gini, mana kaki-kaki aku ini berat banget, di tambah, kalo udah cemas nafas aku jadi berantakan banget.”
“Nah, makanya itu.” Faud menjentikkan pelan jarinya. “Kamu harus banyak-banyak olahraga, biar kaki kamu gak isi daging doang, terus paru-paru kamu jadi sehat biar gak sesak terus.”
“Udah sana jalan. Udah makan lima lontong plus es tebu masih aja kayak anak gak dikasih makan, lemes banget.” Faud sengaja memiringkan sedikit body motornya, membuat Miftah mau tidak mau terpaksa tiru. “Sana bakar kalori jadi energi.”
“Iss! Punya abang kok kejam banget. “ Miftah memutar malas bola matanya. “Udah tahu adiknya telat, masih aja di suruh jalan.”
“Mana ada orang telat bisa makan lontong sampai nambah dua kali.”
“Itu beda cerita! “
“Samain dong, kalo beda.” Faud tersenyum simpul. “Gak boleh membeda-bedakan, yang membeda manusia hanya iman dan takqwa.”
“Ck! Gak jelas,” ketus Miftah, yang malah disambut tawa renyah abangnya itu. Senang banget kayaknya kalo liat adiknya menderita. Dasar kakak gak pengertian.
“Udah sana buruan turun, Dek. Bisa telat nih abang.”
“Iss ... punya abang, berasa punya ibu tiri. s***s banget. Apa salahnya coba, anterin sampe depan pagar. “ Miftah masih belum ma menyerah.
“Kalo abang s***s, udah dari dulu abang cekokin kamu junk food biar makin sulit kerja jantung kamu, terus badan kamu bakal segede rumah pejabat. Abang lakuin ini karena abang tuh gak mau kamu jadi penyakitan di usia muda.”
“Mau kamu jadi remaja jompo?”
“Dah banyak tuh contoh pasien abang. Masih muda, tapi udah kayak orang usia seabad.”
Faud kalo sudah menyangkut kesehatan memang rada sensitif. Ceramahnya bisa sepanjang gerbong kereta.
“Yang ada kamu tuh ibu tiri, setiap bonceng kamu, abang harus duduk paling ujung jok motor. Tubuh kamu mengkudeta semua jok motor.”
“Udah buruan turun! “
Fiks, tidak ada b**o lagi.
Dengan terpaksa Miftah turun dari motor. Tidak ada gunanya berdebat dengan abangnya, ingat, sekeras apa kepala abangnya itu? Helm berstandar SNI bahkan kalah kalo dah lawan keras kepala abangnya itu.
“Dah, sana jalan...”
“Bawa uang jajan, gak? “
“Hem, bawa .”
“Ya udah, hati-hati.”
“Hem.” Miftah meraih tangan abangnya, menyalami. Meski dongkol, Miftah tidak akan melupakan apa yang orang tuanya ajarkan. Menghormati Faud, yang akan tetap jadi abang satu-satunya yang Miftah miliki. Makhluk langkah nih...
“Duluan, Bang, Assalamualaikum.”
“Iya, jalannya santai aja. Waalaikumsalam. “
Miftah berjalan gontai menyusuri jalan. Memang tidak jauh banget sih, secara bahkan dari tempatnya berdiri, Miftah sudah bisa melihat gedung sekolah dengan jelas, tapi tetap saja, Miftah sebal dengan keputusan abangnya itu. Sekali-kali, kek maklum.
“Sebenarnya lemak gue salah apa sih ke bang Faud ...? “
“Hem ... selain mengurangi jatah duduk di motor dan .. hem, jatah makan juga kadang, kadang sofa duduk juga, eh, kadang minuman dingin juga. Lah ternyata banyak ya... “
“Pantas aja bang Faud memperlakukan lemak gue kayak anak tiri. Emang lemak tubuh gue nih nyusahin sih...” gumam Miftah yang awalnya cemberut malah jadi kayak orang stres yang mesem-mesem gak jelas. Mana gak ada orang lagi di sebelahnya, kan berasa creepy ...
Jangan lewat gerbang depan...
Langkah Miftah terhenti sesaat, ketika mengingat pesan dari nomor tidak dikenal itu. Mereka gak mungkin bisa bully Miftah sekarang, secara di depan pagar ada bu guru yang udah siap-siap nutup gerbang, karena lima menit lagi bel masuk akan berbunyi.
Miftah tersenyum lebar, dia akan lewat gerbang depan. Dengan penuh percaya diri, Miftah melangkahkan kakinya, Miftah tidak sadar ada sesuatu yang menyangkut di sepatunya.
Ada permen karet.
“Aneh banget, kenapa ada permen karet sebesar ini di jalan. Perasaan kemarin keberhasilan sekolah bersih-bersih deh pas pulang sekolah.” Miftah bergumam pelan, sembari melirik sekitar. Dari sekian banyak orang, Cuma sepatunya yang terkena permen karet.
Terus gimana nih? Miftah tidak mungkin ke kelas dengan sepatu penuh permen karet. Miftah segera memutar otak, senyum gadis itu mengembang saat menoleh ke samping jalan, beruntung sekolah ini tetap menjaga semak-semak liar yang di rawat agar bisa membantu kekuatan tanah.
“Bersihin di situ aja deh ..,” gumam Miftah. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Miftah pelan-pelan menyepi, lalu Yap, bersembunyi di semak-semak. Gadis itu meraih beberapa batu untuk menjadi alat membantunya melepaskan pereda karet dari alas sepatunya.
Miftah terlalu fokus hingga tidak sadar ternyata ada Singung—hewan yang sekilas mirip musang, terdapat garis belang di ujung ekornya sedikit mencolok dari seluruh warna tubuhnya yang hanya hitam polos.
‘Wuuussshhh ...’
Mata Miftah terbelalak, gadis itu refleks terbatuk-batuk kaget lantaran sesuatu tiba-tiba menyembur dari belakang b****g Sigung, memenuhi wajahnya yang berada tepat di depan hewan noktunal itu.
“Gimana wangi, kan? “ Suara itu menyadarkan Miftah. Tiga g**g tampan, berdiri tidak jauh dari tempat Miftah terduduk kaget. Ketiganya tersenyum sinis dengan tangan bersedekap di d**a, seolah sangat puas melihat Miftah bagai orang bodoh.
“Eh, kok tubuh gue jadi bau sih? “ Miftah mengendus aroma tubuhnya yang semula beraroma lavader berubah jadi bau sengit.
“Yap! Itu emang parfum yang cocok buat Lo. Parfum dari singung, salah satu hewan bau di dunia.,” sahut Vidi dengan senyum pipit yang nampak picik di wajahnya sekarang.
“Uhhh, tubuh Lo sekarang lebih bau dari tong sampah.” Abdan menarik senyum tipis di wajahnya, benar mata biru hazel Abdan terlihat mirip lautan yang gelap saat mode jahat.
Dasar buto ijo!
Setelah sesi bacot yang panjang, ketiga pemuda itu pergi meninggalkan Miftah yang rasanya mau muntah mencium aroma tubuhnya sendiri. Gadis itu mengernyit bingung, harus berbuat apa sekarang.
“Udah gue bilang, jangan lewat gerbang depan.” Sebuah suara mengintrupsi Miftah. Memaksa gadis bertubuh gemuk itu menoleh ke belakang, rupanya di sana ada seorang gadis bersandar di pohon yang nyaris kena busung lapar, kurus sekali. Gadis itu menatap Miftah dengan tatapan tajam dan dingin.
“Jadi Lo yang kirim pesan ?” sahut Miftah cepat. Wulanda tidak menjawab acara spesipik. Gadis itu hanya diam saja. “BTW Lo, Wulanda, kan?”
“Lo kenal gue? “ Wulanda balik bertanya.
Miftah refleks mengangguk cepat. “Kita kan satu kelas. Gak mungkin gue gak kenal Lo. Sesama teman gak mungkin gak kenal.”
“Kita bukan teman,” ketus Wulanda. “Gue gak kenal Lo, kalo Lo gak pernah ganggu tidur gue.”
“Hem, btw, ngapai Lo di sini “ tanya Miftah.
Alis Wulanda terangkat sebelah. “Karena Lo bodoh! “
“Seharusnya Lo dengerin omongan gue. Dan Lo gak akan berakhir seperti ini. Menyebalkan sekali! Lo sebenarnya musuh Abdan atau sahabatnya sih? “
“Kenapa Lo selalu menyukseskan rencana dia! “
“Ck! “
“Tapi gue kan gak tahu,” sahut Miftah membela diri.
“Gue udah susah payah cari nomor Lo dan ngetik panjang-panjang. Lo masih bilang gak tahu? “
“Ya gimana ya, gue pernah ditipu nomor tidak dikenal, jadi ... ya, gue gak percaya lagi,” jujur Miftah, sedikit menyesal. Pernah ditipu membuat Miftah selalu berpikir kalo semua orang berusaha menipunya lagi.
“Kerudung Lo bau, kan? “
Dengan polosnya Miftah spontan mencium kerudung putihnya, yang sukses membuat gadis itu mengernyit, kebauan.
99“Nih, pake kerudung gue aja. Gue sengaja bawa dua.” Wulanda melempar kerudung instan, yang langsung Miftah tangkap dengan cepat. “Ganti pas udah masuk aja. Tuh, bentar lagi gerbang sekolah di tutup. Lo gak mau masuk? “
“Eh, iya ... tapi btw Lo, mau ke mana? Gak ikut masuk?” tanya Miftah keheranan melihat Wulanda malah memutar langkahnya berbalik dari pagar sekolah.
“Gue mau ke mini market depan sana, mau beli saos tomat.”
“Eh, buat apa? Buat sarapan? “ sahut Miftah asal.
“Gue curiga usus sama otak Lo kayaknya satu saluran deh. Dipikiran Lo cumab makan doang,” ketus Wulanda. “Gue beli saos tomat buat menetralisasi bau badan Lo. Saos tomat bisa sedikit meminalisir bau singung, iti kata artikel yang gue baca.”
“Oh gitu ....” Miftah refleks mengaruk pelan tengkuk kepalanya yang tertutup kerudung. “Tapi bentar lagi jam masuk. Lo bisa telat.”
“Lo pikirin diri Lo aja dulu. Urusan gue, ya, biar gue urus sendiri,” sahut Wulanda kembali melangkah lebar. “Lo tunggu gue di kamar mandi aja. Entar gue ke sana.”
“Eh, btw makasih ya, Lo udah mau tolongi gue. Dari banyaknya anak di kelas, cuma Lo, orang yang mau bantuin gue.”
“Gak usah terima kasih. Gue gak nolongin Lo. Gue cuma gak mau rencana Abdan berhasil.”
“Sebenci itu Lo sama Abdan? “
“Menurut Lo? “ Wulanda menoleh kecil.
“Hem ...”
“Gue gak sebaik Lo, sebanyak apa pun masalah yang Lo dapat karena Abdan, Lo tetap gak bisa benci sedikit pun,” ujar Wulanda sebelum benar-benar pergi meninggalkan Miftah, yang harus memutar otak bagaimana caranya masuk ke sekolah sedangkan pagar sekolah sudah di tutup. Ditambah lagi ada penjagaan doubel oleh satpam dan bu Sri—guru BK.
“Kamu telat! “ Miftah menunduk dalam, begitu kakinya berhenti tepat di depan pagar berwarna hijau terang.
“Maaf Bu, tadi saya udah sampai di sini lima menit yang lalu, terus pas saya jalan ada permen karet, terus ...”
“Jangan banyak alasan !” potong bu Sri, sudah jengah mendengar seribu macam alasan yang siswa-siswi karang saat telat.
“Iya, Bu. Apa saya boleh masuk atau pulang bu? “tanya Miftah yang tidak kunjung dibukakan pagar.
“Enak aja pulang. Kamu harus di hukum, biar gak telat lagi,” sahut bu Sri. “Eh, tapi tunggu dulu, kenapa tiba-tiba bau got gini ?”
“Hem, itu, bu ...” Miftah bergumam pelan.
“Itu aroma tubuh saya, Bu. Tadi saya gak sengaja ketemu singung di sana,” kata Miftah sambil menunjuk semak-semak tempat dia pertama kali melihat hewan berbadan bau itu— entah dari mana Abdan CS mendapatkan hewan yang sangat jarang ditemui di Indonesia, kecuali dibenarkan daerah atau dipelihara orang lain.
Seniat itu mereka nyari dosa ....
“Singung? Mana ada Singung di sini? “
“Hem ...” Miftah tidak ingin mengintrupsi lebih jauh, dia juga kalo ada orang yang bilang ketemu singung gak akan percaya.
“Sekarang, kamu ibu hukum, lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Setelah itu bersihin tubuh kamu, terus masuk ke kelas. Oke”
“Iya, Bu.” Miftah buru-buru lari ke lapangan. Tapi sebelum itu Miftah harus menebalkan telinganya saat melewati kelas tercintanya. Jika kelas lain sudah rapi di dalam kelas menunggu guru yang masuk, kelas sebelas IPA satu malah sebaliknya. Mereka masih ribut dengan aktivitas gak jelasnya dan keluar masuk kelas seenak jidat.
“Duh, kok di sini bau banget ya? “ Langkah Miftah dihalangi segerombolan siswi sebelas IPA dua yang seperti memang sudah menunggu kedatangan Miftah, terbukti, saat Miftah lewat di depan kelas, secara cepat semua orang di dalam kelas, mencuat ke luar, entah benar-benar keluar atau cuma sekedar mengintip keluar dari jendela kelas.
“Iya, ya ... ih kayak bau sampah deh ...” sahut yang lain seraya pura-pura tidak melihat Miftah yang sangat mustahil tidak nampak di mata mereka. Samar-samar mereka terkekeh sembari kompak menutup hidung ala-ala model catwalk.
“Oops, ternyata ada yang cosplay jadi tong sampah.” Sekarang mereka beragak kaget akan keberadaan Miftah.
“Btw Lo cocok banget sih cosplay jadi tong sampah. Cocok banget buat ukuran tubuh Lo dan wajah buriik Lo.”
“Udah selesai dramanya? Gue boleh lewat sekarang?”
“BTW, tong sampah mau ke mana sih? Kok buru-buru banget ?” Bukannya minggir mereka malah makin membuat barisan setengah lingkaran untuk menghalangi langkah Miftah. Setelahnya mereka kembali terkekeh, Stok tawanya banyak banget kali ya ...
“Oh kalian gak mau minggir? Oke fine ... “ Miftah membentangkan tangannya lebar-lebar. “Yang gak mau minggir gue peluk, biar sekalian kalian cosplay jadi tong sampah juga! “
Perkataan Miftah itu sontak membuat para ciwi-ciwi berteriak heboh, seolah sedang melihat zombie. Mereka lari luntang-lantung keluar dari barisan, menghindari Miftah yang sebenarnya hanya mengeretak mereka. Dan rencana Miftah itu berhasil. Tidak ada ya g menghalangi langkahnya lagi.
Sebelum pergi dari sana, Miftah tidak sengaja mengedarkan pandangannya, dan mendapati Abdan, Vidi dan David berdiri jauh dari pintu kelas, ketiganya kompak tersenyum miring dengan tangan bersedekap di d**a. Mereka sangat menikmati semua hinaan yang Miftah dapatkan.
.
.